Beranda Literasi Negara Kecolongan, Selingkuhan Kebagian

Negara Kecolongan, Selingkuhan Kebagian

0
Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*
Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*

Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*

Selingkuhan itu seperti lubang di dinding rumah. Awalnya kecil. Disangka sepele. Tapi kalau dibiarkan, ia bisa merobohkan seluruh bangunan.

Beberapa waktu lalu, kita kembali menyaksikan satu lubang yang merobek fondasi kepercayaan publik. Direktur Utama PT Taspen, ASK, didakwa menyalahgunakan dana investasi perusahaan. Tapi yang membuat kasus ini viral bukan angka ratusan miliar rupiahnya. Toh, publik sudah terlalu sering disuguhkan angka fantastis. Melainkan ini perihal hasil penelusuran aliran uang yang tertuju ke 11 unit apartemen atas nama seorang pramugari. Ya, seorang flight attendant yang diduga selingkuhannya.

Sebagian orang mungkin menganggapnya sekadar “laki-laki nakal”. Tapi korupsi bukan perkara nakal. Ia kejahatan yang sistemik. Apalagi jika uang negara dipakai bukan untuk membangun jalan, tapi memoles hubungan gelap.

ADVERTISEMENT

Memang ada pepatah lama yang berbunyi: “Cinta itu buta.” Tapi dalam kasus ini, barangkali cinta itu bukan cuma buta, tapi juga tuli, bisu, dan kehilangan nalar.

Perselingkuhan yang Dibiayai Kolektif

Kita hidup di negeri yang terlalu sering memaafkan “urusan pribadi” pejabat. “Itu soal moral, jangan dibawa ke ranah publik,” kata mereka. Tapi bagaimana kalau moral itu sudah dibayar dengan uang kita?

Saya jadi teringat kalimat Dacher Keltner dalam bukunya The Power Paradox (2016): kekuasaan yang sejatinya didapat lewat empati dan tanggung jawab, justru sering berujung pada kelakuan sebaliknya: egoisme, pengabaian, dan penyimpangan. Keltner menyebut fenomena ini sebagai ilusi kekuasaan: “semakin tinggi posisi, semakin kuat keyakinan bahwa aturan tak lagi berlaku untuk dirinya”.

Inilah yang menjelaskan mengapa pejabat berani menyawer penyanyi di atas panggung dengan uang negara. Atau membelikan apartemen untuk selingkuhan, seolah itu bukan uang rakyat. Karena dalam pikirannya, dia bukan lagi pelayan publik, tapi “raja kecil” yang kebetulan pakai dasi. Dan para “raja kecil” ini bukan satu dua.

Pada tahun 2021 di Musi Rawas, Sumatera Selatan, Kepala Desa Sukowarno bernama Askari sempat bikin heboh. Dana desa yang seharusnya digunakan untuk penanganan Covid-19 justru dipakai untuk uang muka mobil. Bukan untuk operasional desa, melainkan untuk perempuan simpanannya.

Belum lagi di Kalimantan Tengah, kisaran 2017-2018. Seorang bendahara desa bernama Ahyani membawa lari ratusan juta dana desa, lalu menggunakannya untuk hidup bersama perempuan lain. Uang itu dipakai untuk nikah siri, menyewa ruko, dan membuka usaha pijat yang bangkrut dalam tiga bulan. Dan ini bukan khas Indonesia.

John Edwards, mantan Senator dan calon Presiden Amerika Serikat, berselingkuh dengan Rielle Hunter, seorang videografer kampanyenya. Ketika Hunter hamil, Edwards tidak hanya berbohong pada publik dan istrinya yang tengah mengidap kanker stadium lanjut. Ia juga diduga menggunakan dana kampanye demi menutupi keberadaan anak hasil hubungan gelap itu, membiayai hidup Hunter, membayar pengacara, bahkan memalsukan identitas ayah biologis.

Fenomena-fenomena ini adalah cerita tentang kekuasaan yang kehilangan malu. Tentang jabatan yang menumpulkan nurani. Dan tentang bagaimana lembaga publik dijadikan tempat bermain petak-umpet: rakyat ditutup matanya, sementara cinta gelap ditutupi dengan “kuitansi palsu”.

Criminogenic Love: Cinta, Celah, dan Celaka

Pertanyaannya kemudian: kenapa ada oknum pejabat bukan hanya berselingkuh, tapi juga membiayai selingkuhannya dengan uang negara?

Mungkin jawabannya satu: karena cinta. Tapi bukan cinta yang teduh dan memuliakan. Ini cinta yang buta, tuli, dan penuh delusi. Cinta yang kehilangan rem, dan terlalu percaya diri di area tanjakan.

Dalam psikologi, ada istilah yang pas: emotional hijack. Ketika perasaan mengambil alih kemudi nalar. Tapi kalau mau lebih jujur, ini bukan sekadar perasaan. Ini soal kerja otak.

Ketika seseorang jatuh cinta, utamanya dalam euforia hubungan terlarang: amygdala, pusat emosi dalam otak, bekerja terlalu keras. Ia membunyikan alarm senang secara berlebihan. Di sisi lain, prefrontal cortex, bagian otak yang bertugas menimbang, mengerem, dan menghitung risiko ikut melemah. Jadi jangan heran kalau seorang pemimpin publik yang biasanya tenang dan rasional, tiba-tiba kalang kabut hanya karena satu pesan pendek dari perempuan yang dipanggilnya “sayang”.

Ia bukan tidak tahu yang dilakukannya keliru. Ia tahu. Tapi ia percaya: bisa lolos. Bisa menyiasati sistem. Bisa membungkus aib dengan kuitansi dan tanda tangan.

Namun, mabuk cinta semata belum cukup menjelaskan segalanya. Karena banyak orang dimabuk cinta, tapi tidak semua tega menggelapkan uang rakyat demi menyenangkan perempuan lain. Di sinilah masuk wilayah yang lebih sunyi: kekuasaan.

Dalam kajian kriminologi, ada istilah criminogenic opportunity: kesempatan yang menciptakan kejahatan. Bukan karena niat, tapi karena peluangnya terbuka lebar. Karena pelaku punya akses, kontrol, dan keyakinan bahwa semua bisa diatur. Seorang pejabat publik adalah contoh yang sangat pas. Ia menguasai anggaran. Ia tahu celah birokrasi. Dan ia punya cukup jaringan untuk menghapus jejak sebelum audit datang.

Maka ketika kekuasaan bertemu candu, rusaklah nalar. Jabatan yang semestinya dipakai melayani rakyat, berubah jadi kartu debit untuk membayar apartemen, mobil, bahkan gaya hidup ganda: satu untuk istri sah, satu lagi untuk “pelarian” rahasia.

Korupsi macam ini bukan semata pelanggaran administratif. Ia adalah kejahatan yang dilumuri adrenalin asmara dan aroma kuasa. Dan seperti kata banyak kriminolog: every crime needs motive, means, and opportunity. Ketiganya lengkap ada di sini: gairah asmara sebagai motif, kekuasaan sebagai alat, dan celah pengawasan sebagai kesempatan.

Integritas: Modal Utama Seorang Pemimpin

Pada akhirnya, korupsi yang dibumbui perselingkuhan bukan sekadar pengkhianatan terhadap negara. Ia juga pengkhianatan terhadap makna terdalam dari sebuah kepemimpinan: integritas.

Integritas bukan sekadar topeng yang dipakai saat berada di hadapan publik, bukan pula seremonial kosong atau formalitas belaka. Ia adalah kemampuan untuk berkata “tidak” saat tak ada yang mengawasi. Ia adalah kekuatan untuk tetap jujur, meski kebohongan tampak lebih menguntungkan dan godaan cinta gelap semakin menggoda.

Pejabat yang tak mampu menjaga diri dari godaan seperti itu, sesungguhnya tak pantas dipercayakan mengawal nasib jutaan rakyat. Jika kesetiaannya bisa goyah pada satu perempuan yang bukan haknya, bagaimana mungkin kita berharap ia setia pada jutaan rakyat yang bahkan tak dikenalnya?

Negara ini terlalu berharga untuk dibayar dengan harga sebuah apartemen untuk selingkuhan. Terlalu sakral untuk diselewengkan demi cinta yang kehilangan moralitas. Dan terlalu penting untuk diserahkan pada mereka yang tak mampu membedakan antara kuasa sebagai amanah dan kuasa sebagai fasilitas pribadi semata.

*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Makassar.

Facebook Comments Box