Beranda Hukum Terkait Penanganan Kasus GORR dan Bansos, Praktisi Hukum Anggap Kejaksaan Tinggi Gorontalo...

Terkait Penanganan Kasus GORR dan Bansos, Praktisi Hukum Anggap Kejaksaan Tinggi Gorontalo Gunakan Standar Ganda

0
Dahlan Pido, SH., MH.

MataKita.co, Gorontalo – Praktisi Hukum, Dahlan Pido, SH., MH. mengkritisi kinerja kesanaan tinggi Gorontalo. Adapun dua kasus yang disorot yakni penanganan kasus Korupsi di Gorontalo Outer Ring Road (GORR) dan Kasus Korupsi Dana BANSOS Kab. Bone Bolango tahun 2011 – 2012. Kedua kasus ini dianggap memiliki standar ganda dalam penanganannya.

Dahlan Pido, SH., MH., Praktisi Hukum kepada MataKita.co (15/11/2020) mengatakan bahwa adanya Putusan Peninjauan Kembali (PK) atas Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial APBD tahun 2011 – 2012 Kab. Bone Bolango dan menentukan Korupsi di GORR (Gorontalo Outer Ring Road), Kejaksaan Tinggi Gorontalo telah melakukan standar ganda (Diskriminasi Hukum).

“Terkait Kerugian Negara seperti dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan: Kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Bahwa awalnya terkait dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pembebasan lahan GORR di Gorontalo sebesar Rp. 85 Milyar (80 %) dari anggaran total, apakah itu wajar? karena Kejaksaan Tinggi Gorontalo menyatakan perhitungan itu sementara. Haruslah perhitungan itu sudah jelas dan nyata dilakukan oleh Lembaga Negara (Badan Pemeriksaan Keuangan atau BPK). Namun sangat aneh, saat ini ada lagi angka yang dirilis oleh BPKP atas kerugian negara sebesar Rp. 43.3 Milyar, sangat fantastis turunnya setengahnya dari +/- 2 (dua) tahun lalu.Kesimpang siuran angka ini menandakan belum siapnya (Prematur) Kejaksaan Tinggi Gorontalo untuk mengajukan kasus ini sebagai Pidana Korupsi, belum lagi yang tersangka tadinya 4 (empat) orang saat ini tinggal 3 (tiga) orang, kemana satu tersangka itu tertinggal atau hilang ?” jelas Dahlan.

Dahlan menjelaskan, adapun kerugian Negara dalam perkara korupsi sebagaimana dinyatakan sebagai unsur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor merupakan salah satu elemen pokok, tanpa adanya unsur ini maka tidak ada korupsi. Dan sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 0003/PUUIV/2006, tanggal 25 Juli 2006 “unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung”. Pembuktian dan penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya itu harus dilakukan “secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian”.

“Untuk menentukan Korupsi di Gorontalo Outer Ring Road (GORR), Kejaksaan Tinggi dalam menentukan Korupsi harus berdasarkan hasil audit pemeriksaan BPK, dan didukung oleh keterangan ahli Pidana serta ahli yang terkait lainnya, sebagai salah satu alat bukti yang menyatakan bahwa pekerjaan GORR tersebut terindikasi dugaan korupsi sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP. Selain itu, Kejaksaan Tinggi Gorontalo harus menyelidiki apakah prosedur dan dokumen pelaksanaan pengadaan tanah pembangunan ruas jalan lingkar luar Gorontalo atau GORR sudah sesuai atau belum, siapa-siapa saja pelaksana pengadaan tanah, siapa yang menentukan nilai harga tanah (Appraisal), adakah sosialisasi dari Lurah/Kepala Desa kepada pemilik tanah bahwa tanahnya akan dilewati oleh pembangunan jalan GORR, adakah musyawarah atau sanggahan atau penolakan dari pemilik tanah Lurah/Kepala Desa, siapakah yang menetapkan nilai ganti untung kepada setiap lahan tanah/desa, adakah verifikasi pemberian ganti untung, adakah validasi pelepasan hak untuk masing-masing pemilik tanah kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo, terakhir adakah pemutusan hubungan hukum pemilik tanah yang kena lintasan pembangunan GORR” jelasnya.

Sementara itu, Dahlan menyebut bahwa hal berbeda justru terjadi pada Kasus Korupsi Dana BANSOS Kab. Bone Bolango tahun 2011 – 2012, yang dilakukan oleh salah satu Kepala Daerah. Hingga sekarang orang tersebut masih bebas berkeliaran, sehingga persamaan didepan hukum itu dimana diletakkan?, Kasus ini muncul setelah adanya Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) yang dilayangkan oleh salah satu Terpidana sudah DITOLAK oleh Mahkamah Agung, tetapi kenyataan yang ada pasca putusan PK di Tolak, sepertinya Kejaksaan Tinggi Gorontalo tidak menindaklanjuti dan memanggilnya, mengapa ada Diskriminasi Hukum terhadap seseorang, ada apa dengan hal ini?

“Perkara ini sebenarnya sudah harus disidangkan, hal ini demi menjaga wujud kepastian hukum di bumi Indonesia, Kajati Gorontalo tidak boleh mengabaikan Putusan Mahkamah Agung, karena bukan itu saja, Pengadilan Negeri Gorontalo telah menolak juga SP3 yang diajukan, sehingga salah satu tugas dan wewenang Kejaksaan adalah menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jangan karena seseorang itu berafiliasi dengan kekuatan yang ada, perlakuannya berbeda. Ini bukan hanya mencoreng kepercayaan publik kepada Pemerintah yang ada saat ini, tetapi juga mencoreng wajah Adyaksa secara keseluruhan.” jelasnya.

olehnya itu, Dahlan mengingatkan Kejaksaan Tinggi bahwa banyak kasus yang sebenarnya ketika dikaji bukan merupakan tindak pidana korupsi karena tidak adanya niat jahat (mens rea) untuk melakukan korupsi, tetapi adanya kesalahan prosedur administratif (mal adminstratie) yang diabaikan.

“Kasus seperti yang terjadi di Jalan Lingkar GORR ini adalah contohnya. karena ada asas dalam Hukum Pidana yang menyatakan bahwa, “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan” tutupnya.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT