Beranda Fajlurrahman Jurdi Sesat Tafsir Presidential Threshold

Sesat Tafsir Presidential Threshold

0
Fajlurrahman Jurdi
Fajlurrahman Jurdi

Oleh: Fajlurrahman Jurdi*

Tafsir terhadap makna ambang batas pencalonan presiden masih dikuasai langgam oligarkis. Putusan MK terhadap perkara Nomor 5/PUU-XX/2022 dengan pemohon  Lieus Sungkharisma; perkara Nomor 6/PUU-XX/2022 dengan pemohon Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, Fahira Idris; Putusan MK atas perkara Nomor 7/PUU-XX/2022 dengan pemohon Ikhwan Mansyur Situmeang; putusan MK atas perkara Nomor 66/PUU-XIX/2021 dengan pemohon Ferry Joko Yuliantono Putusan MK atas perkara nomor 68/PUU-XIX/2021 dengan pemohon  H. Bustami Zainudin, Fachrul Razi, dan putusan MK atas perkara Nomor 70/PUU-XIX/2021 dengan Pemohon: Gatot Nurmantyo; diputus oleh Majelis dengan nada yang sama: “tidak dapat diterima”. Itu artinya, ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu masih berlaku.

Gugatan terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden ini bukan pertama kali, tetapi sudah berulang kali. Sebelum UU Pemilu dikodifikasi, ketentuan Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres juga berkali-kali digugat. Hasilnya nihil. Mahkamah bersikukuh, bahwa itu open legal policy. Terserah DPR, mau mengaturnya sesuai dengan keinginan mereka, berapa angka yang tepat untuk membatasi pengajuan calon presiden dan wakil presiden.

Argumen serupa masih mengemuka dalam pembacaan putusan majelis hakim MK pada 24 Februari 2022. Majelis belum beranjak dari pendirian penafsiran lama, bahwa urusan ambang batas pencalonan presiden masih berkutat pada 20% jumlah kursi DPR atau 25% jumlah suara sah partai politik secara nasional.

Tidak ada yang berubah. Kecuali dissenting opinion Saldi Isra dan Suhartoyo. Suara keduanya seperti mimesis, tak ada artinya, karena kalah telak oleh mayoritas majelis hakim. Putusan majelis hakim MK mengukuhkan betapa usangnya cara pandang konstitusi mereka, dan betapa terbelakangnya memahami term konstitusi serta frase yang ada dalam UUD NRI tahun 1945.

Beberapa alasan dapat dikemukakan untuk memahami kedudukan ambang batas pencalonan presiden dalam UUD NRI tahun 1945.

Pertama, konstruksi berpikir UUD NRI tahun 1945 jelas sekali meletakkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 6A ayat (2). Darimana datangnya angka 20% kursi dan 25% suara sah secara nasional dalam Pasal 222 UU Pemilu?. Apakah ini ikhtiar yang disebut dengan open legal policy?. Bukankah persentase ini merusak originalitas makna konstitusi?.

Kedua, Ada kesalahan dalam memahami term presidential threshold. Presidential threshold bermakna ambang batas keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bukan ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden. Ambang batas keterpilihan sudah diatur dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD NRI tahun 1945. Jadi tidak ada dasar konstitusional untuk mengatur ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Ketiga, Frase “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”, di Pasal 6A ayat (5) hanya memerintahkan untuk mengatur “tata cara pemilihan”, bukan memberi makna baru terhadap frase Pasal 6A ayat (2). Karena terkait dengan tata cara, maka hanya itu yang diatur, sebagaimana ketentuan di dalam UU Pemilu, kecuali di Pasal 222.

Keempat, Pileg dan Pilpres diselenggarakan secara serentak. Bagaimana mungkin mengatur dan mengetahui perolehan kursi dan perolehan suara sementara kedua event ini dilakukan bersamaan?. Jika menggunakan standar perolehan kursi pada pemilu sebelumnya, bagaimana jika partai yang mengusung justru tidak lolos ketentuan parliamentary threshold dan tidak ada di DPR?.

Kelima, Argumen lain yang mengmuka juga sejak dulu adalah terkait dengan efektivitas sistem presidential. Dengan berkaca pada argumen di bagian keempat diatas, apakah kompatible dengan logika efektivitas sistem presidential?. Bukankah presiden butuh dukungan politik parlemen untuk memudahkan program kerja pemerintahan?. Bagaimana jika partai pengusungnya justru tidak lolos Parliamentary Threshold?.

Keenam, pemahaman majelis hakim terhadap ketentuan konstitusionalitas presidential threshold sumir, tidak jelas dan tidak berdasar pada teks original inten UUD NRI tahun 1945. Sehingga amar putusannya terkesan politis.

Akhirnya penulis berpendapat bahwa putusan Majelis Hakim MK terhadap ketentuan Pasal 222 UU Pemilu hanyalah mengulang kesesatan tafsir masa lalu. Semestinya majelis hakim cukup memahami teks konstitusi. Memang butuh nyali dan keberanian untuk tidak tunduk pada tafsir yang menguntungkan partai-partai besar. Dan putusan MK terhadap ambang batas pencalonan presiden adalah putusan yang tunduk pada “kehendak” partai-partai besar.
Wallahu alam bishowab.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT