Beranda Lensa Kacau! Eksaminasi Putusan Lepas PN Makale: Hakimnya Layak Diperiksa

Kacau! Eksaminasi Putusan Lepas PN Makale: Hakimnya Layak Diperiksa

0
Heriman S.H, M.H.

Matkita.co, Tana Toraja- Kejaksaan Negeri Tana Toraja harus menelan pil pahit pasca Pengadilan Negeri Makale mengeluarkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslagvan rechtsvervolging).

Advokat kondang asal Jakarta Heriman S.H, M.H. mengutarakan, terdapat perkara tindak pidana penyerobotan atas nama terdakwa Massudi Sombolinggi Alias Puang Massudi yang diputus dengan Putusan Lepas dari segala tuntutan pada tanggal 09 Maret tahun 2022. Putusan Lepas adalah salah satu dari tiga jenis putusan Hakim yang diatur dalam Pasal 191 KUHAP yang pada pokoknya mengatur “jika majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Terbitnya Putusan Lepas tersebut memunculkan diskursus perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi hukum khususnya di Kabupaten Tana Toraja. Pasalnya, kedua perkara ini menarik kecurigaan publik pada sikap obyektifitas Majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Dilansir dari laman situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Makale, terdapat kejanggalan dalam perkara atas nama Massudi Sombolinggi Alias Puang Massudi yang sempat beberapa kali dilakukan penundaan tersebut.

Tercatat, selama 285 hari proses persidangan berlangsung hingga keluar putusan hakim. Padahal, berdasarkan Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.

Asas peradilan cepat dimaksudkan agar dalam penanganan perkara dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, sehingga tidak perlu memakan waktu yang lama. Sedangkan Asas peradilan sederhana maksudnya adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien dan Asas biaya ringan adalah biaya perkara yang terjangkau oleh rakyat. Lantas, mengapa perkara ini memerlukan waktu yang begitu lama hingga mengalami beberapa kali penundaan pembacaan putusan, ada apa atau apa ada ?.

Selain itu jika mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan mengatur jika penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat dalam waktu 5 (lima) bulan termasuk penyelesaian minutasi, namun sayangnya hal ini tidak berlaku pada kasus Perkara Massudi Sombolinggi Alias Puang Massudi dengan nomor perkara 75/Pid.B/2021/PN Mak.

“Oleh karenanya sangatlah layak agar perkara ini dibawa ke Komisi 3 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Badan Pengawas Hakim dan Komisi Yudisial (KY) untuk dilakukan pemeriksaan terhadap para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut karena mengadili tidak sesuai dengan asas peradilan singkat, sederhana dan biaya murah karena  telah mengadili perkara ini selama 9 (Sembilan) bulan sangat memakan waktu yang lama sekali dan berlarut-larut membuat citra peradilan menjadi rusak. Adapun Ketua Majelis Hakim perkara ini adalah Roland Parsada Samosir, S.H., masing-masing anggota Hakim Raja Bonar Wansi Siregar, S.H., M.H dan Helka Rerung, S.H.”.

Terdakwa Massudi, dihadapkan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 28 Mei 2021 dengan dakwaan Subsidaritas yakni Primair : Pasal 167 Ayat (3) KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP Subsidair: Pasal 167 Ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Adapun dakwaan yang dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah dakwaan Subsidair dengan tuntutan Pidana selama 5 (lima) bulan. Namun anehnya pada hari Kamis tanggal 10 Maret tahun 2022, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makale kemudian memberi Putusan Lepas dari segala tuntutan Hukum.

Lebih Lanjut, Kata Heriman S.H, M.H Advokat yang telah melalang buana menangani perkara di seluruh Indonesia ini, perkara Massudi Sombolinggi Alias Puang Massudi ada beberapa kejanggalan selain yang telah diuraikan di atas, yakni majelis hakim dalam amarnya mengatakan perbuatan Terdakwa terbukti namun bukan merupakan ranah Pidana.
Padahal terkait permasalahan hak milik dari Sawah Letok tersebut telah jelas adalah milik Prof. Dr. Mathius Tambing, S.H., M.H. sesuai dengan sertifikat hak milik yang dimiliki korban, selanjutnya Terdakwa ternyata pernah menggugat sertifikat hak milik itu di Pengadilan Negeri Makale secara Perdata dengan nomor perkara  21/Pdt.G/2018/PN Mak dan Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor perkara 24/PDT/2019/PT MKS yang menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima untuk seluruhnya (Niet On Vankelijk Verklaard).Dengan kata lain gugatan Massudi kandas.

Ternyata selain itu Massudi juga pernah menggugat Badan Pertanahan Kab. Tana Toraja terkait Sertifikat Hak Milik (SHM) No.259/Rantealang atas nama Prof. Dr.Mathius Tambing,  SH,MSI, Surat ukur Tanggal  28  September  2016,  Nomor  00014 I Rante alang I 2016, luas 13.786 m1   atas nama  Prof. DR. Mathius Tambing,  SH, MSI dengan nomor Perkara 106/G/2020/PTUN.Mks pada bulan Desember tahun 2020 lagi-lagi gugatan Massudi kandas baik melalui Peradilan  Perdata maupun Tata Usaha Negara.

“Aneh bukan jika majelis hakim mengatakan ini merupakan perkara selain Pidana, padahal Peradilan Perdata dan Tata Usaha Negara menolak gugatan Massudi karena perkara ini diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum setelah adanya putusan Perdata dan Tata Usaha Negara tersebut”.

Seharusnya baik Penyidik dan Penuntut Umum berkolaborasi mengawal kasus ini jangan sampai ada oknum-oknum bermain dengan cara membentuk petugas gabungan dengan berbagai macam peralatan canggih yang dimiliki instansi tersebut untuk memberantas mafia peradilan termasuk mafia tanah yang saat ini marak di tanah air juga di Tana Toraja supaya badan peradilan betul-betul steril.

Bahwa selain itu Heriman S.H, M.H mendapatkan informasi dari masyarakat yang mengatakan saksi korban Prof. Mathius Tambing yang berdomisili di Jakarta meminta Prof. Mathius Tambing agar langsung datang ke Tana Toraja untuk mengikuti sidang, padahal pada saat itu masih masa pandemi sehingga sulit untuk datang ke Tana Toraja dan juga terkait masalah kesehatan saksi korban Prof. Mathius Tambing yang pada saat itu sedang sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan sakit yang diberikan  kepada Majelis Hakim melalui Jaksa Penuntut Umum namun sangat disayangkan majelis hakim tetap meminta dihadirkan secara offline padahal telah ada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik, sehingga dengan berat hati keterangan daripada saksi korban Prof. Mathius Tambing hanya dibacakan saja dimuka persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum padahal bisa saja saksi korban Prof. Mathius Tambing diperiksa secara virtual.

“Hal ini menjadi bukti dari memihaknya majelis hakim kepada Massudi dan bukti keadilan telah runtuh di bumi Lakipadada bagi para pencari keadilan”.

Penyerobotan Tanah

Dalam KUHP, yang dimaksud penyerobotan tanah adalah memaksa masuk ke suatu pekarangan yang tertutup/ruangan/rumah orang lain tanpa seijin yang berhak. Pada Pasal 167 Ayat (1) KUHP yang mengatur terkait penyerobotan tanah setidaknya mengandung Unsur Sunyektif dan Obyektif. Unsur subjektif adalah unsur yang menyangkut orang yang melakukan tindak pidana. Dalam pasal ini meskipun tidak disebutkan kata-kata “sengaja” (dolus), atau lalai (culva), namun dapat ditafsirkan bahwa unsur kesalahan ini ada dalam diri pelaku yakni dilakukan dengan “sengaja”. Artinya harus bisa dibuktikan perbuatan yang dilakukan oleh subjek delik dilakukan dengan sengaja. Jika unsur sengaja tidak ada maka, pasal ini tidak bisa digunakan. Sedangkan Unsur objektif adalah unsur dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum.

Dalam pasal ini ada beberapa unsur yaitu memasuki rumah/ruangan/pekarangan orang lain, cara masuknya harus dengan tanpa seijin pemiliknya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah suatu tanah yang tidak dipagar juga termasuk dalam unsur “tanah pekarangan tertutup”? Menurut penjelasan R. Soesilo dalam bukunya berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana), apabila tanah tersebut telah memiliki batas-batas yang telah dipasang berupa patok, dan pihak yang berhak telah memasang larangan bagi siapapun untuk memasuki tanah tersebut, maka tanah pekarangan tersebut adalah pekarangan tertutup. Hal inilah yang menjadi persoalan dalam perkara yang menimpa Massudi.

Terdakwa dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memasuki sawah milik orang lain untuk menggarap, menanam padi, menebar bibit ikan tanpa izin dari pemiliknya yakni saksi korban Prof. Dr. Mathius Tambing sesuai dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 20.09.14.03.1.00259 Kabupaten Tana Toraja. Namun, nasib baik berpihak pada Terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makale menganggap hal tersebut bukan merupakan perbuatan Pidana melainkan merupakan permasalahan Perdata. Artinya, hakim menganggap perkara tersebut menjadi ranah pemeriksaan acara perdata bukan peradilan pidana.

Satu-satunya upaya yang dapat dilakukan oleh Penuntut Umum adalah mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Dari sudut pandang praktisi, putusan lepas dianggap merupakan putusan yang dianggap paling memalukan bagi para jaksa di tanah air. Sebab, perkara tersebut dinyatakan oleh hakim bukan merupakan suatu tindak pidana, lantas mengapa Jaksa melimpahkan perkara tersebut untuk disidangkan di perkara pidana.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu melihat secara obyektif dengan menggunakan akal sehat dalam menganalisis secara komprehensif Putusan Pengadilan Negeri Makale agar dapat ditentukan apakah perkara tersebut lepas karena ketidakcermatan Jaksa Penuntut Umum atau Kekeliruan Mejelis Hakim dalam menerapkan hukum atau jangan-jangan masih ada ‘mafia perkara’ yang hidup ditengah-tengah para pencari keadilan.

Seharusnya majelis hukum menghukum Terdakwa karena ini bukan lagi masalah Perdata atau Tata Usaha karena kedua hal tersebut sudah ada putusannya, kecuali jika ada main mata antara mereka nah saya menantang Penyidik Kepolisian Tana Toraja dan Penyidik Kejaksaan Negeri Tana Toraja untuk mengusut tuntas perkara ini apakah ada transaksional. Wallahu’alam Bisshowab.

*) Eksaminator adalah Heriman, S.H.,M.H., seorang Advokat kondang dari Jakarta

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT