MataKita.co, Takalar – Dalam ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dicantumkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita karena dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anakdidefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut yaitu “Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi.” Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan Pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap pelindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. Oleh karena hal tersebut, dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin (Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Adapun yang menjadi permasalahan mitra (masyarakat Desa Aeng Batu-Batu) adalah kurangnya informasi yang diketahui oleh masyarakat tentang Batas Minimal Usia Untuk Melakukan Perkawinan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Desa Aeng Batu-Batu, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga kegiatan Program Pengabdian Kepada Masyarakat, Program Kemitraan – Universitas Hasanuddin (PK-UH) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Hasanuddin (LP2M Unhas) yang dilaksanakan oleh Tim Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dapat menjadi wadah bagi masyarakat dan perangkat desa dalam memetakan persoalan dan menemukan solusi hukum dalam bentuk pemberian edukasi dan pemahaman hukum terkait Batas Minimal Usia Untuk Melakukan Perkawinan sesuai aturan hukum yang berlaku.
Kegiatan yang dilaksanakan pada Senin, 21 Juni 2021 di Kantor Desa Aeng Batu-Batu, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan wujud pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam bidang Pengabdian Kepada Masyarakat.
Tim pelaksana diketuai oleh Dr. Padma D. Liman, S.H., M.H. dan beranggotakan dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin: Dr. Birkah Latif, S.H., M.H., LL.M., Dr. Nur Azisa, S.H., M.H., Dr. Andi Syahwiah A. Sapiddin, S.H., M.H., dan dibantu oleh dua orang mahasiswa: Anhar Aswan dan Maria Deriana Rosari Putrina Naha.
Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh PJ. Kepala Desa Aeng Batu-Batu, Syarifa Ratu Yuliani, S.Pd., 10 staf desa, dan 23 warga Desa Aeng Batu-Batu, peserta yang hadir sangat dibatasi dan menggunakan protokol kesehatan yang ketat, mengingat situasi pandemi saat ini yang tidak memungkinkan untuk adanya kerumunan. Pada saat pelaksanaan kegiatan juga dihadiri oleh Babinsa setempat yang memantau jalannya pelaksanaan kegiatan
Syarifa Ratu Yuliani, S.Pd., selaku PJ. Kepala Desa Aeng Batu-Batu dalam sambutannya mengatakan bahwa kegiatan ini memberikan pemahaman hukum bagi masyarakat terkait Batas Minimal Usia Untuk Melakukan Perkawinan Menurut Undang-Undang, karena memang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum tersosialisasi dengan bagik di tengah-tengah masyarakat.
“Oleh karena itu, saya menyambut baik hadirnya para dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin baik sebagai pelaksana kegiatan maupun sebagai narasumber pada kegiatan hari ini” jelasnya.
Masyarakat juga sangat antusias mendengarkan materi yang dipaparkan oleh narasumber kegiatan Dr. Padma D. Liman, S.H., M.H., termasuk membaca buku panduan kegiatan yang diberikan kepada masing-masing peserta, pertanyaanpun banyak dilontarkan kepada narasumber, khususnya para ibu-ibu yang menanyakan mengenai akibat pernikahan di usia dini, sikap hukum terhadap budaya masyarakat terkait pernikahan, serta kiat-kiat yang dapat dilakukan agar pernikahan di usia dini dapat dihindari.