*Oleh: Didi Muslim Sekutu, S.H., M.H.
Jalan panjang konsolidasi demokrasi di Indonesia masih didominasi oleh persoalan sistem pemilu, salah satunya syarat penentuan calon terpilih pemilihan legislatif (pileg) yang kembali diperbincangkan. Bercermin dari realitas pileg 2019, saat itu sempat ramai menjadi polemik menjelang pelantikan anggota DPR dan DPRD tahun 2019. Beberapa caleg terpilih harus menerima nasib dipecat dari keanggotaan partai politik (parpol) beberapa hari menjelang pelantikan. Tentu saja, wacana ini berpotensi membahayakan proses konsolidasi demokrasi kita.
Penentuan caleg terpilih sesungguhnya tidak boleh mereduksi prinsip proporsional terbuka yang dijamin peraturan perundang-undangan. Namun jika bercermin dari Pemilu 2019 yang lalu, justru mengindikasikan kuatnya kontrol dan kooptasi parpol dalam penentuan caleg terpilih di masing-masing daerah pemilihan.
Diskursus lama terkuak kembali, apakah konsisten mempertahankan sistem proporsional terbuka, atau mengembalikan ke sistem proporsional tertutup (close list proportional representation) dengan dalih mengakali proporsional terbuka (open list proportional representation)?
Basis Konstitusional
Secara hukum, pengaturan UU No 7/2017 tentang Pemilu secara gamblang mengatur bahwa penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari parpol peserta pemilu didasarkan pada perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di satu daerah pemilihan (Pasal 422). Artinya, UU sudah menetapkan desain penentuan calon terpilih harus didasarkan pada suara terbanyak, tidak dibenarkan ketika perolehan suara partai lebih tinggi dari caleg maka partai punya absolut untuk menentukan perolehan kursi.
Penguatan sistem proporsional terbuka juga dapat dilihat dalam pengujian UU No 10/2008 terhadap UUD 1945, setidaknya putusan Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap sistem proporsional terbuka dalam penentuan caleg terpilih. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24 /PUU-VI/2008 yang pada intinya mengatur bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg. Dengan demikian rakyat secara bebas memilih dan menentukan siapa yang berhak ia pilih.
Mengutip Kacung Marijan, Sistem proporsional terbuka diusulkan karena sistem ini baik untuk partai sehingga semua calon akan bekerja keras untuk partainya. Rakyat juga mendapatkan pilihan yang lebih jelas. Sebab, siapa yang paling banyak memperoleh suara, akan masuk ke parlemen tanpa memakai nomor urut yang kriterianya tidak jelas dan menjadi sumber politik uang.
Memasung Hak Suara Rakyat
Sekalipun basis konstitusional sistem proporsional terbuka begitu kuat, namun dalam prakteknya selalu menemui tantangan. Prinsip proporsional terbuka ini tidak sepenuhnya berjalan dalam penyelenggaraan pemilu 2019, Parpol mengambil langkah untuk memberhentikan caleg yang mendapat suara terbanyak dengan memberikan kepihak yang dikehendaki oleh Parpol tertentu. Kita dipertontonkan dengan oligarki partai yang berupaya mengotak-atik suara rakyat. Ini bukan hanya persoalan integritas, tetapi lebih jauh ini adalah manipulasi hasil demokrasi.
Jika ditelusuri, syarat dari seorang caleg adalah menjadi anggota parpol, kemudian jika keanggotaannya diberhentikan sudah tidak memenuhi syarat, oleh karena itu dilakukan pergantian calon yang bersangkutan, inilah yang menjadi celah sekaligus cara mengakali sistem proporsional terbuka, kuasa partai terlihat dengan memecat kader sebelum pelantikan, jadi calon terpilih dianggap tidak memenuhi syarat untuk dilantik menjadi anggota legislatif.
Tindakan ini menciderai substansi dari daulat rakyat karena warga negara telah menggunakan hak pilihnya dalam menentukan siapa wakil mereka di parlemen, tetapi dengan pengekangan seperti ini sangat menyimpang dari semangat awal pemberlakuan prinsip proporsional terbuka. Padahal sistem Pemilu kita menghendaki agar calon yang terpilih adalah yang benar-benar mendapatkan simpati dan suara terbanyak dari konstituen. Sistem ini dipilih karena dianggap sebagai jalan untuk keluar pada rezim kuasa partai yang mengekang kepastian dan kesempatan yang sama dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Parpol tidak boleh seenaknya memecet kader dari keanggotaan partai dan mengganti calon terpilih, kita tahu betul bahwa dalam sistem proporsional dengan daftar calon terbuka semua punya kesempatan yang sama (equality), maknanya adalah bahwa didalam penetapan calon terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak. Namun faktanya setelah pemilu selesai beberapa parpol menentukan sendiri siapa yang akan ditetapkan, meskipun calon tersebut memperoleh suara terbanyak kedua, bahkan ketiga dan seterusnya. Inilah praktek yang keliru, dan merusak sistem pemilu kita.
Jika dicermati, ini bukan persoalan sistem, tapi lebih kepada etika parpol yang tidak menghargai suara rakyat. Apakah partai mau menerima kenyataan bahwa yang terpilih bukan merupakan jagoan mereka? Bagi sebagian partai yang tidak bisa menerima ini maka terjadilah proses seperti ini.
Pada akhirnya, penyelenggara pemilu juga tidak boleh bersikap apatis terhadap hal yang seperti ini, penyelenggara seharusnya melindungi calon dari praktek seperti ini, bukan sebaliknya, karena asumsinya rakyat sebagai pemilik hak suara meyakini bahwa kami memilih calon tersebut karena itu yang terbaik menurut kami. Pada akhirnya partisipasi rakyat dalam proses penentuan kepemimpinan merupakan indikator penting dalam mengukur sebuah negara demokratis, dimana masyarakat diberi hak untuk ikut serta ambil bagian dalam proses politik. Akhir kata semoga ini menjadi koreksi bagi seluruh parpol dan juga penyelenggara agar tetap berjalan pada koridor norma yang telah disepakati, agar makna demokrasi betul-betul sampai pada maknanya yaitu memberikan sepenuhnya kepada rakyat untuk memilih dan menentukan siapa yang menjadi wakil mereka, jika praktek seperti ini diteruskan maka suara rakyat kini tidak ada lagi nilainya. Semoga!
*)Penulis adalah Pegawai Analis Hukum KPU Kab.Bolaang Mongondow Selatan