Oleh : Wiranti, S.H., M.H.*
Matakita.co- Hari Kartini bukan sekadar mengenang perempuan bangsawan dari Jepara yang menulis surat-surat menggugah, tapi juga menyematkan harapan pada makna perjuangannya yang tak kunjung usai. Kartini adalah simbol, lebih dari itu ia adalah nyala api yang semestinya terus kita jaga dalam dada setiap insan yang percaya pada kemerdekaan berpikir dan kesetaraan hak.
Banyak yang mengatakan bahwa perjuangan Kartini telah selesai. Perempuan kini bersekolah, menjadi menteri, memimpin perusahaan, menjadi ilmuwan, bahkan presiden. Tapi apakah itu cukup? Apakah keberhasilan segelintir perempuan telah membayar lunas harga dari sebuah ketidakadilan yang telah turun-temurun? Di sinilah kita perlu berhenti sejenak, bukan untuk meragukan capaian, melainkan untuk merenungkan: apakah emansipasi telah menjadi kenyataan bagi semua perempuan Indonesia?
Di balik dinding rumah-rumah sempit di kota-kota besar, masih banyak perempuan yang terpenjara oleh norma yang mengekang. Di pelosok negeri, anak-anak perempuan masih disuruh menikah sebelum sempat mengenal dunia. Perempuan masih menjadi korban kekerasan, diremehkan suaranya, dianggap lemah hanya karena ia perempuan. Statistik dan data bisa menunjukkan tren yang membaik, tetapi realitas sosial tidak bisa dikaburkan oleh angka-angka semata.
Kartini muda dahulu menulis surat kepada Stella, Abendanon, dan teman-teman Eropanya. Ia mencurahkan kegelisahan, mempertanyakan kodrat yang dipaksakan, dan merindukan cahaya bagi bangsanya. Kartini hari ini menulis di ruang digital, berbicara lewat panggung-panggung publik, memimpin demonstrasi, mendirikan komunitas, membela sesama. Namun esensinya tetap sama, menolak tunduk pada ketidakadilan dan merayakan keberanian untuk menjadi utuh sebagai perempuan.
Perjuangan Kartini bukanlah nostalgia. Ia adalah panggilan, ia adalah kesadaran. Kartini tidak meminta kita sekadar mengenang dirinya, ia menuntut kita untuk meneruskan langkah yang telah ia mulai. Setiap perempuan yang berani bersuara di meja rapat, di ruang kelas, di mimbar demokrasi adalah perpanjangan dari cita-cita itu.
Hari Kartini bukan tentang kebaya, konde, atau foto seremonial. Ia adalah momen untuk bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita menjadi bangsa yang layak atas impian Kartini? Sudahkah kita membebaskan perempuan dari belenggu tidak hanya yang kasat mata, tetapi juga yang halus dan mengakar seperti bias budaya dan ketimpangan struktural?
Jika jawabannya belum, maka tugas kita masih ada, dan selama itu pula Kartini tetap hidup dalam diri siapa pun yang percaya bahwa keadilan bukanlah pemberian, melainkan hak yang harus diperjuangkan.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin