Beranda Kampus Perempuan dan Perjuangannya: Melangkah Menghadapi Tantangan Zaman

Perempuan dan Perjuangannya: Melangkah Menghadapi Tantangan Zaman

0
Rismawati Nur* Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Rismawati Nur* Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Oleh: Rismawati Nur* 

“Apa arti kemajuan peradaban jika setengah umat manusia masih terbelenggu oleh keraguan hanya karena ia terlahir sebagai perempuan? Teknologi bisa berkembang pesat, tetapi tanpa kesetaraan, kita hanya berada dalam peradaban yang pincang, berjalan dengan satu kaki terbelenggu”

Setiap tanggal 21 April, Indonesia memperingati Hari Kartini. Sebuah momen reflektif yang mengingatkan kita pada sosok perempuan luar biasa, Raden Ajeng Kartini. Ia bukan hanya pahlawan nasional, tetapi juga simbol awal perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Kartini tidak hanya menggugat akses pendidikan bagi perempuan, tetapi juga merombak cara pandang terhadap peran perempuan di ruang publik maupun domestik. Nilai-nilai yang ia perjuangkan seperti kesetaraan, kemandirian, dan pengakuan atas kapasitas perempuan, kini menjadi fondasi perjuangan yang lebih luas dalam menghadapi tantangan zaman modern.

Namun, meski semangat Kartini terus menjadi inspirasi lintas generasi, perjuangan perempuan belumlah usai. Realitas sosial hari ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi perempuan telah berevolusi, bukan hilang. Jika dahulu Kartini menghadapi feodalisme dan pengekangan adat, maka perempuan masa kini bergulat dengan struktur sosial dan sistem hukum yang kerap tidak berpihak. Akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan politik memang telah terbuka lebih luas, namun bias gender, kekerasan, dan ketimpangan masih terus menghambat langkah perempuan untuk berdiri sejajar.

Di era digital yang katanya inklusif dan terbuka, perempuan justru menghadapi tantangan baru yang tak kalah kompleks. Dunia maya yang seharusnya menjadi alat emansipasi, malah menjadi ruang kekerasan berbasis gender yang sulit diawasi. Berdasarkan Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024, terdapat 17.305 kasus kekerasan seksual, 12.626 kekerasan fisik, 11.475 kekerasan psikis, dan 4.565 kekerasan ekonomi. Data ini mencerminkan bahwa perempuan masih menjadi kelompok paling rentan terhadap kekerasan dalam berbagai bentuknya, baik di ruang privat maupun publik. Data Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) dalam CATAHU 2024 Komnas Perempuan mencatat sebanyak 330.097 kasus, meningkat sejumlah 14,17% dibandingkan tahun 2023. Data KBGtP untuk putusan pengadilan berjumlah 291.213 kasus lebih banyak dibandingkan dengan data pelaporan 38.788 kasus dan penuntutan 96 kasus. Data putusan pengadilan paling banyak, karena semua data dari BADILAG berupa putusan. Berdasarkan ranahnya, KBGtP di ranah personal lebih tinggi (309.516 kasus) dibandingkan dengan ranah publik (12.004 kasus) dan negara (209 kasus).

Kondisi serupa juga terlihat di sektor pekerjaan. Meski semakin banyak perempuan yang meniti karier profesional, jalan menuju kepemimpinan masih terjal. Hanya sekitar 6% posisi CEO di perusahaan Indonesia dipegang oleh perempuan. Di sisi lain, fenomena motherhood penalty menunjukkan bahwa banyak perempuan kehilangan peluang promosi hanya karena menjalankan peran reproduktifnya. Meskipun berbagai undang-undang telah menjamin kesetaraan di tempat kerja, budaya organisasi dan norma sosial belum sepenuhnya mendukung keberdayaan perempuan secara adil.

Lebih menyedihkan lagi, stigma patriarki masih bercokol dalam keseharian. Kalimat seperti “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi” atau “perempuan karier susah dapat jodoh” menjadi narasi laten yang terus direproduksi, bahkan oleh generasi muda. Di media sosial, bentuk misogini berubah menjadi sindiran, komentar seksis, hingga serangan terhadap pilihan hidup perempuan yang berani bersuara. Semua ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan kini tidak hanya tentang akses dan kesempatan, tetapi tentang eksistensi dan pengakuan atas integritasnya sebagai manusia seutuhnya.

Meski tantangan begitu besar, perempuan tidak pernah berhenti melangkah. Solidaritas yang tumbuh dari akar rumput membentuk kekuatan kolektif yang nyata. Komunitas perempuan hadir di berbagai sektor, mulai dari pendidikan, teknologi, hingga advokasi hukum untuk menciptakan ruang aman, memperjuangkan keadilan, dan meretas jalan perubahan. Generasi perempuan masa kini bukan hanya pewaris perjuangan Kartini, tetapi juga penafsir baru atas makna emansipasi yang lebih relevan dengan dinamika zaman. Mereka tidak sekadar menuntut keadilan, tetapi berupaya menulis ulang narasi sosial-politik dengan perspektif yang lebih inklusif dan manusiawi.

Dalam konteks ini, negara dan hukum memiliki tanggung jawab konstitusional yang tidak bisa diabaikan. Negara harus hadir bukan hanya sebagai pembuat regulasi, tetapi sebagai pelindung aktif dan fasilitator bagi perempuan untuk dapat hidup aman dan berkembang. Prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum seperti Pasal 28D dan 28I UUD 1945, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), serta ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Namun, keberadaan norma tanpa implementasi yang kuat hanya akan menjadi jargon. Negara harus memiliki keberanian politik untuk mendorong kebijakan afirmatif, penguatan kelembagaan, hingga reformasi struktural yang berpihak pada keadilan gender.

Hukum tidak boleh lagi dipandang netral terhadap ketimpangan sosial, karena netralitas dalam sistem yang tidak adil justru memperpanjang ketidakadilan itu sendiri. Hukum seharusnya menjadi instrumen transformasi sosial, yang mampu merespons kebutuhan perempuan berdasarkan pengalaman hidup mereka yang kompleks. Untuk itu, perjuangan perempuan juga merupakan desakan agar negara membangun demokrasi yang substantif, yakni demokrasi yang tidak hanya menghitung suara dalam bilik pemilu, tetapi juga mendengarkan suara-suara yang selama ini dibungkam oleh sistem yang patriarkal dan eksklusif.

Perjuangan perempuan adalah jalan panjang yang belum selesai. Dari Kartini yang menulis dalam keterbatasan hingga perempuan masa kini yang bersuara lewat ruang digital, setiap langkah adalah bagian dari gerakan besar menuju masyarakat yang setara. Di Hari Kartini ini, mari kita tidak hanya mengenang perjuangannya, tetapi juga meneruskan semangatnya dengan cara kita masing-masing. Sebab emansipasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses berkelanjutan yang membutuhkan keberanian, solidaritas, dan keteguhan hati.

Selamat Hari Kartini. Perempuan kuat, Indonesia maju.

*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT