Beranda Hukum Menyoal Nasib Masyarakat Hukum Adat dalam Putusan Nomor: 67/PUU-XXII/2024

Menyoal Nasib Masyarakat Hukum Adat dalam Putusan Nomor: 67/PUU-XXII/2024

0

Oleh : Dr. Safrin Salam, S.H., M.H. 

Keberadaan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya diatur secara jelas di dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi bahwa : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa negara beserta perangkat hukumnya mengakui dan melindungi masyarakat hukum adat sepanjang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam Undang-Undang. Pengaturan hukum tersebut kemudian harus diterjemahkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia idealnya memiliki Undang-Undang masyarakat hukum adat namun sampai detik ini keberadaan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat belum juga dibahas dan ditetapkan menjadi Undang-Undang (meskipun beberapa kali RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas).

Meskipun belum ada Undang-Undang masyarakat hukum adat pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Selanjutnya disebut Permendagri No. 52 Tahun 2014). Keberadaan Permendagri No. 52 Tahun 2014 membuka harapan besar bagi masyarakat hukum adat di Indonesia mendapatkan Pengakuan secara De Jure (Surat Keputusan Gubernur/Walikota/Bupati).

 

Putusan Nomor: 67/PUU-XXII/2024, Harapan dan Kenyataan

Pada hari Senin tanggal 20 Mei 2024, Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) beserta beberapa perwakilan lembaga adat di Indonesia mengajukan Judicial Review Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap UUD 1945. Pengajuan Judicial Reviewoleh Lembaga Pemerhati Hukum Adat (APHA) beralasan menurut hukum oleh karena selama ini “Urusan Adat” belum menjadi urusan prioritas sehingga menjadi kewenangan secara umum dari penyelenggaraan pemerintah di kementerian negara sehingga diperlukan Kementerian Khusus yang menangani persoalan hukum adat. Alasan tersebut secara yuridis, sosiologis dan filosofis dapat diterima. Akhirnya hari rabu, 7 Agustus 2024, juditial review atas ketentuan Pasal 5 UU No. 39 Tahun 2008 telah diputuskan oleh hakim mahkamah konstitusi dengan pertimbangan hukum hakim yakni (Hlm. 51-52 Putusan MK No. 67/PUU-XXI/2024) :

1. Pengaturan urusan adat menjadi urusan ekslusif, akan menimbulkan ketidakpastian urusan adat. Eksklusivitas urusan adat membawa dampak berupa mempersempit ruang gerak kementerian dan dampak secara sektoral dalam penyelenggaraan pemerintahan;

2. Urusan adat tidak dapat dipisahkan urusan pemerintah keberadaan kementerian urusan adat dapat mempersulit dan menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar kementerian;

3. Perlindungan terhadap hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan memerlukan dukungan dasar hukum yang kuat dalam bentuk Undang-Undang.

4. Pengesahan RUU masyarakat hukum adat sebagai prioritas yang harus dilaksanakan. Hal ini merupakan perintah konstitusi untuk membentuk Undang-Undang mengenai masyarakat hukum adat.

Pertimbangan hukum hakim MK pada Putusan No. 67/PUU-XXI/2024 menunjukan bahwa Hakim MK yang memutus perkara a quo mengakui eksistensi dari masyarakat hukum adat yang secara tegas dalam pertimbangan hukum tersebut bahwa Pengesahan RUU Masyarakat hukum adat merupakan perintah konstitusi Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang harus menjadi prioritas dari negara. Keyakinan hakim MK tersebut pada sisi yang lain menolak Judicial Review Pasal 5 UU No. 39 tahun 2008 memberikan preseden hukum yang adil bagi pemerintah agar segera mengesahkan RUU Masyarakat hukum adat sebagai landasan hukum yang kuat untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hak-hak tradisional dari masyarakat hukum adat. Dilain sisi putusan mk tersebut juga bisa menjadi preseden (bukti hukum) bagi lembaga hukum serta koalisi masyarakat yang memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat untuk terus mengawal dan mengawasi proses pengesahan RUU Masyarakat hukum adat.

 

Solusi Persoalan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat

Apabila ditinjau dari beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat dan hak tradisional seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang membatalkan norma hutan adat yang mengatur bahwa hutan adat adalah hutan negara yang diberikan oleh negara kepada masyarakat hukum adat menunjukan bahwa masyarakat hukum adat dari putusan MK diakui keberadaannya namun sebagaimana perintah konstitusi Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 serta pertimbangan hukum hakim mahkamah konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XXI/2024 tanggal 7 Agustus 2024 memberikan jalan kepada pemerintah untuk segera membahas serta mengesahkan RUU masyarakat hukum adat. Pengesahan RUU Masyarakat hukum adat menjadi jalan keluar dari segala persoalan hukum yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat di Indonesia. Tentu saja, pembahasan dan pengesahan perlu menjadi tanggungjawab bersama oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong, menyuarakan dan mengawasi mekanisme proses legislasi RUU masyarakat hukum adat di DPR agar segera menjadi pembahasan prioritas sehingga RUU Masyarakat Hukum Adat bisa segera disahkan menjadi Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.

*) Penulis adalah Dosen Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT