Matakita.co, Makassar- Ramai usulan perpanjangan jabatan presiden ataupun penundaan pemilu tahun 2024, membuat publik gerang dan angkat bicara.
Dari pantauan redaksi matakita.co di media sosial, telah ramai tanggapan penolakan para ahli hukum tata negara. salah satunya tanggapan dari Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada. Berikut ulasan ilmiah beliau. (26/02/2022)
Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. yang saat ini sedang di Melbourne (Australia), mengaku cemas dan gusar mengikuti perkembangan politik dan hukum konstitusi di Tanah air.
“Dari Melbourne (Australia), saya dengan cemas dan gusar mengikuti perkembangan politik-hukum konstitusi di tanah air. Dalam hari-hari ini, partai-partai koalisi pemerintah (PKB, Golkar, PAN, Nasdem, PPP), menyatakan dukungannya bagi penundaan pemilu 2024”. pungkas Prof Denny Sapaan akrabnya
Prof Denny kembali mengatakan bahwa Baru PDI Perjuangan yang secara terbuka menyatakan penolakannya, yang belum tahu juga apakah tetap bisa bertahan dan tidak tergoyahkan. Ingat, penundaan pemilu berarti pula perpanjangan jabatan presiden dan parlemen serta pula kepala daerah. tegasnya
Selanjutnya, Prof. Denny kembali menguraikan bahwa wacana ini merupakan perkembangan yang memalukan sekaligus membahayakan
“Ini adalah perkembangan yang memalukan, sekaligus membahayakan, karena itu harus pula ditanggapi dengan serius dan cepat. Wacana penundaan pemilu, sebenarnya adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang telanjang alias pelecehan atas konstitusi (contempt of the constitution)“.
Pakar Hukum Tata Negara UGM itu menguraikan dengan gamblang secara teoritis. baginya dalam teori ketatanegaraan pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, hanya demi menyelamatkan negara dari ancaman serius yang berpotensi menghilangkan negara. Sejarah Indonesia mencatat, pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai salah satu pelanggaran konstitusi, yang akhirnya diakui menjadi sumber hukum bernegara yang sah dan berlaku. jelasnya
Namun alasan pelanggaran konstitusi harus jelas untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat Indonesia (for the sake of the nation and the people). Ukurannya adalah dampak dari tindakan pelanggaran konsitusi harus semata-mata demi menyelamatkan negara bangsa. Indikator penting lainnya adalah pembatasan kekuasaan (limitation of power) dan penhormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar-pilar utama dari prinsip konstitusionalisme. tegas Advocate senior Partner INTEGRITY Law Firm itu
Lebih lanjut, dirinya menambahkan bahwa wacana tersebut merupakan potret pelanggaran konstitusi berjamaah yang hanya didasari pada dahaga atas kekuasaan semata.
“Maka dengan parameter demikian, menunda pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan parlemen, dan kepala daerah, nyata-nyata adalah potret pelanggaran konstitusi yang berjamaah, karena lebih didasari pada dahaga atas kekuasaan semata (machtsstaat) dan bukan berdasarkan perjuangan tegaknya negara hukum (rechtsstaat). tambahnya
Baginya, Kalaupun prosedur perubahan konstitusi dilakukan, maka perubahan yang dilakukan dengan melanggar prinsip konstitusionalisme yang pondasi dasarnya adalah pembatasan kekuasaan, adalah batal demi konstitusi itu sendiri (constitutionally invalid). Sama sekali tidak boleh konstitusi diubah untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi, apalagi disalahgunakan untuk memperbesar kekuasaan, yang justru seharusnya dibatasi oleh konstitusi itu sendiri. Tidak boleh konstitusi disalahgunakan untuk memberikan legitimasi, atas penumpukan kekuasaan yang sejatinya melanggar maksud dan tujuan hadirnya hukum dasar konstitusi itu sendiri.
Selain itu, Pakar Hukum Tata Negara itu dan juga sebagai salah satu Advocate senior di tanah air, menyerukan penolakan dan teriakan dari kalangan elemen masyarakat.
“Kalau rencana pelecehan massal konstitusi ini terus dilanjutkan, maka kita sebagai anak bangsa harus berteriak lantang untuk menolaknya. Kita harus menyadarkan elit negeri bahwa konstitusi harus dihormati, bukan dilecehkan. Seharusnya Presiden Jokowi, sebagai Kepala Negara harus segera meluruskan pelanggaran serius ini. Itu kalau Beliau serius dengan sumpah jabatannya di atas Al Qur’an untuk menjalankan konstitusi dengan selurus-lurusnya, dan jika Beliau tidak ingin dianggap sebagai bagian dari pelaku yang justru mengorkestrasi pelanggaran konstitusi bernegara tersebut”. kata prof. Denny
Selanjutnya, kata Prof Denny Elemen masyarakat madani tidak boleh membiarkan kesalahan mendasar ini dan harus melakukan konsolidasi dan penolakan keras. Jangan sampai kita terlambat, hingga yang melakukan pelurusan sejarah adalah hukum alam-sunatullah. Ayo selamatkan Indonesia kita! Salam hormat, Denny Indrayana (+62817726299). (*MHM)