Beranda Kampus Celaka, Segelintir Oknum Melakukan Pelecehan Terhadap Marwah Konstitusi dan Demokrasi

Celaka, Segelintir Oknum Melakukan Pelecehan Terhadap Marwah Konstitusi dan Demokrasi

0
Sultan (Ketua Umum Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Sultan (Ketua Umum Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

*Oleh: Sultan

Tepat 21 Agustus 2024, belum cukup seminggu merayakan kemerdekaan dengan harapan merdeka seutuhnya tetapi harus kembali diperhadapkan dengan fakta-fakta yang sangat mengerikan. Pesan peringatan darurat digemakan diseluruh negeri, membanjiri sosial media. Hal tersebut menandakakan bahwa kondisi tidak baik baik saja, Konstitusi dan Demokrasi sedang berada pada titik kritis. bahkan sulit menemukan diksi yang tepat untuk mendekripsikan dinamika politik yang amburadul saat ini.

Semuanya bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Pilkada, inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Nampaknya, ada yang terusik dengan keluarnya keputusan tersebut yang saya kira adalah representase segelintir orang yang ingin berkuasa seutuhnya. DPR dengan cepat dan sigap menganulir keputusan tersebut dengan rapat yang membahas revisi UU Pilkada dengan tempo yang diluar akal manusia, tak ditemukan dalam sejarah negara manapun.

Apalagi kalau bukan abuse of power Bagaimana mungkin keputusan MK langsung ditentang dengan revisi UU Pilkada oleh Badan Legislatif, sementara Putusan MK bersifat final and binding dan Erga Omnes. Memiilih mengikuti putusan Mahkama Agung (MA) dan menolak putusan MK adalah bentuk kedangkalan intelektual terhadap sistem ketatanegaraan yang ada.

Pertama, sudah jelas bahwa Putusan MK memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding MA karena pengujiannya langsung terhadap akar bernegara bukan ranting terhadap dahan.

Kedua, bahwa asas hukum mengatakan lex posteriori derogat legi priori yang artinya produk hukum yang barus mengesampingkan yang lama.

Ketiga, Bukankah putusan MK lebih spesifik dari sekedar undang-undang sehingg keberadaan Lex Posteriori Generali Non Derogat Lex Priori Specialis perlu untu dikaji. Pertanyaannya adalah, dimana letak rasio legis sehingga muncul argumen bahwa keduanya sama sehingga dapat dipilih salah satunya?. Meski demikian, dengan alasan kedangkalan pikiran, maka wajar saja mereka tidak rasional dalam bertindak dan mengambil keputusan.

Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko Widodo yang terhormat menyapaikan bahwa hal ini biasa saja dan merupakan dinamika lembaga nasioanal yang perlu untuk dihargai sebagai pelaksanaan chek and balances. Bagaimana mungkin pembangkangan terhadap konstitusi itu dianggap sebagai pelaksanaan chek and balances?.

Ketentuan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum terpampang jelas dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Artinya, supremasi hukum adalah prinsip yang tidak boleh disimpangi entah dalam konsep rechstaat ataupun rule of law. Akan tetapi, entah kenapa dengan melihat kondisi yang terjadi belakangan ini, seolah oleh negara hukum itu berevolusi menjadi negara kekuasaan (machsstaat).

Kekuasaanya bertumpu pada penguasa rezim sehingga bukan lagi rule of law tetapi rule by law. Semuanya jelas dan dapat dilihat dengan mata telanjang terkecuali mungkin bagi mereka yang dibutakan oleh kekuasaan. Semuanya adalah pilihan, memilih diam tertindas menyaksikan konstitusi dan demokrasi dipelucuti dan dilecehkan atau melawan mengembalikan marwah yang di agungkan masyarakat.

*) Penulis adalah Ketua Umum Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT