*Oleh: Engki Fatiawan
Masa tanam akhir tahun 2021 sekitar bulan oktober diisi dengan berbagai pemberitaan dan pengaduan petani mengenai kelangkaan pupuk bersubsidi. Sampai pada awal tahun 2022 polemik kelangkaan dan mahalnya pupuk bersubsidi masih dirasakan oleh petani. Harga pupuk mencapai Rp 265 ribu sampai sampai Rp 280 ribu per sak (50 kg) pupuk urea. Pada Oktober hingga November 2021 harga pupuk mengalami kenaikan menjadi Rp 380 ribu. Desember 2021 mencapai Rp 480 ribu hingga 500 ribu. Harga pupuk di daerah luar pulau jawa bisa mencapai Rp 600 ribu.
Tingginya harga pupuk membuat petani mengalami kerugian karena harga hasil produksi sangat rendah di tingkat petani. Hal ini membuat petani sangat terpukul. Alih-alih ingin memajukan pertanian tapi kesejahteraan petani tidak di pertimbangkan. Ini merupakan salah satu alasan sehingga saat ini banyak yang meninggalkan profesi petani.
Pupuk merupakan bagian penting dalam pertanian. Pupuk menjadi pemasok unsur hara bagi tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan subur. Sistem pertanian di Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari penggunaan pupuk sehingga petani sangat bergantung pada pupuk subsidi. Apabila tidak disubsidi maka pupuk akan jauh lebih mahal. Di kalangan petani ada dua jenis pupuk yang digunakan yaitu pupuk kimia dan pupuk organik. Namun, yang paling banyak digunakan adalah pupuk kimia.
Kelangkaan pupuk bersubsidi bisa saja merupakan kreasi mafia dengan menimbun pupuk subsidi sehingga terjadi kelangkaan. Selain itu, pupuk subsidi juga biasanya dibeli banyak oleh perorangan sehingga petani lain sulit untuk mendapatkan pupuk subsidi tersebut. shingga enam prinsip penyaluran pupuk tidak tercapai. Enam prinsip tersbut yaitu tepat jenis, tepat harga, tepat waktu, tepat tempat, tepat jumlah, dan tepat mutu.
Sistem pertanian kita pada dasarnya tidak bisa lepas dari penggunaan pupuk. Sejak revolusi hijau penggunaan pupuk digencarkan masuk di kalangan petani untuk meningkatkan hasil produksi pertanian. Dari tahun ke tahun hal tersebut efektif dalam meningkatkan hasil-hasil pertanian. Seiring berjalannya waktu lahan pertanian semakin terdegradasi dan tidak mampu memberikan unsur hara dengan baik tanpa bantuan pupuk. Dan dari beberapa pendapat mengatakan bahwa penggunaan pupuk telah sukses merusak struktur tanah pertanian. Pupuk yang dimaksud disini adalah penggunaan pupuk kimia secara berlebihan karena tanah tidak mampu memberikan unsur hara yang lebih.
Ketergantungan pada pupuk merupakan kreasi kapitalisme dengan memaksakan penggunaan pupuk kimia dalam sistem pertanian. Baru kemudian disadari ketika sudah ada masalah yang terjadi. Olehnya itu, perlu ada gerakan revolusi agraria yang mampu memperbaiki sistem pertanian yang ada di Indonesia.
Langkanya pupuk subsidi dan mahalnya pupuk nonsubsidi bisa menjadi dasar untuk keluar dari lingkaran kreasi kapitalisme pupuk. Kita perlu mengubah haluan bahwa petani harus mampu membuat pupuknya sendiri. Pupuk yang dibuat adalah pupuk yang alami, sehat, dan memiliki prinsip pertanian yang berkelanjutan. Maka dari itu, Peran segala lini dibutuhkan mulai dari pusat hingga pada kelompok-kelompok tani. Lembaga penelitian harus mampu membuat inovasi baru yang lebih baik. Perguruan tinggi harus mampu mencetak sarjana pertanian yang terampil yang memiliki gagasan inovatif sehingga dapat menciptakan pupuk yang bisa dibuat oleh petani.
Di sini pula dibutuhkan perhatian dari pemerintah dengan membuat kebijakan dan program yang meningkatkan kualitas sumber daya petani. Subsidi serta bantuan modal harus digelontorkan ke petani dengan pengawasan yang intensif. Pemerintah harus mendukung kemerdekaan petani dalam menentukan harga pasar.
Mengenai kelangkaan pupuk bersubsidi harusnya pemerintah mampu memenuhi stoknya di setiap daerah. Apalagi program peningkatan pangan sedang dikerja untuk mengantisipasi krisis iklim yang berujung pada krisis pangan di tengah pandemi Covid-19.
*) Penulis adalah Ketua Umum Pikom IMM Pertanian Universitas Hasanuddin