Beranda Mimbar Ide Resolusi Pendidikan Ala Haidar Bagir : Sebuah Opini

Resolusi Pendidikan Ala Haidar Bagir : Sebuah Opini

0
Ainun Jamila Aidid

Oleh : Ainun Jamila Aidid*

Seminar pendidikan sekaligus bedah buku teranyar karya Haidar Bagir berjudul “Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia” dengan edisi diperkaya kali ini lagi-lagi berhasil menarik rasa penasaran para pemerhati pendidikan. Haidar Bagir kali ini memulai kuliahnya dengan menyinggung satu kata popular yang dikenal oleh semua kalangan, tetapi makna dari kata tersebut rasanya masih belum penuh dipahami oleh mereka yang memplagiasinya, bahkan mungkin bagi saya sendiri.

Kata yang di maksudkan adalah “passion”. Kata ini jamak dikutip oleh para pegiat maupun amatiran. Dalam pemaparan Haidar Bagir, ia menjelaskan bahwa kata “passion” ini berasal dari bahasa Yunani yaitu patos yang berarti cinta, sedang dalam bahasa Latin disebut dengan “pati” yang berarti penderitaan.

Lebih lanjut, dalam pengejawantahan kata ini di mana seseorang harus bekerja dengan passion-nya yaitu suatu pekerjaan yang seharusnya dilandasi dengan cinta akan penderitaan dari resiko yang disebabkan oleh pekerjaan yang dilakukan. Sepahit apapun penderitaan yang dirasakan jika sudah mencintai pekerjaan tersebut maka pekerjaannya menjadi sumber kebahagiaan baginya.

Passion di sini bukanlah hobby, ia tidak datang secara tiba-tiba melainkan di pelajari. Sebagaimana cinta, ia bukan sesuatu yang langsung hadir dengan serta merta melainkan dipelajari seumur hidup kita. Maka berilah makna sedalam-dalamnya terhadap sesuatu yang kita kerjakan. Ubahlah “meaning” (arti/makna) dari pekerjaan yang di lakukan, carilah dan temukanlah meaning yang sebesar-besarnya terhadap apa yang dikerjakan.

Hal ini mengantarkan saya pada sebuah pemaknaan yang lebih mendalam. Di mana, saya sendiri berprofesi sebagai seorang guru. Kadang kala timbul rasa lelah ketika saya harus menghadapi sekian puluh murid di kelas dengan berbagai watak dan karakter anak yang berbeda-beda. Rutinitas berulang nyatanya membuat sebagian orang termasuk saya kadang menjadi bosan bahkan bisa sampai di tingkat stres. Di samping itu, saya sepenuhnya menyadari bahwa ini adalah resiko dari pilihan pekerjaan yang saya geluti. Sehingga saya pribadi merasa cocok dengan pembahasan passion yang di sampaikan oleh Haidar Bagir sebagai trigger bagi para pengajar untuk lebih mencintai dan rela menanggung derita dari apa yang di kerjakan.

Lebih lanjut, Haidar Bagir juga mengutip perkataan Plutarch yang berbunyi “The mind is not a vessel to be filled but a fire to be kindled”. Bahwasanya, Pikiran bukanlah bejana untuk diisi namun api untuk dinyalakan. Lucius Mestrius Plutarchus atau yang di kenal dengan nama Plutarch, merupakan seorang penulis biografi dan esais Yunani. Plutarch kemudian menjadi terkenal berkat karyanya yang berjudul Parallel Lives dan Moralia yang banyak memberikan pengaruh terhadap penulis dan cendekiawan di Byzantium, Eropa Barat, dan Amerika. Ia juga dianggap sebagai seorang penganut ajaran Plato.

Adapun kalimat Plutarch yang di kutip oleh Hadiar Bagir pada kesempatan seminarnya hari itu, bagi saya pribadi begitu sarat akan makna. Kalimat ini juga dijadikan sebagai pembuka dari bahasannya terkait pendidikan. Haidar Bagir menjelaskan bahwa mendidik adalah upaya memberi ruang untuk mengaktualkan potensi yang sudah ada pada diri seseorang, dalam hal ini adalah guru kepada muridnya. Di mana, seorang guru perlu menyadari betul bahwa anak-anak bukanlah makhluk/sesuatu yang kosong sebagaimana kata fitrah yang selama ini dipahami oleh orang kebanyakan.

Fitrah adalah Islam, yaitu pengetahuan (ilmu Allah) yang sudah tertanam di dalam diri seorang anak. Ia hadir sebagai bekal bagi setiap manusia (anak) ketika ia dilahirkan. Sebagaimana Adam yang sudah di bekali pengetahuan tentang sesuatu sebelum ia melihat sesuatu tersebut. Begitupun pada relasi guru dan murid. Guru bertugas untuk mengajarkan apa-apa yang sudah awal di ketahui oleh anak didik agar ia lebih mengenal benda-benda (setiap sesuatu) beserta dengan sebab akibat yang akan di timbulkan dari benda tersebut. Bahwa bukan pengamatan (kegiatan belajar dan mencari tahu) itu yang membuat anak dari tidak tahu menjadi tahu. Akan tetapi, pengamatan itu membuat apa yang sudah ada di dalam diri seorang anak menjadi lebih aktual dan mewujud pada dirinya setelah di ajari/di beritahu oleh gurunya.

Kemudian membincang tentang sekolah, Haidar Bagir di dalam bukunya juga mengutip pernyataan John Holt, seorang tokoh reformasi pendidikan dari Amerika. Ia juga adalah yang memaparkan pengalamannya menjadi seroang guru matematika yang sudah mengajar lebih dari 20 tahun. Buku yang berjudul “Mengapa Siswa Gagal?” menjelaskan bahwa sebenarnya sekolah-lah yang sudah membuat anak dari tahu menjadi tidak tahu. Karena, di sekolah rasa ingin tahu ini di belenggu oleh acuan benar atau salah yang katanya di-tujukan untuk “mengontrol” kehidupan manusia.

Lebih lanjut, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Arif Nur Ridwan. Dalam ulasannya terkait buku karya John Holt ini ia menjelaskan bahwa, John Holt melihat banyak calon guru dan bahkan guru yang dalam menjalankan profesi-nya sebagai tenaga pendidik bukannya mendidik justru menjadikan ruang kelas sebagai ajang memproduksi manusia-manusia robot yang seragam, di mana mereka hanya bisa berpikir ya atau tidak, dan benar atau salah.

Haidar Bagir kemudian mengungkapkan fakta yang terjadi di lapangan bahwa beberapa metode pembelajaran yang di ajarkan di sekolah terkesan seolah-olah “pengetahuanlah yang mengejar anak, bukan anak yang mengejar pengetahuan itu sendiri.” Hal ini di karenakan anak-anak dipaksa/didikte untuk memahami semua jenis pengetahuan dari lebih sepuluh mata pelajaran yang di jadwalkan setiap semesternya. Ragam pengetahuan ini kemudian berusaha di copy-paste kepada pikiran anak-anak didik. Sehingga jikalaupun mereka menjadi siswa yang pintar, mereka tidak lebih hanya sebagai siswa yang pintar mengopy-paste (menghafal) buku pelajarannya. Padahal pintar di sini seharusnya lebih menekankan pada intelegensia sang anak.

Pada praktik ujian misalnya. Di mana, anak-anak di haruskan menjawab soal-soal ujian sesuai bahkan persis sama dengan apa yang tertera di buku ajar mereka. Jadi, anak murid seolah dipaksa untuk menghafal titik, koma, tanda tanya, tanda seru dan sejenisnya dari apa yang ia baca di buku pelajarannya yang tidak lebih dari satu itu.

Saya sendiri berkali-kali mengalami hal itu dari bangku TK sampai Perguruan Tinggi. Di mana ada beberapa guru yang memiliki kecenderungan untuk memaksa anak didik menghafalkan mata pelajaran, bukannya memahami mata pelajaran tersebut. Sehingga ketika saya menjawab soal sesuai pemahaman saya dari sebuah teks di buku maka saya akan dianggap keliru dalam menjawab soal tersebut. Sekalipun ada juga guru yang tetap memberi nilai karna menghargai usaha saya untuk menjelaskan panjang kali lebar di lembar jawaban saya.

Haidar Bagir menandaskan kembali terkait metode pembelajaran yang di anggap keliru ini di mana dampak berikutnya adalah sekolah kemudian menjadi tidak nyaman (tidak ramah) bahkan cenderung tidak manusiawi terhadap anak-anak didik. Karena metode menghafal isi buku semacam itu akan menghambat kreatifitas mereka dalam mengembangkan dirinya dengan bentuk-bentuk kecerdasan yang sesuai dengan apa yang ia kehendaki, sebab tidak bisa di pungkiri bahwa setiap anak memiliki cara belajar dan bakatnya masing-masing. Maka biarkan kreatifitas anak-anak berkembang dengan apa yang disebut dengan “Merdeka Belajar”. Di mana, anak didik di berikan haknya untuk dapat memngembangkan hasil bacaan maupun pemahamannya terhadap pelajaran yang ia terima. Bahwa anak-anak boleh keliru kemudian belajar dari kekeliruan itu untuk menemukan dan menjadi lebih baik. Kiranya dari kekhawatiran semacam inilah sehingga lahir sebuah judul yang berbunyi “Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia”. Ketika terjadi pemulihan metode maupun proses pembelajaran anak didik maka secara bersamaan metode itu akan memulihkan kemanusiaan peserta didik (manusia).

Hemat saya bahwa, anak-anak harus di didik untuk memperbaiki kekeliruannya bukannya di paksa untuk tidak keliru sebab itu akan menyalahi kemanusiaan mereka. Yang mana, sebagai manusia, keliru merupakan hal yang sangat wajar bahkan baik untuk memberi pengalaman bagi seseorang. Maka dari itu anak didik sebaiknya memang harus keliru dan tidak mengapa jika keliru. Orang tua dan guru harus menerima itu sebagai sebuah proses yang harus dan mesti dilalui oleh anak-anak. Karena dari kekeliruan itulah ia kemudian bisa dibimbing untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya (belajar dari kesalahan). Bukan malah sebaliknya, ketika seorang anak melakukan kesalahan/kekeliruan ia di bully oleh teman-temannya, bahkan beberapa kebiasaan pengajar pun ikut mengamini hal tersebut tanpa ia sadari dengan kalimat-kalimat maupun perbuatan yang terkesan membanding-bandingkannya dengan murid yang lebih pintar darinya.

Tanpa kita sadari hal seperti ini membawa dampak buruk bagi psikis anak didik. Kemudian tertanamlah di dalam dirinya sebuah sifat ambisius di mana ia memaksa dirinya untuk harus lebih unggul dari teman-temannya sekalipun dengan menyontek demi mendapatkan nilai yang bagus agar mendapat pujian dari guru dan orang tua, terlebih agar tidak menjadi bahan ejekan lagi di kalangan teman-temannya. Saya dapat menyampaikan hal sedemikian ini sebab saya menjadi salah satu anak yang mengalami hal itu, dan menyaksikan sendiri ada murid yang juga ikut di perlakukan seperti itu. Syukur saja hal-hal traumatis seperti ini bisa di kendalikan bahkan di sembuhkan. Akan tetapi, beberapa anak didik malah melanggengkan karakter tersebut.

Dari sanalah dapat di ketahui bahwa pola mendidik yang cenderung menuntut hafalan anak-anak bukannya pemahaman mereka inilah yang bisa di bilang keliru. Ketika anak-anak secara tidak langsung di ajarkan untuk bersaing tidak sehat dan merasa bangga ketika mengalahkan orang lain, sebab hal seperti ini akan menjadi bibit yang tidak baik. Dampak di masa depannya ia akan membawa sifat ambisisus tadi bahkan menjadi lebih egois. Di mana, ia akan selalu menuntut dirinya untuk menjadi yang pertama sekalipun harus bersaing tidak sehat dengan teman lainnya. Semua teman dianggap lawan baginya, bukan lagi kawan untuk sama-sama meraih kegemilangan, kawan untuk sama-sama berbuat kebaikan. Akan tetapi, lawan untuk di sikut dan harus di kalahkan agar ia menjadi orang yang satu-satunya paling baik (egoisme).
Haidar Bagir kemudian menutup bahasannya terkait resolusi pendidikan ini, di mana kita perlu menyadari bahwa sesungguhnya filosofi pendidikan bukan hanya berakhir pada mendapatkan kesejahteraan materi semata. Lebih dari itu, belajar/berpendidikan harus berakhir dan bertujuan untuk membahagiakan dirinya sendiri dan orang di sekelilingnya dan inilah kesejahteraan sesungguhnya. Dalam bahasa yang lain, bahwa manusia (anak didik) belajar, mencari pengetahuan, menempuh pendidikan bukan semata untuk mendapat nilai yang baik/nyaris sempurna, title yang membanggakan, atau mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan materi berlimpah melainkan untuk mengentaskan kebodohan dirinya. Setelah ia menjadi cerdas maka kecerdasan itu perlu menjadi manfaat bagi orang lain. Kiranya inilah tujuan utama dari sebuah pendidikan yang di lalui dari proses belajar itu sendiri.

Kita perlu menyadari betul bahwa kesejahteraan (materi) tidak selalu dekat pada kebahagiaan. Nyatanya banyak ditemui orang-orang yang sejahtera secara materi tetapi nihil akan kebahagiaan. Sebaliknya, kebahagiaan dengan pasti akan menyejahterakan (memberi kesehatan) setidaknya bagi rohani dan jasmani si penuntut ilmu (pembelajar) dan orang-orang di sekitarnya, sebab ia akan berlaku baik dan menebarkan energi positif bagi mereka.

Ketika tujuan menuntut ilmu itu disadari, dengan pola didikan yang tidak lagi mengekang bahkan lebih membebaskan anak didik dalam berekspresi kemudian membuatnya menjadi pribadi yang bahagia sebab metode pembelajaran yang di berikan sesuai dengan kecenderungan minat dan bakatnya . Di masa depan anak tersebut akan menjadi seseorang yang akan bahagia menjalankan pekerjaannya apapun itu. Karena tidak ada ambisi menggebu-gebu yang harus ia capai dan tidak perlu menyikut orang lain untuk sampai pada tujuannya. Ia telah di latih lebih dahulu untuk menyenangi apa yang ia kerjakan sesuai dengan kemampuannya.

Resolusi yang coba di tawarkan oleh Haidar Bagir dalam isi ceramahnya pada seminar bedah buku karyanya berjudul “Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia” merupakan hal yang sangat bermanfaat baik para guru pendidik maupun anak-anak didik. Di mana, kita sudah bisa mengetahui dengan baik bagaimana pola didik yang baik dan tepat untuk anak-anak dan bentuk pendidikan seperti inilah yang seharusnya di berikan kepada mereka. Metode ini pun akan membuat peserta didik menjadi pribadi yang lebih menikmati proses belajarnya (enjoy of learning). Padahal metode inilah yang menjadi pilar pendidikan bangsa versi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Sangat di sayangkan bahwa cara kita-lah yang keliru dalam menerapkan hal tersebut.

Jikalau saja pilar enjoy of learning ini di terapkan maka dampak bagi peserta didik setidaknya akan menghindarkan mereka dari rasa stres karena rasa nyaman/menikmati itu hadir baik dalam menghadapi pelajaran maupun ujian di sekolahnya. Saya pikir dari metode merdeka belajar yang di pahami dari pilar pendidikan PBB ini, akan membuat peserta didik akan menjadikan belajar sebagai passion-nya. Di mana, ia menikmati setiap proses dan mencintai proses (suka-duka) dari belajar itu sendiri.

*) Penulis adalah Koordinator Komunitas Titik Temu

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT