Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*
Ada kalanya dalam riuhnya waktu, kita harus berhenti dan menengok ke belakang. Mengingat kembali apa yang sudah diwariskan, bukan untuk sekadar mengenang, tapi untuk menemukan arah dalam pusaran zaman. Soekarno, sang proklamator, pernah berkata: “Pancasila bukan hanya dasar negara, melainkan jiwa bangsa”. Sebuah jiwa yang berdenyut dalam setiap langkah, menjadi lentera yang menuntun kala kegelapan melanda.
Kini, di tengah gemuruh rencana legalisasi kasino yang mencuat, suara itu jangan sampai terlupakan. Di layar kaca, kita disuguhkan hitungan-hitungan ekonomi yang menjanjikan. “Pendapatan Asli Daerah bisa bertambah triliunan rupiah,” ujar para penggagasnya. “Lapangan kerja akan tumbuh, investasi mengalir deras.” Di hadapan gemerlap janji, kita pun mudah terbuai. Lalu pertanyaan kemudian hadir: apakah ini harapan fulus, ataukah tipu daya yang tersamarkan dengan halus?
Non-Transferability of Law
Sejarah tak pernah berdusta. Ali Sadikin, gubernur yang berani dan penuh visi, pernah membuka pintu perjudian di Jakarta. Tetapi, pintu itu ia tutup kembali, menyadari bahwa arus kerusakan lebih deras dari yang bisa ia kendalikan. Tidak sekadar soal uang, melainkan tentang manusia yang terjerat, keluarga yang retak, dan nilai yang terkikis. Ali Sadikin mengajarkan kita, bahwa kebijakan bukan hanya angka dan statistik, tapi nadi kehidupan sosial.
Dari Timur Tengah, kita lihat Uni Emirat Arab (UEA) yang mulai membuka kasino di zona ekonomi khusus. Mereka berdansa dengan modernitas dan tradisi, mencari keseimbangan yang rapuh antara kebutuhan ekonomi dan nilai budaya.
Kita, sebagai bangsa yang religius selayaknya UEA, kemudian harus bertanya: apakah langkah serupa juga tepat bagi kita?
Di sinilah relevansi pemikiran Robert Bob Seidman menyeruak. Ia menulis satu prinsip yang tampak sederhana, tetapi dalam maknanya: “Law is the non-transferability of law.” Hukum, katanya, bukan benda mati yang bisa dipindah begitu saja dari satu negara ke negara lain. Ia melekat pada napas sosial masyarakatnya. Tumbuh dari sejarah, tertanam dalam kebudayaan, dan menjelma dalam nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hukum yang berhasil di satu tempat, belum tentu akan bertahan di tempat lain.
Singapura boleh memiliki kasino, dan UEA mungkin menyambutnya dengan tangan terbuka. Tapi Indonesia? Indonesia bukan hanya soal geopolitik atau neraca fiskal. Ia adalah rumah dari nilai-nilai yang tumbuh lama, berakar dalam agama, gotong royong, rasa malu, dan penghormatan pada martabat manusia. Ketika hukum diputuskan tanpa mendengar denyut itu semua, maka ia bukan hukum, melainkan alat kekuasaan yang kehilangan jiwa.
Dan bukankah Pancasila adalah jiwa itu?
Sila pertama menyebut: Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata-kata yang sering kita dengar, tapi jarang kita renungkan. Dalam sila ini, terkandung semangat bahwa negara ini berdiri atas fondasi spiritual yang kokoh. Bukan negara agama, tapi negara yang menghormati suara langit. Mayoritas rakyat Indonesia menjunjung keyakinan yang mengharamkan perjudian. Islam mengharamkannya, Kristen dan Katolik mengutuknya, Hindu dan Buddha memandangnya sebagai penghalang kebajikan. Maka saat negara hendak membuka ruang bagi kasino, pertanyaannya bukan sekadar legal atau tidak, tapi: apakah kita sedang menampar keyakinan rakyat kita sendiri?
Agama-agama besar tidak melarang perjudian karena aktivitas ini sekadar permainan. Mereka melarangnya karena tahu bahwa di sana, manusia digoda menjadi serakah. Bahwa hidup diukur dari keberuntungan, bukan dari kerja keras. Bahwa nilai digantikan oleh angka.
Dan sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, mengingatkan kita bahwa manusia bukan sekadar makhluk ekonomi. Ia punya harga diri, martabat, dan kebutuhan spiritual. Dalam ruang kasino, semua itu bisa lenyap secara perlahan. Tak ada keadilan di dalam sana, hanya berkutat tentang peluang dan nasib yang termanipulasi rentetan mesin dan meja. Kasino, pada akhirnya, bukan tempat membangun peradaban, melainkan tempat di mana peradaban bisa ditanggalkan perlahan.
Antara Manfaat dan Martabat
Penganut utilitarian mungkin akan berkata: “Tapi lihatlah, ada manfaat!” Lihat jumlah pemasukan, serapan tenaga kerja, geliat pariwisata. Sebagaimana Jeremy Bentham pernah membayangkan: moralitas adalah tentang the greatest good for the greatest number. Tapi benarkah semua yang menguntungkan itu pantas dilakukan?
Di sinilah etika deontologis menawarkan pembacaan lain. Etika ini tidak menimbang perbuatan dari hasilnya, tetapi dari prinsip moral yang mendasarinya. Bahwa ada hal-hal yang salah, meskipun hasilnya tampak baik. Bahwa mencederai nilai dasar bangsa demi manfaat ekonomi adalah bentuk pengkhianatan yang dibungkus kepentingan.
Maka dalam debat kasino ini, kita menemukan bukan sekadar kontestasi ekonomi, tapi pertarungan moral: antara mereka yang menimbang lewat grafik dan angka, dan mereka yang membaca lewat hati nurani.
Etika deontologis dan sila Pancasila berjalan searah: menolak menjadikan manusia sebagai sarana, menolak menggadaikan martabat demi geliat bisnis. Kita diajak tidak tergoda oleh jalan pintas yang terlihat manis. Sebab pembangunan sejati bukanlah pertumbuhan yang menggerus jiwa, melainkan pertumbuhan yang menjaga jiwa tetap utuh.
Pancasila Bukan Barang Dagangan
Indonesia, sejak awal, tak dirancang sebagai negeri yang pragmatis belaka. Ia dirancang dengan kesadaran luhur bahwa kehidupan bukan hanya tentang hidup, tapi tentang bagaimana hidup dengan benar. Maka dari itu, ketika dunia menawarkan “legalisasi kasino” sebagai pintu emas menuju kemajuan, kita layak bertanya: emas bagi siapa? Kemajuan untuk siapa?
Kita sudah belajar dari ribuan kasus kehancuran akibat judi online: anak mencuri ponsel ibunya, kepala keluarga menjual harta warisan, hingga nyawa yang melayang karena jerat utang dari kekalahan berulang. Apa yang dulu terjadi di gelapnya internet, kini hendak diangkat ke permukaan, diberi lampu neon, dan disahkan dalam peraturan daerah? Rasanya bukan itu wajah Indonesia yang diimpikan oleh para pendirinya.
Kita sedang menuju 2045. Seratus tahun Indonesia merdeka. Kata orang, ini momentum emas. Tapi jangan sampai kita menyambutnya dengan langkah yang keliru. Jangan sampai kita tergoda membangun gedung tinggi di atas fondasi yang retak. Kita bisa kehilangan arah jika terlalu percaya pada arah angin pasar, tanpa berpegang pada kompas nilai.
Dan Pancasila, jika ia benar-benar kita hayati, bukanlah alat justifikasi untuk segala kebijakan. Ia adalah rambu, bukan restu. Ia adalah prinsip, bukan alat tawar-menawar.
Jika dalam pusaran zaman ini kita masih percaya bahwa negara ini dibangun dengan niat yang suci, maka sudah sepatutnya kita merawat kesuciannya. Kita boleh bicara investasi, boleh bicara modernisasi, tapi jangan lupakan: ada nilai yang tidak boleh dijual. Ada prinsip yang tidak bisa dilelang. Dan di antara prinsip itu, Pancasila harus tetap berdiri tegak. Sebagai jiwa yang tetap berdenyut di dalam nadi bangsa.
*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Makassar