Beranda Mimbar Ide Peran Pemerintah Dalam Terapi Pengobatan Tuberkulosis di Indonesia

Peran Pemerintah Dalam Terapi Pengobatan Tuberkulosis di Indonesia

0
Agum Wahyuda Jut
Agum Wahyuda Jut

Oleh: Agum Wahyuda Jut*

Menurut World Health Organization atau Organisasi Kesehatan Dunia, Penyakit Tuberkulosis (TBC) didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menyerang paru-paru manusia. Penyakit TBC akan menyebar melalui udara ketika si penderita TBC batuk, bersin, atau meludah. Setiap tahun, 10 juta orang terkena penyakit tuberculosis dan ada sekitar 1,5 juta yang meninggal karena TBC, sehingga WHO menetapkan bahwa penyakit TBC sebagai penyakit menular yang sangat berbahaya dan berada peringkat teratas. Selain itu, TBC dengan komorbid (penyakti penyerta) seperti HIV penyebab utama kematian dan resistensi obat. Penderita TBC ada di seluruh dunia, Negara yang paling banyak menderita TBC yaitu Bangladesh, diikuti oleh Cina, India, Indonesia, Nigeria, Pakistan, Filipina, dan Afrika Selatan.

Indonesia berada urutan ke-empat, menjadikan masyarakat wajib waspada dengan penyakit TBC. Bukan hanya itu, pemerintah juga ikut andil dalam pengendalian penyakit TBC. Adapun program pemerintah tertuang pada buku “Strategi Nasional Penanggulangan TUberkulosis di Indonesia 2020-2024” yang selaras dengan program WHO yaitu “End Tuberculosis Strategy” yang menjadi komitmen global dalam mengakhiri penyakit TBC dan menargetkan sekiatar 90% penurunan kematian akibat Tuberkulosis. Slogan yang dibawa yaitu “TOSS TBC” yang memiliki arti Temukan TBC Obati Sampai Sembuh. Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, maka upaya-upaya terus dilakukan secara tersistematis dan komprehensif.

Sebagaimana termaktum dalam strategi pembangunan kesehatan nasional 2020-2024 dengan capaian ada 6, diantaranya:

Pertama; Penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten kota untuk mendukung percepatan eleminasi tuberculosis tahun 2030,

Kedua; Peningkatan akses layanan tuberculosis bermutu dan berpihak pada kesehatan,

Ketiga; Optimalisasi upaya promo dan pencegahan, pemberian pengobatan pencegahan Tuberkulosis dan pengendalian infeksi,

Keempat; Pemanfaatan hasil riset dan teknologi skrining, diagnosis, dan tatalaksana Tuberkulosis,

Kelima; Peningkatan peran serta komunitas, mitra dan multisektor lainnya dalam eliminasi Tuberkulosis,

Keenam; Penguatan manajemen program melalui penguatan sistem kesehatan.

Namun dalam penerapannya, masih menjadi akar permasalahan, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan akses dalam mendiagnosis yang bekualitas, keterbatasan pengobatan yang berpusat pada pasien. Terlebih lagi  terbatasnya akses pada pelayanan dalam pencegahan tuberculosis. Kemudian adapun faktor kontekstual seperti kurangnya partisipasi masyarkat, mitra, atau lintas sektor dalam mengeleminasi tuberculosis, dan Kurang optimalnya kepemimpinan program di tingkat kabupaten/kota, pencapaian akan berhasil jika seluruh elemen atau komponen memiliki komitmen dalam menerapkan program pemerintah.

Butuh kesadaran bahwa pentingnya hidup sehat dan terbebas dari penyakit tuberculosis. Sasaran populasi akan difokuskan pada populasi beresiko tinggi seperti kebiasaan merokok, orang yang mengalami malnutris, penyakit diabetes mellitus, populasi lanjut usia, orang dengan HIV/AIDS, serta petugas kesehatan. Selain itu tempat yang sering terjadi yaitu di lapas/rutan, eilayah kumuh, sektor formal dan informal, daerah tambang, pengusian, asrama, dan pondok pesantren.

Strategi awal pemerintah yang dilakukan adalah bagaimana cara meningkatkan penemuan jumlah penemuan dan cakupan pengobatan tuberculosis. Dalam pelaksanannya diperlukan intervensi secara esensial dan komprehensif berdasarkan pelayanan tuberculosis yang berkelanjutan.

Intevensi berdasarkan layanan tuberculosis yang berkelanjutan dibagi menjadi 3 yaitu: Pertama; Intervensi bagi orang dengan tuberculosis atau gejala tuberculosis yang belum/tidak mengakses layanan kesehatan. Kedua; Intervensi bagi orang degna tubekulosis datang ke layanan tetapi tidak terdiagnosis atau tidak dilaporkan. Ketiga; Intervensi bagi orang yang dilaporkan sebagai kasus tuberculosis tetapi tidak berhasil diobati.

Point pertama perlu adanya pengembangan sistem rujukan terduga tuberculosis yang datang ke layanan kesehatan berbasis masyarakat. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah orang dengan gejala tuberculosis yang akan datang ke layanan L0 agar bisa didiagnosis dan dilaporkan. Setelah itu dibuatkan jejaring rujukan layanan dari L0 ke pelayanan kesehatan tuberculosis yang sudah ada. Jejaring rujukan layanan perlu dilibatkan ikatan apoteker Indonesia dan Persatuan Ahli Farmasi Indonesia.

Hal ini bertujuan agar  setiap daerah membuat sistem rujukan tersebut dengan surat edaran terkait wajib lapor penggunaan obat dan proses monitoring dari Dinas Kesehatan ke semua apotek. Selain itu juga perlu melakukan pembinaan terhadap penggunaan obat tradisional dalam penerapan terapi tuberculosis agar bila ada pasien dengan gejala tuberculosis dirujuk ke puskesmas. Kemudian keterlibatan apotek dalam pemantauan pengobatan tuberculosis. Hal ini diperlukan advokasi kepada Badan Penyelenggaran Jaminan Kesehatan agar penyakit TBC dapat dimasukkan ke dalam layanan Program Rujuk Balik (PBR) sehingga apotek dapat melakukan Medication Therapy Management (MTM) dan apoteker bertanggung jawab dalam pelaksanan pelayanan kefarmasian pengobatan tuberculosis. Selanjutnya perlu intervensi dengan cara Ekspansi cakupan dan kualitas inisiatif public-private mix dengan meningkatkan jumlah dokter praktik mandiri dan rumah sakit yang akan dilibatkan pada program penanggulangan tuberculosis.

Point kedua perlu penyesuaian alur skrining dan diagnosis tuberculosis, dalam penyesuaiannya ditambahkan pemeriksaan ronsen dada sebagai sarana skrining maupun menjaga efektifitas penggunaan TCM. Selain itu, perlu dikembangkan jejaring rujukan dan penguatan sistem pencatatan dan pelaporannya.

Untuk memperkuat implementasinya, maka upaya terobosan dan teknologi seperti mobile X-ray, digital X-ray dan tele radiology perlu untuk diimplementasikan. Kemudian perlu peningkatan surveilensi rutin yang disertai supervise yang berkualitas di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan. Ini dilakukan dalam mendapatkan data secara sistematis dan konsisten tanpa perlu adanya kegiatan mopping up yang bersifat massif dan mahal.

Selanjutnya perlu menyediakan akses layanan tes HIV secara merata pada layanan tuberculosis. Hal ini melibatkan pemerintah dalam membuat regulasi  atau aturan yang menwajibkan setiap pelayan kesehatan tuberculosis mampu melakukan tes HIV. Lalu Perlu adanya pemastian ketersediaan logistic laboratorium yang berkesinambungan, hal ini dalam meningkatkan skrining tes HIV karena yang masih menjadi masalah adalah ketersediaan logistik reagen HIV yang belum baik, sehingga diperkuat mendorong distribusi logistik dengan memperbaiki pendanaan, perencanaan, penguatan SDM, serta sistem pencatatan dan pelaporannya.

Setelah itu, Perlu penguatan dalam penerapan TEMPO (Temukan, Pisahkan, Obati) dan pencegahan dan pengendalian infeksi tuberculosis. Strategi TEMPO dibuat dan menjadi standar prosedur operasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. Penerapannya  harus diperluas dengan menargertkan skrining dan assesmen kedapan seluruh pasien dengan keluhan respirasi, pasien dengan komorbid malnutrisim Diabetes Melitus, pasien geriatric, dan gangguan sistem imun.

Point ketiga perlu adanya penggunaan teknologi terbaru untuk melakukan pemantauan pengobatan tuberculosis. Didasari adanya resistensi obat pada penderita tuberculosis maka dibutuhkan teknologi-teknologi terbaru untuk melakukan pemantauan terapi obat yang berbasis IT atau aplikasi mobile, sehingga nantinya memudahkan antara interprofesinal kesehatan dan pasien, kemudian Implementasi penggunaan obat baru dan paduan standar jangka pendek untuk meningkatkan kualitas pengobatan pasien TBC dengan resistensi obat di Indonesia. Jangka terapi atau pengobatan yang lama membuat pasien jenuh dan masih mengeluhkan sehingga pasien tidak menyelesaikan pengobatannya. Maka perlu adanya regulasi pengguanaan obat terbaru sesuai rekomendasi WHO. Penggunaan obat terbaru telah dikeluarkan oleh WHO.

Dengan adanya intervensi-intervensi yang dibuat oleh pemerintah maka perlu keterlibatan seluruh elemen. Jika hal itu terpenuhi maka target-target yang telah disusun secara sistematis akan tercapai. Pada tahun 2024 pemerintah menargetkan 95 % kasus TBC dengan resisensi obat yang didagnosis memulai pengobatan, P2TB bertujuan menyiapkan atau menyediakan setidaknya 1 fasyankes TBC dengan Resistensi Obat di setiap kabupaten atau kota pada akhir tahun 2024 dalam meningkatan terapi yang akan dicapai, P2TB juga memperkuat deteksi dari Penyakit TBC dengan multi Drug Resistance, minimal mendeteksi terjadinya resistensi obat rifampisin. P2TB juga akan meningkatkan kapasitas laboratorium untuk mendeteksi resistensi Isoniazid (INH). Di tahun 2024 juga akan meningkatkan keberhasilan pengobatan TBC dengan resitensi obat menjadi 80 %, dengan cara keterlibatan masyarakatan atau komunitas dalam menudukung pengobatan segera setelah didiagnosis diperkuat.

Sebagai apoteker dengan adanya program pemerintah seharusnya didukung dan wajib menerapkan sesuai kapasitas dan keahlian apoteker, misalnya pada point pertama yaitu peran apoteker sangat diperlukan dalam komunikasi konseling mengenai pengguanaan terapi obat tuberculosis. Selain itu juga, apotek menyediakan program terkhusus mengenai pengendalian tuberculosis berbasis pelayanan informasi obat, salam meningkatkan kualitas masyarakat dalam masa menjalani terapi obat.

Apoteker diperlukan bagi masyarakat karena berperan penting dalam penggunaan terapi obat, mengenai interaksi obat yang terjadi, kondisi-kondisi tertentu pada pasien, monitoring obat bagi penderita, apalagi yang ingin dicapai agar tidak terjadinya resistensi obat, pada kasus resistensi obat hal yang menjadi mendasar adalah pasien yang tidak patuh. Maka apoteker sebagai profesi kesehatan dalam monitoring obat juga memberikan informasi mengenai dampak apa yang terjadi jika dalam mengomsumsi obat antituberkolusi tidak patuh digunakan.

Dalam penerapannya sekarang, apoteker belum menjadi sorotan bagi masyarakat, tapi perlu diketahui bahwa orientasi kefarmasian tidak lagi berfokus pada drug oriented atau berfokus pada bagaimana obat itu dibuat oleh seorang apoteler atau farmasis, namun berfokus pada patient oriented, dimana apoteker mampu memahami pasien dengan baik dengan diagnosis yang dokter tegakkan pada pasien. Apoteker juga bisa menjadi pelopor dalam mengatasi permaslahan-permasalahan yang telah menjadi akar permasalah penyakit tuberculosis tidak sesuai target.

Peran komunitas kesehatan juga perlu dimenjadi salah satu hal yang bisa membantu pemerintah dalam mengaplikasikan program-program. Tentu perlu adanya dukungan dari pemerintah, karena di komunitas biasanya ada kader meminum obat, dimana kader meminum obat membantu pasien dalam mengingatkan pasien atau penderita dalam meminum obat yang akan digunakan dan menghindari terjadinya resistensi obat. Biasanya di komunitas ada sekitar 10 orang yang bertugas mencatat waktu penggunaan obat anti tuberculosis yang digunakan. Dan tahap promosi juga bisa dilakukan di organisasi komunitas, yang bisa mengedukasi masyarakat seputar informasi penyakit tuberculosis yang ada di Indonesia.

Maka dari itu, tuberculosis tidak boleh dianggap remeh dan dianggap sebagai penyakit yang biasa saja, seharusnya masyarakat perlu mewaspadai penyakit tuberculosis ini, perlu adanya kesadaran dan mengetahui gejala-gejala dari tuberculosis, sudah sepatutnya kita sebagai manusia saling mengingatkan dan perlu care terhadap satu dengan yang lainnya.

Jangan sampai penyakit yang dialami khususnya tuberculosis menjadi parah, dan tidak bisa diselamatkan lagi. Sekali lagi pemerintah telah berupaya diharapkan target-target bisa terjadi. Peran pemangku kepentingan dalam implementasi strategi nasional penanggulangan Tuberkulosis 2020-2024 sangat penting, mengingat tipologi strategi yang ditetapkan merupakan strategi yang memerlukan keterlibatan berbagai sektor secara optimal.

*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT