Beranda Lensa CELIOS Nilai Perpu Cipta Kerja Bertolak Belakang Dengan Asumsi Makro Ekonomi APBN...

CELIOS Nilai Perpu Cipta Kerja Bertolak Belakang Dengan Asumsi Makro Ekonomi APBN 2023

0

Matakita.co, Jakarta- Center Of Economic And Law Studies (CELIOS) mengeluarkan siaran pers terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 pada minggu (1/01/2023). Menanggapi penerbitan Perpu tersebut Direktur Celios menilai Penerbitan Perpu Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.

“Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 91/PUU-XVIII/2020 secara tegas dalam pertimbangan hukumnya memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang (DPR-Presiden) untuk menyempurnakan UU Cipta Kerja. dalam paragraf [3.18.4] Putusan MK dikatakan “bahwa tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan sebagaimana telah ditentukan dalam norma Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g UU 12/2011 yang mengharuskan terpenuhinya seluruh asas secara kumulatif. dalam Paragraf [3.18.4] putusan MK terungkap fakta pembentukan UU Cipta Kerja tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Oleh karena itu perubahan/penyempurnaan terhadap UU Cipta Kerja mestinya melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna dengan menerapkan indikator (meaningful participation) dengan tiga prasyarat, yaitu: a) hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); b) hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); c) hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained)”, jelas Bima Yudistira melalui siaran pers Celios.

Celios juga menilai Penerbitan Perpu Cipta Kerja oleh Presiden bertentangan dengan Spirit Supremasi Konstitusi.

“Supremasi konstitusi di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, juga merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat. Prinsip ini mengikat bagi seluruh lembaga negara. Termasuk Presiden. Secara konstitusional Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah menegaskan bahwa “putusan MK bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” Dengan demikian mestinya Presiden dapat mentaati putusan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 terkait dengan langkah-langkah penyempurnaan UU Cipta Kerja dan melaksanakanya secara utuh. Bukan kemudian dinegasikan dan disimpangi dengan penerbitan Perpu”, jelas Bima Yudistira.

Celios juga menilai bahwa, Kriteria Kegentingan yang Memaksa” Penerbitan Perpu tidak Dijelaskan secara Obyektif.

Perpu Cipta Kerja tidak memenuhi kriteria karena. Pertama, kondisi kegentingan yang memaksa dengan diterbitkannya Perpu bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023 dimana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, cenderung tinggi. Kalau ekonomi masih tumbuh positif kenapa pemerintah menerbitkan perpu? Ancaman krisis akibat perang Ukraina pun sejauh ini justru untungkan harga komoditas batubara dan sawit. Surplus perdagangan berturut turut yang terjadi di tahun 2022 merupakan windfall dari adanya perang di Ukraina. Oleh karena itu harusnya pemerintah turunkan dulu asumsi pertumbuhan tahun depan menjadi minus, baru ada kondisi yang mendesak untuk terbitkan Perpu. Kedua, kerangka regulasi terkait penanganan ekonomi sesungguhnya masih ada dalam ragam undang-undang yang sebenarnya membuka ruang pemerintah untuk melakukan ragam kebijakan-kebijakan yang akseleratif seperti UU 22 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi, UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan ragam regulasi keuangan lainya yang masih akomodatif. Ketiga, kehadiran Perpu justru menciptakan ketidakpastian kebijakan. Kegentingan dari sisi kinerja ekonomi berisiko muncul karena Pemerintah terbitkan Perpu. Ini akan kontradiktif terhadap minat berinvestasi khususnya PMA,” jelas Bima Yudistira.

Celios menganggap Penerbitan Perpu Cipta Kerja Menegasikan Bangunan Sistem Perencanaan Perundangundangan yang baik.

“Pilihan presiden untuk menerbitkan Perpu Cipta Kerja memperlihatkan lemahnya politik hukum legislasi pemerintah. Karena perumusan Perpu sangat bersifat subyektif, minim perencanaan. Pilihan untuk Penerbitan Perpu syarat akan kepentingan yang pragmatis karena Perpu Cipta Kerja telah menegasikan partisipasi publik yang bermakna. Hal ini tentu sangat berbeda dengan mekanisme pembentukan undang-undang yang dijaga oleh tahapan yang terukur mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan. Politik perundang-undangan yang baik mestinya dikedepankan oleh pemerintah karena legislasi melalui undang-undang jauh lebih sempurna dan tentu memiliki basis akademik yang memadai”, jelas Bima Yudistira.

Beradasarkan beberapa catatan tersebut, CELIOS merekomendasikan yakni: Pertama; Mendesak DPR untuk membuka ruang partisipasi publik dalam pembahasan Perpu Cipta Kerja sebelum ditetapkan sebagai undang-undang, kedua: Masyarakat sipil mengawal proses pembahasan Perpu di DPR sebelum ditetapkan menjadi undang-undang, Ketiga: Mendorong pemerintah untuk secara terbuka dan obyektif serta rasional menjelaskan Kriteria “Kegentingan yang Memaksa” dalam penerbitan Perpu Cipta Kerja, keempat; Mendorong masyarakat sipil melakukan upayan hukum dengan melakukan Judicial Review Perpu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT