Beranda Mimbar Ide Restorative Justice; Solusi atau Ilusi?

Restorative Justice; Solusi atau Ilusi?

0
Rian Suheri Akbar

Oleh : Rian Suheri Akbar, S. H. 

(Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama Bapas Kelas II Palopo  Kementrian Imigrasi Dan Pemasyarakatan Ditjenpas Sulsel)

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana restorative justice (keadilan restoratif) mulai menggema di ruang-ruang peradilan Indonesia. Tujuannya terdengar mulia: menyelesaikan konflik hukum dengan pendekatan yang memulihkan, bukan sekadar menghukum. Namun, seperti banyak kebijakan “revolusioner” lainnya, implementasi di lapangan tak selalu seindah teori. Pertanyaannya: apakah restorative justice benar-benar menjadi solusi, atau justru menyimpan ilusi keadilan?

Keadilan yang Memulihkan

Secara konseptual, restorative justice bukan hal baru. Akar praktik ini sudah ditemukan dalam sistem hukum adat berbagai suku di Indonesia—seperti musyawarah kampung dalam masyarakat Papua atau rembuk desa di Jawa. Intinya, konflik diselesaikan melalui dialog terbuka antara pelaku, korban, dan masyarakat, dengan tujuan utama memulihkan kerugian, memperbaiki hubungan, dan mencegah konflik berulang.

Restorative justice kemudian diadopsi ke dalam sistem hukum positif, terutama melalui Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2021. Kepolisian, kejaksaan, dan bahkan Mahkamah Agung mulai membuka ruang penyelesaian perkara pidana ringan melalui mediasi penal.

Praktik di Lapangan: Pisau Bermata Dua

Meski terlihat menjanjikan, implementasi restorative justice ternyata tidak selalu ideal. Ada sejumlah catatan kritis yang perlu dikedepankan:

1. Penerapan Serampangan

Beberapa kasus serius—seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, bahkan penganiayaan berat—dipaksakan masuk ke jalur restorative. Padahal, dalam banyak kasus ini, posisi pelaku dan korban sangat timpang. Korban sering kali ditekan untuk “memaafkan” demi kepentingan sosial atau tekanan institusional.

2. Ketimpangan Kuasa

Dalam masyarakat patriarkal atau komunitas kecil, relasi kuasa sering kali tidak seimbang. Korban bisa merasa terpaksa berdamai karena takut akan stigma sosial atau intervensi keluarga. Dalam konteks seperti ini, restorative justice justru memperkuat impunitas.

3. Alasan Efisiensi

Tidak dapat dipungkiri bahwa restorative justice sering dijadikan “jalan pintas” untuk mengurangi beban penanganan kasus oleh aparat penegak hukum. Pendekatan ini rawan disalahgunakan jika hanya dijadikan instrumen efisiensi sistem peradilan, bukan untuk mewujudkan keadilan yang sejati.

4. Minimnya Mekanisme Pengawasan

Belum ada standar prosedur baku dan mekanisme evaluasi yang kuat untuk memastikan proses restorative berlangsung adil dan transparan. Akibatnya, potensi manipulasi proses sangat besar.

Menuju Restorative Justice yang Berkualitas

Meskipun memiliki banyak tantangan, bukan berarti pendekatan ini harus ditolak mentah-mentah. Restorative justice tetap relevan, terutama dalam konteks overkapasitas lembaga pemasyarakatan, penanganan perkara anak, atau konflik horizontal.

Namun, penerapannya harus dibatasi pada kasus-kasus tertentu, dilakukan secara sukarela, dan melibatkan fasilitator netral yang terlatih. Korban harus dilindungi dan diberikan pilihan—bukan dipaksa masuk ke proses mediasi yang justru melukai kembali.

Pemerintah perlu menyiapkan kerangka regulasi yang lebih ketat, membangun sistem monitoring, serta mengedukasi masyarakat soal batas dan potensi restorative justice. Tanpa itu semua, pendekatan ini akan gagal memberikan rasa keadilan yang sesungguhnya.

Restorative justice adalah ide besar yang membawa harapan, tetapi juga menyimpan risiko. Ia bisa menjadi solusi jika dijalankan dengan benar, adil, dan transparan. Namun, ia juga bisa menjadi ilusi jika dipraktikkan secara serampangan tanpa perlindungan bagi korban dan pengawasan yang ketat. Maka, kita perlu terus mengawasi dan mengkritisi praktiknya—karena keadilan tidak boleh hanya menjadi slogan, tapi harus terasa nyata bagi setiap warga negara.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT