Beranda Hukum Catatan Singkat tentang Frasa“ Tanpa Persetujuan” Dalam Pengaturan Tentang Tindak Pidana Kekerasan...

Catatan Singkat tentang Frasa“ Tanpa Persetujuan” Dalam Pengaturan Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

0
Hijrah Adhyanti M

*Oleh: Hijrah Adhyanti M*

Akhir-akhir ini perdebatan mengenai frasa kata “tanpa persetujuan” dalam pengaturan tindak pidana kekerasan seksual Kembali mengemuka. Awalnya perdebatan ini muncul ketika pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kali ini perdebatan ini muncul kembali setelah diterbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksualdi Lingkungan Perguruan Tinggi. Dalam Peraturan Menteri (PerMen) tersebut, frasa kata ini add pada Pasal 5. Oleh pihak yang kontra dengan Pemendikbud Ristek tersebut, frasa kata ini kemudian ditafsirkan secara kontra, bahwa jika dengan persetujuan, maka hubungan seksual tersebut dibolehkan. Denngan demikian, PerMen ini pun kemudian dianggap melegalkan seks bebas. Pertanyaan saat ini adalah, apakah frasa kata “tanpa persetujuan” tersebut memang harus ditafsirkan secara a kontrario ?

Sebelum membahas mengenai frasa kata “tanpa persetujuan”, maka dipahami terlebih dahulu mengenai kekerasan seksuaal. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (versi awal) menyebutkan 9 bentuk kekerasan seksual , yaitu (a) pelecehan seksual, (b) eksploitasi seksual), (c) pemaksaan kontrasepsi, (d) pemaksaan aborsi, (e) perkosaan, (f) pemaksaan perkawinan, (g) pemaksaan pelacuran, (h) perbudakan seksual, dan /atau (i) penyiksaan seksual. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, terkait dengan kekerasan seksual antara lain adalah KUHP, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, UU Pornografi dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Dalam KUHP, tidak dikenal frasa kata “kekerasan seksual”. KUHP menggunakan frasa kata “tindak pidana kesopanan “. Adami Chazawi kemudian membagi 2 jenis tindak pidana ini, yaitu tindak pidana kesopanan di bidang kesusilaan dan tindak pidana kesopanan di luar bidang kesusilaan).Tindak pidana kesopanan di bidang kesusilaan inilah yang berkaitan dengan masalah seksual (2007 : 5). Jenis kejahatan ini terdiri dari pelanggaran kesusilaan umum, pornografi, zina, perkosaan, perbuatan cabul, perdagangan Wanita dan anak, serta pengguran kehamilan.

Dalam UU PKDRT, diatur tentang kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam UU Perlindungan Anak, diatur tindak pidana perkosaan, cabul dan eksploitasi seksual terhadap anak. Dalam UU TPPO , diatur tentang tindak pidana eksploitasi orang, termasuk eksploitasi seksual. Sementara, dalam UU Pornografi diantaranya mengatur tentang larang menjadi objek pornografi serta melibatkan anak dalam kegiatan pornografi, termasuk menggunakan produk atau jasa pornografi.

Selanjutnya, akan dibandingkan unsur beberapa tindak pidana dalam beberapa peraturan perundang-undangan tersebut, terutama unsur perbuatan yang dilarang , mengingat frasa kata “tanpa persetujuan” ini berkaitan dengan unsur perbuatan yang mengakibatkan perbuatan kekerasan terssebut menjadi tindak pidana :

Perkosaan; Pasal 285 KUHP

Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengannya di luar perkawinan

Pencabulan; Pasal 289 KUHP

Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul 

Pasal 46 UU PKDRT

Melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a

Catatan : Pasal 8 huruf a menentukan bahwa kekerasan seksual dalam hal ini adalah Pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut ;

Pasal 47 UU PKDRT

Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangga melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b

Catatan : Pasal 8 huruf b menentukan bahwa kekerasan seksual dalam hal ini adalah pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu

Pasal 76 D UU Perlindungan Anak

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain

Pasal 76E

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa , melakukan tipu muslihat, malakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul.

Pasal 2 ayat (1) U U TPPO

Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara R.I

Pasal 12 UU Pornografi

Mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk pornografi atau jasa pornografi.

Berdasarkan pengaturan beberapa tindak pidana yang terkait dengan kekerasan seksual tersebut di atas, maka frasa kata yang lazim digunakan adalah : (a) memaksa atau (b)memperoleh persetujuan dari korban karena tipu muslihat, serangkaian kebohongan, pembujukan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau penjeratan utang. Frasa kata “tanpa persetujuan” memang tidak lazim digunakan. Lalu, darimana frasa “tanpa persetujuan” ini berasal ?

Black Law Dictionary mengartikan rape atau perkosaan sebagai “unlawful sexual intercourse with a female without her consent” yang jika diterjemahkan secara bebas sebagai “ hubungan seksual melawan hukum terhadap seorang perempuan tanpa persetujuannya. Terry Thomas mengartikan sexual offending sebagai kegiatan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan atau dilarang oleh hukum, dengan atau tanpa persetujuan. Pengertian ini didasarkan pada premis bahwa hubungan seksual oleh orang dewasa dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak. Orang dewasa dianggap menyadari secara penuh konsekuensi dari tindakannya tersebut. Dengan demikian, yang dinyatakan sebagai perkosaan adalah yang dilakukan oleh orang dewasa tanpa persetujuan penuh. Jika seseorang tersebut setuju, tetapi persetujuannya disebabkan karena kondisi disabilitasnya, atau dibawah pengaruh alkohol atau narkotika, maka tidak dapat dikategorikan sebagai memberikan persetujuan. Sementara, contoh hubungan seksual yang dilarang oleh hukum baik dengan atau tanpa adanya persetujuan adalah hubungan seksual yang dilakukan terhadap anak (2013 :211). Pasal 273 ayat (1) KUHP Kanada meskipun dalam pengaturannya tidak memasukkan unsur “tanpa persetujuan” dalam uraian pengaturan tindak pidana serangan seksual terhadap orang dewasa, tetapi ketiadaan persetujuan merupakan elemen tindak pidana. Tanpa persetujuan dalam hal ini termasuk juga setuju karena paksaan atau ancaman, penipuan atau penyalahgunaan kekuasaan. (Manning, Mewett & Sankoff, 2009 : 864).

Bertolak dari hal tersebut di atas, maka kemudian dapatlah dimaklumi sikap beberapa pihak yang menolak frasa “ tanpa persetujuan” sebagai unsur perbuatan yang dilarang dalam pengaturan tentang kekerasan seksual, karena jika ditafsirkan secara a contrario, maka perbuatan seksual yang dilakukan dengan persetujuan, dibolehkan atau tidak dicela.

Oleh karena itu, Penulis menyarankan agar frasa “tanpa persetujuan” tersebut diganti dengan frasa yang selama ini sudah ada dalam peraturan perundang-undangan, yaitu (a) memaksa atau (b)memperoleh persetujuan dari korban karena tipu muslihat, serangkaian kebohongan, pembujukan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau penjeratan utang. Frasa “memaksa” (dwingen) sendiri berarti menekan kehendak orang lain agar menerima kehendak orang yang menekan (Adami Chazawi, 2005 :63) R. Soesilo juga mengartikan memaksa sebagai melakukan tekanan kepada seseorang sehingga orang tersebut itu berbuat sesuatu yang tidak akan diperbuatnya . Menurut penulis, frasa “memaksa” pada intinya tidak jauh memiliki perbedaan dengan frasa “tanpa persetujuan” karena dalam “memaksa” dan “tanpa persetujuan” terkandung makna tidak adanya kebebasan kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

Selain frasa kata ini sudah familiar sehingga tidak ada lagi penafsiran lain atas frasa kata-kata tersebut, jika frasa kata ini diadopsi dalam peraturan perundang-undangan pidana, memudahkan aparat penegak hukum untuk membuktikan unsur suatu tindak pidana kekerasan seksual. Aparat penegak hukum tidak perlu lagi memanggil saksi ahli hanya untuk meminta keterangannya terhadap suatu frasa kata baru yang menjadi unsur tindak pidana yang justru akan membuat lamanya proses hukum penanganan tindak pidana kekerasan seksual.

Untuk perbuatan seperti mengambil rekaman, mengunggah foto yang bernuansa seksual, dan sejenisnya, justru frasa kata” tanpa persetujuan” sebaiknya hilang. Hal ini didasarkan bahwa pada undang-undang pornografi mmelarang perbuatan menjadi objek atau model yang bermuatan pornografi meskipun orang yang menjadi objek atau model tersebut setuju (Pasal 8 jo Pasal 34 UU Pornografi)

Akhir kata, kekerasan seksual sudah merupakan ancaman yang nyata dan jumlahnya terus meningkat. Dengan demikian , pengaturan hukum yang komprehensif sudah merupakan keharusan sebagai salah satu bentuk upaya penanggulangan kejahatan ini . Namun, oleh karena pada dasarnya semua pihak ini memiliki niat mulia yang sama untuk menghapuskan kejahatan kekerasan seksual ini, sehingga semoga perdebatan tentang frasa ini tidak menghentikan sama sekali upaya pengaturannya.

*) Penulis adalah Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT