Oleh: Asdar Nor*
Secara historis, reshuffle pertama kali digunakan dalam sistem pemerintahan monarki di Inggris. Ratu sebagai kepala negara memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan panglima militer.
Aturan ini tidak diatur secara tertulis, melainkan dianggap sebagai hak Ratu yang terdapat dalam unwritten constitution.
Di Indonesia, reshuffle atau perombakan susunan kabinet merupakan hak prerogatif Presiden. Hal ini diatur dengan jelas di dalam Pasal 17 Ayat 2 UUD NRI 1945, “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.”
Berdasarkan aturan tersebut, maka Presiden dapat mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri tanpa harus meminta persetujuan dari lembaga negara lainnya.
Meskipun reshuffle merupakan hak prerogatif Presiden, yang berarti Presiden dapat mengangkat dan memberhentikan siapa saja di dalam kabinet sesuai dengan kehendak hatinya, tetapi seyogyanya reshuffle dilakukan dengan menggunakan prinsip The Right Man in The Right Place (Menempatkan orang sesuai keahliannya).
Salah satu unsur dalam manajemen sumber daya manusia adalah menempatkan orang sesuai dengan keahliannya, sehingga dapat bekerja secara optimal.
Dalam hal ini, seorang Presiden harus memiliki kemampuan untuk melihat keahlian atau kompetensi seseorang yang akan diangkat menjadi menteri atau wakil menteri.
Secara de jure, seharusnya reshuffle dilakukan sebagai solusi terakhir jika dalam suatu kabinet terdapat orang-orang yang tidak memenuhi tugas dan tanggung jawab yang diberikan.
Sebagai solusi terakhir, agar tidak terjadi reshuffle kembali, maka seharusnya menerapkan prinsip The Right Man in The Right Place. Hal ini dikarenakan tafsir lain dari terjadinya reshuffle adalah kesalahan memilih seseorang yang diangkat menjadi menteri atau wakil menteri, kecuali jika orang yang bersangkutan tidak sanggup secara fisik atau mengundurkan diri.
Prinsip The Right Man in The Right Place mengharuskan seorang pemimpin melakukan analisis jabatan terlebih dahulu untuk menemukan orang yang tepat untuk duduk dan bekerja dalam suatu jabatan melalui syarat yang telah ditentukan.
Syarat yang telah ditentukan tersebut yaitu dengan mempertimbangkan kualifikasi pendidikan, kompetensi, dan pengalaman. Semua syarat tersebut untuk menghasilkan kualitas kinerja yang optimal. Apabila sumber daya manusia tidak mempunyai kompetensi yang sesuai, maka tentu saja hasilnya tidak seperti yang diekspektasikan.
Seorang Presiden yang menggunakan prinsip The Right Man in The Right Place dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri dapat dikatakan sebagai Presiden yang cerdas dan menginginkan terciptanya kemajuan.
Sebagaimana Presiden Pertama Ir. Soekarno yang mengangkat Syafruddin Prawiranegara sebagai menteri keuangan pada tahun 1946 dan tahun 1949-1950. Syafruddin dipilih sesuai dengan kompetensi dan pengalamannya. Beliau berhasil mengatasi krisis keuangan dengan kebijakannya yang terkenal (Gunting Syafruddin dan Sertifikat Devisa).
Atau sebagaimana Presiden Kedua Soeharto yang mengangkat BJ Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BPPT selama 20 tahun. Habibie dipilih dengan mempertimbangkan latar belakang pendidikan, kompetensi, dan pengalamannya. Sampai saat ini, beliau dikenal sebagai seseorang yang pernah menjabat sebagai menteri, wakil presiden, dan Presiden Ketiga Indonesia, yang terkenal sebagai ahli teknologi pesawat terbang.
Prinsip The Right Man in The Right Place inilah yang harusnya diterapkan dalam memilih menteri-menteri untuk pertama kali dan atau pada saat melakukan reshuffle, sehingga sekali lagi akan tercipta kualitas kinerja yang optimal.
Meskipun reshuffle sebagai hak prerogatif Presiden sarat akan kepentingan politik, tetapi seharusnya semua itu dikesampingkan demi terciptanya bangsa Indonesia yang berkemajuan. Jika hal ini yang diutamakan, maka haqqul yaqin (keyakinan yang sangat tinggi) tidak akan terjadi krisis ekonomi hingga kelangkaan minyak goreng.
Melihat reshuffle yang dilakukan oleh Presiden Jokowi baru-baru ini, yaitu dengan memberhentikan dua menteri dan satu wakil menteri, serta mengangkat dua menteri dan tiga wakil menteri. Terlihat dengan pengangkatan tersebut, kecondongan tafsir publik lebih mengarah kepada alokasi kepentingan politik.
Contohnya saja pengangkatan Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan. Zulkifli adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), yang secara tidak langsung memberikan asumsi bahwa Presiden Jokowi ingin memperkuat sayap koalisinya.
Atau Hadi Tjahjanto yang diangkat sebagai Menteri ATR/BPN. Padahal di bidang agraria, banyak nama-nama besar yang lebih berkompeten, seperti Prof. Arie Hutagalung (Guru Besar Hukum Agraria UI) dan Prof. Maria Sumardjono (Guru Besar Hukum Agraria UGM).
Untuk itu, sebagai solusi mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, sudah saatnya mengesampingkan kepentingan politik sektoral, dan mulai memilih seseorang sesuai dengan keahliannya.
*) Penulis adalah kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Hasanuddin