Oleh: Ismail Fatsey*
Matakita.co, Opini – Hari ini, kita kembali memperingati hari Pendidikan Nasional, dimana persoalan pendidikan sampai saat ini tiada habisnya untuk diperbincangkan di muka umum sebab merupakan pondasi generasi, penjaga bangsa.
Pendidikan di dalamnya mencakup pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pendidikan formal, tanggung jawab akan proses tersebut dilimpahkan pada kelompok profesi yang kita sebut guru.
Adapun tanggung jawab guru itu sebenarnya cukup berat jika kita sadari dan kita pikirkan secara mendalam karena ikut menentukan nasib kehidupan generasi untuk masa depan. Guru berperan menghadirkan nuansa pendidikan yang berkualitas.
Generasi yang dididik keliru, menunjukkan gejala yang kurang serasi dalam menghadapi masalah hidupnya, seperti rasa kurangnya harga diri, hubungan sosial kurang akrab, kurang mampu melihat realita, diliputi kecemasan, secara emosional kurang stabil, rasa tanggung jawab kurang berkembang, kurang kreatif atau produktif, dan sebagainya.
Namun, guru sendiri masih menemui banyak polemik dalam posisinya sebagai tenaga pendidik. Apabila melihat pada realita, bekerja secara mekanis dan rutin dengan pola yang tetap, tidak memungkinkan guru mengembangkan profesinya secara efektif. Sebagian besar guru malah sering tidak mengarah pada substansi, melainkan pada apa yang mereka sebut dengan ‘nasib guru’.
Kalau bukan soal gaji dan kesejahteraan , maka yang muncul adalah soal kenaikan pangkat, kesempatan melanjutkan pendidikan, bermacam–macam beban yang harus diembannya di sekolah dan masyarakat, atau sejenisnya .
Berkenaan dengan kesejahteraan, jujur kita akui bahwa guru umumnya menggantungkan diri pada gaji dan tunjangan yang jumlahnya tidak begitu besar. Sementara itu, tidak banyak peran masyarakat dan swasta yang secara langsung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Kenaikan gaji selama ini cenderung hanya sebagai upaya mengimbangi kondisi dalam masa tertentu. Namun secara riil, daya beli guru umumnya tidak banyak meningkat.
Gaji atau imbalan guru seringkali menemui dilema dan persoalan, terlebih jika menyinggung soal guru honorer. Guru honorer menghadapi kenyataan yang memprihatinkan, mulai dari penghasilan yang tidak menentu, ditambah status kepegawaiannya yang kurang jelas.
Di samping itu, guru honorer tidak memperoleh tunjangan-tunjangan yang disediakan oleh pemerintah sebagaimana yang diperoleh para guru tetap. Padahal jika di tinjau dari segi pekerjaan, antara guru tetap dan guru honorer memiliki pekerjaan yang sama. Dengan adanya perbedaan imbalan tersebut tentu menimbulkan permasalahan bagi guru honorer, terutama tentang kesejahteraan psikologis guru.
Belum lagi para guru honorer di daerah pelosok atau pedesaan yang cenderung terabaikan sebab variabel pendidikan antara daerah pelosok dan perkotaan yang tidak sama. Meskipun memperoleh kepuasaan batin dari pekerjaannya yang mulia, namun sebagai manusia biasa, guru honorer tentu memiliki harapan untuk hidup sejahtera.
Beberapa uraian masalah di atas pastinya akan menimbulkan fenomena berkurangnya orang orang yang ingin mengabdi mendidik generasi melalui profesi guru atau paling tidak menurunkan inisiatif dan kreativitas guru.
Kreativitas dan inisiatif guru harus didorong dan dimanfaatkan secara kongkret agar mereka memperoleh pengalaman profesional dalam meningkatkan kemampuannya sebagai petugas profesional di bidang pendidikan.
Mengenai hubungan antara kesejahteraan guru dengan mutu pendidikan memang tidak ada jaminan 100 persen bahwa korelasinya linier. Akan tetapi pengalaman di negara-negara lain dan pengalaman swasta serta sejumlah BUMN mengajarkan bahwa, satu penentu prestasi kerja adalah besar kecilnya imbalan.
Makin tinggi imbalan, makin tinggi kesungguhan, komitmen dan produktivitas kerja, serta makin kecil tindakan indisiplin juga makin terhormat status profesi itu, sehingga menarik para calon pegawai dari kelompok terbaik dengan kemampuan yang berkeunggulan.
Pada momentum peringatan hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2022 diharapkan pemerintah melakukan perbaikan pada pendidikan, khususnya peningkatan kesejahteraan guru. Sebab, sebagaimana ibu merupakan madrasah pertama bagi anak anaknya, guru merupakan madrasah pertama bagi generasi.
*)Penulis adalah Ketua Bidang SBO PC IMM Makassar Timur