Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.,*
Di kaki Gunung Pangrango (5 Mei 2025), pagi itu tidak ada gempa, tidak ada longsor. Yang ada cuma bau busuk dari arah kebun dan irigasi. Warga menyangka bangkai hewan. Tapi yang ditemukan bukan kambing, bukan anjing, bukan tikus. Yang ditemukan adalah manusia. Tepatnya bagian-bagian tubuh manusia: tengkorak, rahang, kaki, dan lengan.
Polisi datang. Dan dari penggalan tulang itu, satu nama muncul: Lilis. Seorang ibu rumah tangga, 53 tahun, yang dikenal aktif di lingkungan. Sudah dua minggu ia tidak terlihat, padahal biasanya tak pernah absen dari kegiatan warga. Tak ada yang menduga ia akan kembali dalam bentuk potongan-potongan yang ditemukan di saluran air.
Pelakunya bukan orang jauh. Suaminya sendiri. Alasannya: utang.
Setahun silam, sekitar 160 kilometer dari sana, di Ciamis, Jawa Barat, seorang pria bernama Tarsum juga menghabisi istrinya, Yanti. Tapi Tarsum tidak berhenti di pembunuhan. Ia memutilasi tubuh istrinya, memasukkan potongan daging ke dalam baskom, lalu berjalan keliling kampung menawarkannya kepada tetangga.
“Jual daging si Yanti… Jual daging si Yanti…” katanya, seakan menawarkan daging kambing. Ketua RT yang ditawari langsung, lari tunggang langgang ke kantor polisi.
Motif Tarsum? Lagi-lagi, utang. Usaha jagalnya bangkrut. Ia menanggung beban utang Rp 100 juta. Dan ketika tekanan hidup tak lagi bisa ia kendalikan, yang lahir bukan solusi, tapi mutilasi. Bukan negosiasi, tapi tragedi.
Dua lokasi berbeda. Dua perempuan kehilangan nyawa. Dua suami berubah menjadi algojo. Dan satu benang merah yang tak bisa diabaikan: utang yang pelan-pelan mengiris kewarasan.
Tren Global Kekerasan Berbasis Utang
Di banyak tempat, utang memang bukan sekadar soal angka. Ia bisa tumbuh menjadi tekanan, lalu berubah jadi desakan, lalu meledak jadi kekerasan. Seperti bom waktu yang tak selalu berdetak, tapi pasti meledak.
Laporan Global Study on Homicide (2019) dari UNODC mencatat bahwa motif ekonomi, termasuk utang, adalah salah satu penyebab paling umum dari pembunuhan di berbagai negara. Artinya, cerita tentang suami membunuh istri karena lilitan utang bukan cuma milik Cianjur atau Ciamis. Ia juga terjadi di negara-negara yang konon lebih sejahtera.
Di Inggris, Robert Hammond, seorang pialang hipotek, terjebak dalam gunung utang yang menyesakkan: 300 ribu pound. Lalu, empat hari sebelum ia mencekik istrinya sendiri sampai mati, ia melunasi tunggakan premi asuransi jiwanya. Nilai polis itu berkisar 450 ribu pound. Di hadapan pengadilan, “motif uang” terbuka dengan telanjang.
Di Australia, ada Andre Rebelo, investor kripto yang membunuh ibunya sendiri. Colleen Rebelo ditemukan tak bernyawa di bawah pancuran air. Awalnya dikira kematian wajar. Tapi polisi menemukan sesuatu yang tidak wajar: seminggu sebelum kematian, Andre diam-diam mengambil tiga polis asuransi jiwa atas nama ibunya dan menjadikannya sebagai satu-satunya penerima manfaat. Total nilainya: lebih dari 1 juta dolar Australia.
Frustrasi-Agresi dalam Sistem Patriarki
Sejumlah fenomena seperti ini tidak lahir dari ledakan emosi sesaat. Mereka membunuh dengan perhitungan matang. Seperti mencicil kejahatan: bermula dari niat, berlanjut ke perencanaan, lalu eksekusi. Uang jadi alasan. Dan keluarga jadi korban.
Yang paling menakutkan adalah mereka bukan monster yang mengerikan. Mereka orang biasa, dengan utang yang juga biasa. Tapi di dunia yang serba materialis ini, “biasa” berubah menjadi tekanan yang luar biasa. Dan saat tekanan itu tak punya pintu keluar, kemanusiaan bisa runtuh menjadi kekejaman.
Frustrasi dan agresi adalah dua sahabat lama. John Dollard dan rekan-rekannya sudah bicara soal ini sejak lama. Ketika seseorang frustrasi, ia rentan mencari sasaran: bisa keluar, bisa ke dalam. Bisa berupa tangis di kamar mandi, bisa juga berupa mutilasi di ruang dapur.
Tentu saja, itu terjadi bila kondisi psikologisnya sudah rapuh.Tapi kita jangan berhenti di situ. Ini bukan hanya soal emosi. Ini soal sistem yang rapuh dan rapuhnya struktur sosial.
Kita hidup di masyarakat patriarkal, di mana laki-laki dibesarkan menjadi pencari nafkah, pelindung, dan pemimpin keluarga. Mereka diajarkan untuk tidak boleh gagal, tidak boleh menangis, harus selalu punya jawaban. Padahal hidup sering kali memberi pertanyaan yang tak terjawab.
Maka ketika utang menumpuk, dapur tak lagi ngebul, dan bisik-bisik tetangga mulai bergaung, lelaki bisa runtuh. Bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara identitas. Ia kehilangan status, kehilangan harga diri. Dan kekerasan menjadi pilihan terakhir untuk merasa berkuasa kembali, meski hanya sesaat.
Jangan Sampai Harga Diri Membunuh Nurani
Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan sekadar paham soal keuangan. Tapi kebijaksanaan untuk tahu kapan merasa cukup. Karena hidup bukan lomba pamer. Dan utang, bila tak hati-hati, bisa menjebak di arena yang tak kita pilih: menjadi penonton bangkrutnya kewarasan diri sendiri.
Berutang itu tidak salah. Tapi salah arah dan salah cara bisa menyesatkan. Kita perlu tahu batas, tahu konsekuensi, tahu bahwa gengsi tak pernah sebanding dengan rasa tenang di hati. Sebab kadang, yang membunuh itu bukan tagihan, tapi keinginan untuk terus terlihat mapan.
Lalu masyarakat juga harus jadi pelindung, bukan hakim. Tak semua lelaki kuat selamanya. Tak semua kepala rumah tangga bisa terus menegakkan kepala. Kita perlu lebih banyak ruang aman, tempat curhat yang tak menstigma, dan komunitas yang lebih banyak memeluk daripada menghakimi.
Dan untuk para lelaki yang sedang menahan dunia di pundaknya: tenanglah sebentar. Tidak apa-apa lelah. Tidak apa-apa bingung. Bahkan menangis pun, tidak apa-apa. Dunia memang kadang kejam, tapi kita tidak perlu ikut-ikutan menjadi keras. Jangan biarkan harga diri memaksamu memikul beban sendirian. Karena keluarga bukan tempat menunjukkan kuasa, tapi tempat belajar bersama cara bertahan.
Kita tak harus selalu jadi pahlawan. Kadang, cukup jadi manusia yang tetap pulang dalam keadaan utuh, itu sudah luar biasa. Tetaplah hidup. Tetaplah waras. Tetaplah mencintai, bahkan di saat hidupmu terkesan “tidak mencintaimu” balik.
*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin