Oleh: Mohammad Dzaky Dzaidan
Di tengah bentang alam perbukitan terjal dan lembah sempit di Desa Wanua Waru, Kecamatan Mallawa, sebuah perjalanan menembus waktu baru saja dimulai. Pada Kamis, 10 Juli 2025, lima mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan Angkatan XIII dari berbagai Universitas di Indonesia memulai ekspedisi sejauh 700 meter ke jantung Leang Panning, gua prasejarah yang menyimpan salah satu kunci terpenting peradaban manusia di Asia Tenggara.
Dipandu oleh Ketua Kelompok Sadar Wisata, Ketua Dusun, dan perangkat desa setempat, penjelajahan ini bukan sekadar petualangan biasa. Ini adalah sebuah upaya untuk membaca kembali narasi yang tersimpan di dinding-dinding sunyi gua, sebuah narasi yang telah menarik perhatian dunia Leang Panning menjadi sorotan global berkat penemuan fenomenal kerangka manusia purba yang dijuluki “Besse”. Nama ini, sebuah panggilan akrab untuk perempuan dalam suku Bugis, memberikan sentuhan lokal pada temuan yang berimplikasi mendunia. Ditemukan pada tahun 2015 dalam posisi tertekuk menandakan praktik penguburan yang disengaja. Besse diperkirakan adalah seorang perempuan muda berusia 17-18 tahun yang hidup sekitar 7.200 tahun lalu pada periode Holosen.
Signifikansi penemuan ini, yang merupakan hasil kolaborasi riset antara Griffith University Australia, Universitas Hasanuddin, dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, terletak pada DNA-nya. Keberhasilan mengekstraksi DNA dari kerangka Besse menjadi tonggak sejarah, menjadikannya DNA manusia purba tertua yang pernah ditemukan di Wallacea, kawasan biogeografis yang mencakup Sulawesi.
Temuan ini memberikan wawasan tak ternilai mengenai garis keturunan manusia purba yang unik dan belum pernah tercatat sebelumnya. Meskipun Leang Panning sendiri belum terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, keberadaannya tak terpisahkan dari Kawasan Karst Maros-Pangkep yang lebih luas, yang saat ini telah masuk dalam daftar tentatif (Tentative List) UNESCO. Pengakuan ini menegaskan pentingnya Leang Panning sebagai bagian dari mosaik warisan alam dan budaya dunia yang harus dilindungi.
Di tingkat lokal, Pemerintah Kabupaten Maros telah menetapkannya sebagai cagar budaya melalui SK Bupati pada 25 Juli 2019, memberikan landasan hukum yang kuat untuk pelestarian dan pengembangannya. Bagi para mahasiswa KKN, memasuki Leang Panning adalah sebuah pelajaran langsung tentang sejarah, ekologi, dan kegigihan komunitas. Setelah pemeriksaan kesiapan fisik dan peralatan, tim memasuki ruang utama gua, tempat situs Besse ditemukan.
Stalagmit yang menjulang menjadi saksi bisu, sementara di langit-langit gua, lima spesies kelelawar, termasuk Rousettus amplexicaudatus dan Rhinolophus cf. Euryotis hidup dalam kegelapan. Penemuan jejak ular, burung, dan serangga gua yang belum teridentifikasi membuka peluang riset baru untuk memperkaya khazanah ekologi Nusantara.
Medan penjelajahan semakin menantang saat tim bergerak lebih dalam. Lorong-lorong gelap dan aliran sungai bawah tanah yang ketinggian airnya terkadang melebihi tinggi orang dewasa harus mereka lalui. Namun, berkat bimbingan cermat dari para pemandu lokal, ekspedisi berjalan dengan aman dan lancar.
Kisah Leang Panning tidak hanya tertulis dalam lapisan sedimennya, tetapi juga dalam ingatan kolektif warganya. Menurut penuturan tokoh masyarakat, sebelum dikenal dunia sebagai situs arkeologi, gua ini pernah menjadi tempat persembunyian pada masa pemberontakan DI/TII, bahkan sempat beralih fungsi menjadi pasar dan arena sabung ayam. Sejarah modernnya pun tak luput dari tantangan, termasuk vandalisme yang mulai muncul sejak tahun 1980-an.
Menurut Abdul, seorang tokoh masyarakat, Kini warga Desa Wanua Waru bertekad menulis babak baru. “Lima tahun lalu, Leang Panning ini hanyalah gua biasa. Namun dengan adanya rekognisi dari dunia dan usaha hebat warganya, tempat ini bisa menjadi seperti sekarangm Visi ini didukung oleh generasi muda dan para pegiat wisata. “Leang Panning diharapkan menjadi kunci pengembangan Desa Petualang dan Desa Wisata, yang tentunya dapat mengubah lanskap sosial ekonomi warga.
Kehadiran mahasiswa KKN menjadi jembatan antara potensi lokal dengan visi global tersebut. Program ini bukan sekadar pengabdian, melainkan bentuk nyata kontribusi generasi muda dalam hilirisasi ilmu pengetahuan dan implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di tingkat akar rumput. Eksplorasi ini menyentuh SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) dengan menjadikan gua sebagai laboratorium alam, serta SDG 11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan) dan SDG 15 (Ekosistem Darat) melalui promosi ekowisata berbasis masyarakat.
Upaya ini selaras dengan semangat Asta Cita, khususnya dalam pilar pembangunan sumber daya manusia unggul dan pelestarian budaya sebagai fondasi pembangunan bangsa. “Situs ini mempunyai potensi besar, bukan saja sebagai situs budaya, tetapi juga sebagai medan interdisipliner untuk membangun bangsa.
Leang Panning bukanlah sekadar ruang gelap dan dingin. Ia adalah arsip bumi yang hidup, menyimpan memori masa lalu yang kini dibaca kembali oleh generasi baru. Kolaborasi antara mahasiswa, peneliti, pemerintah, dan masyarakat lokal adalah energi yang akan memastikan gua ini tetap hidup bukan sebagai fosil, melainkan sebagai ruang belajar dan sumber kehidupan untuk masa dean yang berkelanjutan. (**)
*) Penulis adalah Mahasiswa KKN Kebangsaan