Oleh : Safrin Salam, S.H., M.H.*
Masyarakat hukum adat terdiri dari suatu tatanan yang tetap, mempunyai kekuasaan sendiri, mempunyai kekayaan yang terlihat maupun yang tidak (Ter Haar). Definisi ini juga telah diatur, diakui dan dilindungi oleh UUD 1945 Amandemen ke-4 khususnya Pasal 18 b ayat (2) yang tertulis bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik indonesia”. Kata-kata negara mengakui dan menghormati adalah bentuk pengakuan dan perlindungan Negara bahwasanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya diakui dan dilindungi.
Pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat terlihat dari adanya pengakuan negara terhadap hutan adat yang diatur didalam Pasal 1 poin 6 UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, ketentuan Pasal 1 poin 6 telah dibatalkan dan diubah oleh MK melalui Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012. MK Menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat bukan negara.
Pengakuan VS Perlindungan Hutan Adat
Keberadaan Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 secara empiris tak terlaksana dengan baik khususnya di daerah. Kasus orang kinipan yang berkonflik dengan PT SML yang berujung pada ditangkap dan ditahannya Effendi Buhing sebagai ketua Adat Komunitas Laman Kinipan di Lamandau, Kalimantan Tengah. Penangkapan effendi buhing didasari atas dugaan pencurian alat perusahaan sawit milik PT SML. Effendi Buhing adalah ketua adat yang menjaga hutan kinipan sebagai hutan adat yang menjadi sumber kehidupan orang kinipan. Effendi buhing selaku ketua adat hanya menjalankan fungsinya untuk menjaga hutan adat dari aktivitas penebangan kayu di wilayat adat kinipan. Namun dilain sisi, PT SML yang telah mendapatkan izin pengelolaan lahan dari pemerintah daerah atas hutan adat melahirkan konflik lahan yang berkepanjangan antara orang kinipan dengan PT SML.
Keberadaan Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 tampaknya oleh pemerintah daerah belum dipahami dan dipatuhi secara baik. Secara substansi Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 telah mengatur secara manusiawi pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan adat. Pada pokok putusan MK menegaskan bahwa Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengaturan sangat jelas bahwa hutan adat diakui dan dilindungi. Pada kasus penangkapan effendi buhing menunjukan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat dilain sisi namun dilain sisi tidak dilindungi.
Pengakuan yang dimiliki oleh orang kinipan namun dilain sisi tidak diberikan perlindungan oleh negara (penegak hukum) adalah bentuk pelanggaran konstitusi. Negara telah melakukan pelanggaran konstitusi atas keberadaan orang kinipan dan hak ulayat atas hutan yang telah dijamin oleh UUD 1945. Dampak sosiologis dari tindakan negara ini tentu akan membuat disharmoni kehidupan antara negara dan masyarakat adat (orang kinipan). Tentu, ini tidak boleh terjadi negara sebagai institusi rakyat harus menjaga marwah sebagai representasi rakyat yang menghormati, mengakui dan melindungi hak asasi manusia atas masyarakat hukum adat atas hutan adat.
Orang kinipan adalah warga negara indonesia yang memiliki kedudukan hukum yang sama dengan lainnya. Negara memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan hak ulayat atas sumber daya alam. Apalagi pada kondisi pandemik covid 19, peran dari orang kinipan dalam menjaga ketahanan pangan secara lokal memiliki kontribusi besar dalam menjaga pangan secara lokal dan nasional. Negara wajib mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas hutan adat untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan hutan sebagai amanah pokok dari UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
*) Penulis adalah Dosen Hukum Adat Universitas Muhammadiyah Buton







































