Beranda Mimbar Ide Paradoks Work-Life Balance ; Ketika Keseimbangan Bukan Soal Waktu Semata

Paradoks Work-Life Balance ; Ketika Keseimbangan Bukan Soal Waktu Semata

0
Milawaty

Oleh : Milawaty, SS., SE., MM

(Widyaiswara Muda Pusjar SKMP Lembaga Administrasi Negara)

Work life balance barangkali menjadi impian semua orang, terkhusus mereka yang hari-harinya diisi dengan kerja dan kerja. Kebutuhan dan persaingan menjadi dua kata kunci yang menuntut seseorang untuk menghabiskan waktunya dengan bekerja. Keluarga dan kehidupan sosial lainnya menjadi semakin tersisihkan dan hanya mengisi sebagian kecil dari hidup seorang pekerja keras.

Apakah itu salah? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan orang yang bekerja keras. Hukum alamlah yang bekerja, dan manusia dengan naluri dasarnya mencoba untuk bertahan. Ya, mempertahankan kelangsungan hidup. Namun, hidup terdiri dari sekumpulan konsekuensi dari berbagai pilihan. Mengutip kata-kata bijak Graham Bown “hidup itu tak lain rangkaian action demi action.

Tindakan memilih action merupakan tema sentral di dalam kehidupan manusia, baik disadari ataupun tidak. Tujuan akhirnya adalah survival.” Artinya bahwa pilihan apa pun yang di buat, itu adalah action, dan itu mengarah pada bagaimana seseorang hendak bertahan dan tidak menyerah. Ini juga sekaligus menjawab hal yang dikemukakan Ralph Waldo Emerson bahwa “semua kehidupan adalah eksperimen. Semakin banyak eksperimen yang kamu lakukan semakin baik”. Ini dapat dimaknai bahwa  kualitas kehidupan seseorang ditentukan dari semakin banyaknya hal yang dapat dilakukannya. Kaitannya dengan work life balance? Tentu ada, tapi mari kita mencoba menyatukan persepsi terkait work life balance ini.

Work life balance adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu mengatur dan menyelesaikan tanggung jawabnya di pekerjaan, kehidupan keluarga, dan tanggung jawab lainnya. Kalliath & Brough (2008 dalam Wulansari, 2023) memaparkan work life balance sebagai persepsi yang dimiliki individu tentang keseimbangan antara pekerjaan mereka dan kegiatan non-kerja. Menurut Suhardono (2013), work life balance adalah kemampuan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan ‘me time’. Me time adalah alokasi waktu untuk kepentingan diri sendiri, entah itu dipergunakan untuk keluarga, sahabat, orang tua, atau diri sendiri. Menurut Delina (2013 dalam Wardani & Rahmat, 2021) bahwa bahwa karyawan dapat mencapai produktivitas dan kinerja terbaiknya manakala ia mampu mencapai keseimbangan  antara tuntutan pekerjaan dan kehidupan rumah mereka. Dari sudut pandang kesehatan, work life balance dianggap sebagai gaya hidup yang sehat karena secara psikologis mental lebih terjaga.

Kebalikan dari work life balance adalah work life imbalance, yaitu ketidakmampuan individu untuk menyeimbangkan aktivitas atau tanggung jawab mereka dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan. Beberapa ahli semisal Balmforth dan Gardner, Greenhouse et al, Tomasevic (2006 dalam Wardani & Rahmat, 2021; syam, 2022) telah memperingatkan bahwa ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan tuntutan keluarga dapat menimbulkan ketidakpuasan karyawan, stress, menurunnya kesehatan, burnout, menurunnya kinerja, berkurangnya kualitas hidup, dan konflik yang dapat mengganggu pekerjaan dan kehidupan keluarga.

Work life balance dan work life imbalance, keduanya adalah persepsi sehingga akan berbeda penilaian setiap orang terkait work life balance itu sendiri. Persepsi lebih mengarah pada perilaku subjektif sehingga keseimbangan yang dirasakan oleh seseorang bisa jadi di mata orang lain dianggap sebagai ketidakseimbangan. Erben dan Ötken (Köse, et al., 2021 dalam Syam, 2022) menyatakan bagi pekerja yang merasa kehidupan keluarga merupakan hal yang penting, adanya tuntutan yang berasal dari kehidupan kerja yang intens dapat menimbulkan ketegangan peran di mana hal tersebut bertentangan dengan persepsinya tentang work-life balance. Sedangkan bagi pekerja yang merasa bahwa kehidupan kerja lebih penting dan memberikan lebih sedikit waktu untuk keluarga, tidak serta merta dapat diartikan bahwa individu tersebut mengalami ketidakseimbangan. Dapat dikatakan bahwa pekerja tersebut membangun keseimbangan dengan berpusat pada kehidupan pekerjaan serta tidak melihat situasi yang terjadi atas keinginannya sendiri sebagai bentuk ketidakseimbangan.

Bekerja keras memang baik karena di balik cerita keberhasilan, ada kebenaran dari ‘usaha tidak akan menghianati hasil’. Namun tidak selamanya bekerja keras berujung pada kebahagiaan. Cukup Mita Diran, seorang copy writer, anak muda ceria bersemangat tinggi, yang mengalami mimpi buruk work life imbalance. Bekerja 30 jam nonstop. Takdir kematian yang akhirnya menghentikannya. Kekuatan tubuhnya ternyata tidak berbanding lurus dengan semangatnya.  Dari cerita ini kita belajar bahwa memang tidak mudah untuk menghasilkan keseimbangan. Motivator Merry Riana menyampaikan bahwa dibutuhkan dua hal agar keseimbangan hidup bisa tercapai, yaitu kesabaran dan kepandaian. Melalui keduanya, kita dilatih untuk melihat, menganalisis, dan menjawab kebutuhan dan tuntutan hidup.

Jangan lupakan pula bahwa dunia kerja bukan milik kaum adam semata. Fakta menunjukkan bahwa peran kaum hawa di dunia kerja semakin tahun semakin meningkat. Peluang dan tuntutan membuat mereka harus menjalankan beragam fungsi; ibu, istri, anak, pekerja, dan fungsi sosial lainnya. Work life balanced menjadi semakin ‘menantang’ karena banyak peran dan tanggung jawab yang harus diselesaikan. Selain kaum adam-hawa, pertimbangan generasi dalam angkatan kerja juga menjadi hal yang patut diperhitungkan. Hasil survei Deloitte menunjukkan work-life balance merupakan hal penting yang akan menjadi pertimbangan bagi generasi milenial dan generasi Z untuk tetap betah di perusahaannya.

Lantas, bagaimana agar keseimbangan hidup tercapai? Pertama, Berikan batasan yang jelas antara tanggung jawab dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi. Jika work life balance dipersepsikan sebagai membagi secara rata pemanfaatan waktu dalam sehari, maka pulang tepat waktu saat jam kantor berakhir bisa jadi merupakan pilihan terbaik. Hanya saja perlu ada komitmen semua pihak untuk mematuhi hal ini, meski tidak menjadikannya sebagai suatu kewajiban. Bagaimanapun dalam dunia kerja, kepentingan pimpinan, kepentingan rekan kerja, kepentingan stakeholder lainnya, dan atau kepentingan masyarakat atau pelanggan perlu menjadi pertimbangan tersendiri. Ini berarti work life balance tidak semata bisa diselesaikan dengan pengelolaan waktu semata. Kedua, berikan standar work life balance dari kaca mata diri sendiri. Membagi waktu 24 jam sehari secara berimbang antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja bagi seseorang mungkin dengan perbandingan yang sama, masing-masing dialokasikan 12 jam. Namun bagi lainnya, yang berimbang bukan demikian, melainkan 8 jam untuk pekerjaan dan selebihnya adalah me time, entah itu bersama keluarga, sahabat, atau untuk diri sendiri. Yang jelas ada standar yang ditetapkan, dan komitmen untuk melaksanakannya, sepanjang tidak ada kondisi-kondisi tertentu yang mengharuskan dia untuk memprioritaskan satu hal.

Ketika seseorang merasakan bahwa secara umum tidak ada konflik peran yang harus dilalui dalam hari-harinya, dan tujuan yang ingin diraih atas setiap peran yang dilakoninya menghasilkan progress yang lancar, itu berarti ia sudah berhasil. Work life balance sudah berhasil diterapkannya. Bravo. Welcome to work life balance world. 

REFERENSI

Suhardono, Rene. 2013. Your Job Isn’t Your Career.

Syam, Rahmawati. 2022. Work Family Balance pada Ibu Bekerja.

Wardani, Layla Meiliyandrie & Rahmat Firmansyah. 2021. Work Life Balance Para Pekerja Buruh.

Wulansari, Oktuviani Dwi. 2023. Narrative Literature Review: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work-Life Balance. Psychopreneur Journal. 7(1): 15-28

 

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT