Oleh : Kadarudin *
Pagi ini saya membaca berita online yang memberitakan bahwa seorang Komandan USS Connecticut (Kapal selam nuklir Amerika Serikat) atas insiden penabrakan objek bawah laut yang diduga adalah sebuah gunung bawah laut di wilayah Laut China Selatan beberapa hari yang lalu. Akibat insiden tersebut, 11 orang awak terluka yang pada akhirnya USS Connecticut terpaksa harus ditepikan di Pangkalan Militer Amerika Serikat di Guam.
Insiden penabrakan objek bawah laut oleh USS Connecticut di satu sisi dapat dipahami sebagai human error dan hal tersebut berpotensi terjadi pada setiap operasi yang dilakukan oleh kapal selam negara manapun. Namun di sisi lain, insiden ini mungkin saja menjadi tamparan keras bagi militer Amerika Serikat ditengah upayanya menyebarkan pengaruh di kawasan Indo-Pasifik, terlebih ketika USS Connecticut itu tengah menjalankan operasi keamanan di perairan internasional yang menjadi sengketa di wilayah Laut China Selatan.
Amerika Serikat memang sangat bernafsu untuk mengambil peran di kawasan Indo-Pasifik guna mengimbangi pengaruh kekuatan China di Kawasan tersebut, khususnya di negara-negara Asia, terlebih kawasan Indo-Pasifik adalah merupakan kawasan strategis dunia baik dari sisi ekonomi, politik, dan keamanan. China memang terlebih dahulu menyebarkan pengaruh di kawasan ini khususnya di wilayah Indo-Pasifik bagian tengah, dimana tindakan sepihak China dalam membuat titik-titik imajiner (Sembilan garis putus-putus) yang lebih dikenal dengan sebutan Nine Dash Line di wilayah Laut China Selatan seluas 3,5 juta kilometer persegi yang didasarkan pada klaim sejarah (tanpa mempertimbangkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea 1984) dalam membuat Republik Indonesia, Brunei Darussalam, Republik Filipina, Malaysia, dan Republik Sosialis Vietnam dirugikan secara geografis dan hak-hak berdaulat.
Kawasan Indo-Pasifik
Indo-Pasifik dalam The Great Soviet Encyclopedia, merupakan suatu terminologi yang disematkan pada wilayah-wilayah yang membentang mulai dari pesisir timur Afrika dan Laut Merah di sebelah barat, hingga ke pulau-pulau terluar Kepulauan Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Indonesia, dengan batas utara pesisir Semenanjung Korea, Jepang selatan, dan Hawaii, serta batas selatan pada ujung selatan Benua Afrika, Shark Bay di Australia Barat dan Sydney di pesisir timurnya.
Melihat wilayah-wilayah yang masuk dalam kawasan Indo-Pasifik, maka tidak heran jika Amerika Serikat dan China berlomba-lomba berebut pengaruh di kawasan tersebut, terlebih tensi semakin memanas ketika Jepang, Persemakmuran Australia, dan Republik India ikut mengambil bagian dalam berebut pengaruh di kawasan tersebut. Tentu kita dapat pahami, mengapa kelima negara tersebut ingin memainkan peran lebih dibandingkan dengan negara-negara yang wilayahnya termasuk dalam kawasan Indo-Pasifik, karena selain faktor ekonomi, kelima negara tersebut juga kuat dalam alih teknologi khususnya dibidang keamanan dan pertahanan militer. Sehingga tentu saja Insiden penabrakan objek bawah laut oleh USS Connecticut mencoreng muka Amerika Serikat yang dikenal sebagai pemilik kapal selam nuklir terbanyak pembawa rudal balistik di dunia.
Siklus Lomba Senjata Vs Ekonomi
Pada 15 September 2021, Australia, United Kingdom, United States (AUKUS) secara bersama-sama membuat kesepakatan trilateral di bidang keamanan, atau yang lebih sering kita dengar dengan istilah Pakta Pertahanan Aukus. Pakta Pertahanan Aukus mempertegas posisi Australia lebih memihak Amerika Serikat dibandingkan dengan China, padahal sebelumnya Australia lebih mengambil posisi netral bersama negara-negara anggota ASEAN. Secara kuantitatif, Amerika Serikat memiliki 11 kapal induk, 10 kapal amfibi, dan 59 kapal perusak, 14 kapal selam nuklir pembawa rudal balistik, dan 54 kapal selam tenaga nuklir lainnya, ini adalah yang terbanyak dibandingkan dengan yang dimiliki oleh negara-negara anggota PBB lainnya, sehingga tanpa hitungan Australia dan United Kingdom-pun sebenarnya secara matematis, Amerika Serikat sudah unggul jauh dibandingkan dengan China, kecuali dalam hitungan armada kapal selam, China unggul dengan jumlah 79 armada kapal selam. Peluang inilah yang kemudian dilihat oleh Australia yang lebih memilih merapat ke Amerika Serikat ketimbang mengambil posisi netral atau harus merapat ke China, terlebih ketika Pakta Pertahanan Aukus ditandatangani Australia, Australia akan mendapatkan keuntungan dengan adanya bantuan peningkatan pertahanan dan keamanan militer, khususnya kebutuhan terkait armada kapal selam bertenaga nuklir dengan memanfaatkan keahlian dari Amerika Serikat dan Inggris, dimana hal ini China tertinggal jauh dari Amerika Serikat, dimana China hanya memiliki 6 kapal selam nuklir pembawa rudal balistik, dan 6 kapal selam tenaga nuklir lainnya. Namun untuk melawan dominasi tersebut, China yang saat ini sangat kuat dalam bidang ekonomi (jauh di atas Amerika Serikat), kemudian sangat agresif membuka keran investasi ke sejumlah negara di Asia, bahkan mengintensifkan perjanjian kerja sama sub-negara, seperti sister province dan sister city.
Peran Indonesia dalam Mempertahankan Sikap Kolektif ASEAN
Indonesia memiliki sejarah presidensi yang kuat di ASEAN, bahkan Indonesia merupakan negara pembentuk ASEAN bersama Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Saat ini ASEAN masih mengambil sikap netral atas memanasnya Kawasan Indo-Pasifik. Dalam pernyataannya, Menteri Luar Negeri ASEAN sampaikan beberapa pesan utama, di antaranya adalah menjadikan ASEAN sebagai Kawasan yang damai, aman, netral dan stabil, ASEAN tetap Bersatu, kohesif, dan miliki ketahanan dalam memajukan prinsip-prinsip dalam ASEAN Charter, meminta semua pihak untuk menahan diri dari aktifitas yang dapat meningkatkan eskalasi di Kawasan, meminta agar terus dibangun strategic trust di Kawasan dengan cara-cara damai melalui dialog dan kerja sama, dan menegaskan prinsip yang ada dalam ASEAN Outlook on the Indo-Pasifik (AOIP), dalam situs Kementerian Luar Negeri Indonesia, dijelaskan bahwa sejumlah pernyataan tersebut diusulkan oleh Indonesia dan dikembangkan serta diperkuat oleh negara-negara anggota ASEAN melalui proses pembahasan yang matang.
Melihat hal tersebut, Indonesia tentu memiliki peranan yang signifikan agar dapat mempertahankan sikap kolektif ASEAN, bahkan Presiden Amerika Serikat saat ini, Joe Biden melalui pernyataan resminya mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling diperhitungkan baik dari segi geopolitik maupun geostrategi dalam menjaga stabilitas keamanan di Kawasan Indo-Pasifik. Dengan demikian, maka Indonesia perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi banyak kekuatan besar (Aukus, Jepang, China, India) di Kawasan Indo-Pasifik dengan terlebih dahulu memberikan contoh kepada negara-negara ASEAN lainnya dalam menunjukkan kemampuan dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan wilayahnya.
*)Penulis adalah Dosen Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin