Beranda Kampus Uang Palsu dan Minimnya Perhatian Pimpinan Kepada Perpustakaannya

Uang Palsu dan Minimnya Perhatian Pimpinan Kepada Perpustakaannya

0

Oleh : Tulus Wulan Juni*

Tulisan ini tidak memihak dan menghakimi siapapun tetapi sebagai bentuk keprihatinan kepada sasama tenaga perpustakaan dan menjadi bahan renungan kita bersama. Tulisan ini terdorong juga dari berbagai pihak yang mengatakan apa tanggapan pustakawan dan organisasi profesi pustakawan mengenai kasus viral ini. Berikut ini tanggapan saya sebagai pustakawan. Tenaga Perpustakaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 yakni Pustakawan, Tenaga Teknis, Tenaga Ahli dan Kepala Perpustakaan. Saat ini, salah satu Tenaga Perpustakaan yakni Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar terjerat kasus uang palsu (upal) yang diproduksi di salah satu ruang perpustakaanya. Tentu semua kaget dan tidak menyangka namun itulah yang terjadi di depan mata kita.

Ada dua sisi yang perlu dilihat dan direnungkan. Sisi yang satu adalah Tenaga Perpustakaan dalam hal ini Kepala Perpustakaannya yang tentunya siapapun sepakat bahwa tindakan yang dilakukan salah. Namun ada sisi kedua atau sisi lain yang seharusnya menjadi renungan dan bisa saja sisi ini jika dilakukan dengan baik maka dapat mengantisipasi permasalahan atau gara gara sisi inilah yang tidak dilakukan sehingga terjadilah masalah yang tidak kita harapkan. Apa sisi kedua itu, perhatian pimpinan kepada lembaga perpustakaannya. Apakah selama ini Rektor memperhatikan perpustakaan dan tenaga perpustakaannya?, apakah selama ini Kepala Daerah juga memperhatikan bahkan mengunjungi Perpustakaan Daerahnya?, apakah Kepala Sekolah melakukan supervisi kepada perpustakaan sekolahnya? Begitu juga dengan perpustakaan khusus, Perpustakaan Umum Kecamatan dan kelurahan.

Perpustakaan sebagai institusi yang hadir dan diamanahkan oleh Undang-Undang sepertinya kehadirannya masih setengah hati di hati sebagian besar pimpinan bahkan julukan “dipandang sebelah mata” atau “tempat buangan” atau “gudang buku” sepertinya masih terasa dan sebagian besar tenaga perpustakaan yang pernah saya temui masih mengatakan dan merasakan seperti itu. Bahkan anggaran yang dialokasikan ke Perpustakaan seadanya atau secukupnya dibanding institusi lain padahal jika dipahami dengan seksama keberadaan perpustakaan itu sangat vital dan strategis sebagai lembaga yang menguatkan literasi masyarakat untuk kemandirian dan kesejahteraan. Coba kita cermati, apa yang terjadi dilingkungan kita semua adalah dampak dari rendahnya kemampuan literasi termasuk permalahan banjir, stunting dan sebagainya.

Tidak sedikit Tenaga Perpustakaan baik Pustakawan dan Kepala Perpustakaan melakukan berbagai terobosan yang dilakukan sendiri dengan berkolaborasi dengan berbagai pihak dan banyak tanpa menggunakan anggaran lembaga. Harapannya untuk mengembangkan perpustakaan dan layanan perpustakaan untuk peningkatan literasi masyarakat yang dilayaninya. Hasilnya memang tidak dapat dilihat langsung tetapi sebuah proses budaya. Kegemaran membaca untuk membangun kekuatan literasi membutuhkan proses yang tidak singkat. Pakar pendidikan, HAR Tilaar mengatakan setidaknya proses budaya membutuhkan 15 sampai 25 tahun atau satu generasi dan itu pun tergantung political will pemerintah, mau cepat atau lambat. Semangat tenaga perpustakaan yang telah berjuang keras sepertinya belum menyentuh hati para pimpinan lembaga apalagi mendapat apresiasi, yang banyak malah dilupakan. Tidak jarang tenaga perpustakaan menjadi apatis dan tentunya kesulitan berjuang kembali jika harus menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan dananya sendiri.

Sejatinya dengan peristiwa ini, pemangku kepentingan mulai sadar bahwa keberadaan perpustakaan sebagai sumber belajar dan menguatkan literasi masyarakat perlu diperhatikan kembali mulai dari penguatan kelembagaannya, mengisi Sumber Daya Manusianya yang handal dan cinta literasi, mengalokasikan anggaran yang sesuai beban tugasnya agar dapat melakukan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan secara profesional serta dapat melaksanakan pengembangan perpustakaan dan pembinaan kegemaran membaca dengan baik. Jadikan institusi Perpustakaan sama dengan institusi yang lain bahkan melebihi intitusi lainnya. Lakukan pengawasan dan supervisi secara berkala dan jadikan perpustakaan sebagai destinasi pimpinan untuk menatap masa depan generasi emas 2045. Semua Berawal dari Membaca, Semua Berawal dari Perpustakaan. Salam Literasi, Literasi untuk Kesejahteraan.

*) Penulis adalah Pustakawan Madya Dinas Perpustakaan Kota Makassar

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT