Oleh : Sitti Nurliani Khanazahrah, M.Ag.*
Saya punya kebiasaan ketika selesai mengisi seminar diskusi, tidak segera meninggalkan lokasi diskusi. Saya memilih tinggal beberapa saat untuk melanjutkan diskusi bersama peserta forum dalam suasana yang lebih santai. Di antara mereka ada yang curhat, ada juga yang meminta kontak untuk bisa berdiskusi secara lebih personal.
Hari itu, saya memberikan materi tentang keadilan gender dalam sebuah forum akademik kecil di Makassar. Seperti biasa, bicara soal perempuan membuat isi kepala saya dipenuhi cerita-cerita miris yang dibagikan peserta. Kisah tentang pelecehan di rumah oleh ayah atau paman sendiri, di kampus oleh oknum dosen, di rumah sakit oleh dokter, kekerasan di tempat kerja, guru mengaji terhadap santrinya, antar teman, antar mahasiswa, dan sebagainya.
Forum telah usai, sembari melanjutkan diskusi santai, di meja paling sudut, ada dua mahasiswi tampak membicarakan sesuatu dengan suara sangat pelan. Saya tidak berniat menguping, namun satu kalimat yang terdengar membuat saya melongo: “Tapi dia dosen, masa kita menolak, bagaimana jika nilai kita nantinya eror?” Saya tidak tahu cerita lengkapnya. Namun kalimat itu sudah cukup untuk memunculkan satu bayangan besar, bahwa ada luka yang tersembunyi di balik wajah kekuasaan.
Menurut saya, kekerasan seksual tidak hanya tindakan, tetapi lebih sebagai pola. Ia hadir dalam sistem, dalam relasi, dalam bahasa, dan dalam diam. Ia menyelinap lewat struktur yang tidak adil, budaya yang permisif, dan institusi yang abai. Di Indonesia, kisah-kisah korban kekerasan seksual terus bermunculan. Mulai dari rumah, sekolah, kampus, pesantren, pabrik, rumah sakit, rumah ibadah, hingga ruang-ruang pemerintahan. Tetapi yang paling mencolok adalah ketika kekerasan itu dilakukan oleh mereka yang punya kuasa seperti guru, dosen, pemuka agama, pejabat, atau atasan.
Kekuasaan, dalam banyak hal, tidak hanya soal jabatan atau status, namun juga persepsi. Ketika seseorang dipandang lebih tinggi secara sosial, ekonomis, atau simbolik, maka relasi yang terbangun dengan pihak lain pun menjadi timpang. Di sinilah luka kemudian mengendap. Korban menjadi tidak berdaya, sementara pelaku merasa tidak tersentuh. Banyak perempuan, ataupun juga sebagian laki-laki, terpaksa harus diam, bukan karena tidak tahu mereka disakiti, namum karena tahu bahwa tidak ada ruang aman untuk bersuara.
Saya pernah membaca penelitian Lies Marcoes-Natsir (1958), seorang antropolog dan aktivis perempuan, yang banyak menulis tentang kekerasan terhadap perempuan dalam konteks agama dan budaya. Ia menunjukkan bahwa kekerasan seksual sangat sering dibungkus dengan dalih moral, etika, atau bahkan kasih sayang. Menurutnya, kekuasaan itu tidak selalu berbentuk ancaman secara langsung, tetapi bisa hadir dalam bentuk “bimbingan”, “perlindungan”, atau pun “nasihat spiritual”. Ini yang kemudian membuatnya sulit dikenali, apalagi dilawan.
Dalam konteks pendidikan, misalnya, relasi dosen-mahasiswa yang idealnya edukatif dan setara bisa berubah menjadi relasi yang manipulatif. Seorang dosen bisa memanipulasi kedekatan emosional menjadi hubungan seksual yang tidak setara, dengan alasan “bakat”, “potensi”, atau bahkan “kebutuhan pribadi”. Begitu juga dalam konteks agama, seorang ustadz atau tokoh spiritual bisa memanfaatkan aura kesucian untuk mendekati santri atau jemaahnya secara tidak etis. Persis kisah Walid dalam film serial Bidaah yang viral belakangan ini.
Yang membuatnya lebih menyakitkan adalah bagaimana masyarakat meresponsnya. Seperti pertanyaan: Yakin itu dipaksa? Jangan-jangan kamu juga menikmati? Kenapa tidak menolak? Kenapa tidak melapor dari dulu? Salahmu sendiri, kenapa menggunakan pakaian terlalu minim? Dan seterusnya. Padahal pertanyaan-pertanyaan demikian sebenarnya bentuk lain dari kekerasan. Karena ia memindahkan beban dari pelaku ke korban. Seolah-olah korban harus bertanggung jawab atas penderitaannya sendiri.
Saya pernah mendampingi seorang mahasiswi yang mengalami pelecehan oleh dosennya. Ketika ia akhirnya memberanikan diri untuk melapor, respon kampus sungguh menyedihkan. Ia justru diminta untuk “introspeksi diri” dan “menjaga nama baik institusi.” Saya masih ingat kalimatnya sambil menangis: “Jadi, saya harus diam supaya institusi ini tetap harum?”
Sebenarmya, fenomena ini bukan kasus individual, tetapi sudah menjadi bagian dari budaya kita. Budaya yang melegitimasi kuasa dengan simbol. Budaya yang membuat perempuan harus lebih kuat untuk membuktikan luka. Budaya yang menormalisasi kekerasan sebagai “ujian” atau “tanggungan batin”.
Pierre Bourdieu (1930-2002) dalam refleksi sosiologisnya menyatakan, bahwa kekerasan simbolik berlangsung justru ketika pihak yang ditindas ikut menerima dominasi itu sebagai sesuatu yang “wajar” atau “tak terelakkan”. Kekuasaan bukan hanya memerintah, namun membentuk persepsi. Maka tidak heran ketika akhirnya banyak korban merasa malu, bersalah, atau bingung. Mereka tidak hanya kehilangan hak atas tubuhnya, namun juga atas narasi hidupnya.
Di sisi lain, kekerasan seksual juga semakin mendapatkan ruang dalam budaya populer. Ada semacam estetika penderitaan yang dibentuk oleh media. Mulai dari sinetron yang memaklumi pelecehan, iklan yang mengeksploitasi tubuh perempuan, hingga konten digital yang menertawakan kekerasan sebagai “bumbu kisah cinta.” Hemat saya, sebenarmya semua itu mengaburkan batas antara cinta dan kontrol, antara relasi dan dominasi.
Namun tentu saja, perlawanan mesti semakin dibangun. Kesadaran baru harus terus tumbuh. Gerakan-gerakan perempuan dan komunitas korban mesti mulai bersuara dengan lebih berani. Di ruang-ruang digital, kampanye seperti #SayaJuga atau #GerakBersama telah memecah keheningan kolektif. Ruang berbagi pengalaman menjadi semacam tempat ziarah luka, atau tempat korban saling menyembuhkan dengan kisah.
Dalam konteks ini, healing bukan sekadar tindakan personal, namun juga politis. Ia adalah upaya merebut kembali narasi, merebut kembali tubuh, dan merebut kembali makna hidup. Seperti yang dikatakan oleh Audre Lorde (1934-1992), seorang penyair dan aktivis kulit hitam: “Merawat diri sendiri bukan tindakan memanjakan, tetapi lebih sebagai bentuk perang politik.” Dalam sistem yang membisukan korban, menyayangi diri adalah bentuk perlawanan.
Saya mengenal seorang aktivis perempuan yang bertahun-tahun mendampingi korban kekerasan seksual di komunitas agama. Ia pernah berkata, “Kadang yang paling menyakitkan bukan luka dari pelaku, namun tatapan sinis dari orang-orang yang kita kira akan mendukung.” Dalam banyak kasus, korban justru dijauhi oleh komunitasnya, dituduh merusak harmoni, dianggap memalukan, bahkan diasingkan dari rumah ibadah.
Itulah mengapa upaya melawan budaya kekerasan seksual harus dilakukan di banyak tingkat. Mulai dari tingkat hukum, institusi, pendidikan, media, bahkan bahasa. Kita perlu mengubah cara kita bicara, cara kita mendengar, dan cara kita merespons. Bukan hanya sekadar menghindari “kekerasan” secara teknis, tetapi mengubah struktur sosial yang memungkinkan kekerasan itu terjadi berulang.
Kita tidak bisa hanya mengandalkan regulasi. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang telah disahkan adalah langkah penting, tetapi tanpa kesadaran budaya, hukum bisa tumpul. Kita butuh kurikulum yang memuat pendidikan kesetaraan, butuh lembaga yang benar-benar berpihak pada korban, dan yang paling utama, masyarakat yang tidak lagi membungkam luka dengan alasan sopan santun.
Spiritualitas Islam turut mengafirmasi hal ini. Bahwa tubuh manusia adalah amanah. Menyakiti tubuh orang lain, baik secara fisik, psikis, maupun simbolik adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah itu. Nabi Muhammad SAW, dalam haditsnya menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya terhadap perempuan. Maka kekerasan, dalam bentuk apa pun, sejatinya adalah bentuk pengingkaran terhadap fitrah.
Namun ironi terbesar justru hadir di sini. Banyak pelaku kekerasan seksual adalah mereka yang tampak saleh, berkuasa, dan dihormati. Mereka bersembunyi di balik jubah agama, status sosial, dan citra moral. Maka tugas kita bukan hanya melawan kekerasan, namun juga membongkar topeng-topeng kekuasaan yang menyamarkan dirinya sebagai kebaikan.
Saya mempercayai, bahwa menyembuhkan luka dari kekerasan seksual bukan perkara instan. Ia butuh waktu, ruang, dan keberanian. Ia butuh dukungan, bukan tuntutan. Ia butuh kejujuran, bukan paksaan untuk tampak kuat. Tidak semua orang bisa langsung bicara. Tidak semua orang bisa langsung memaafkan. Dan itu tidak apa-apa.
Sebagaimana kata-kata Bell Hooks (1952-2021), “Cinta sejati hanya bisa lahir dari keadilan.” Maka mencintai korban bukan dengan menyuruh mereka diam atau cepat sembuh, tetapi dengan menciptakan dunia yang lebih adil bagi mereka untuk hidup.
Saya menulis ini bukan sebagai ahli, tetapi sebagai manusia yang pernah duduk bersama korban, menangis bersama mereka, dan merasa tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menjadi telinga. Karena terkadang, kehadiran yang tidak menghakimi adalah awal dari penyembuhan. Dan penyembuhan itu dimulai bukan dari terapi, namun dari keberanian untuk berkata: “Saya percaya kepadamu dan saya bersamamu.”
*) Penulis adalah Penulis, Staf Pengajar UIN Alauddin Makassar. Aktivitas sehari hari sebagai Pegiat Literasi & Filsafat Profesi. Aktif sebagai Pendiri Rumah Kajian Filsafat dan Pembina Komunitas Literasi Perempuan. Memiliki hoby Baca, Traveling & Menonton. Email : sittinurlianiindahkhanazahrah@gmail.com.