Beranda Mimbar Ide Mengurai Benang Kusut Konflik Kepentingan ASN; Studi Kasus Widyaiswara dan Pengembang Teknologi...

Mengurai Benang Kusut Konflik Kepentingan ASN; Studi Kasus Widyaiswara dan Pengembang Teknologi Pendidikan

0
ilustrasi

Oleh : Usman Tamrin

(Widyaiswara Ahli Pertama, Pusjar SKMP) 

Di era digital ini, Aparatur Sipil Negara (ASN) dituntut untuk terus berinovasi dan meningkatkan kompetensinya. Dalam konteks pelatihan dan pengembangan, dua unit penting seringkali bersentuhan: Widyaiswara (unit pelatihan dan pengajaran) dan Unit Pengembang Teknologi Pendidikan (PTP). Idealnya, kedua unit ini bekerja harmonis, namun kenyataannya, potensi konflik kepentingan seringkali muncul, menghambat inovasi dan efisiensi birokrasi. Mengapa ini terjadi, dan bagaimana solusinya?

Akar Masalah: Ketidakjelasan Peran

Konflik antara Widyaiswara dan PTP bukanlah sekadar gesekan personal, melainkan cerminan dari sistem yang belum sepenuhnya terintegrasi. Salah satu penyebab utamanya adalah ketiadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang rinci mengenai pembagian tugas dalam pengembangan pembelajaran digital. Widyaiswara fokus pada konten dan pedagogi, sementara PTP berfokus pada platform dan infrastruktur. Tanpa panduan jelas, seringkali terjadi duplikasi upaya atau bahkan kesenjangan tanggung jawab dalam siklus desain pembelajaran digital. Siapa yang bertanggung jawab memastikan materi relevan saat dikonversi ke format digital? Siapa yang menjamin platform mudah digunakan oleh Widyaiswara? Ketidakjelasan ini menciptakan “wilayah abu-abu” yang memicu ketegangan.

Selain itu, ego sektoral juga berperan. Masing-masing unit merasa paling vital, berjuang untuk mendapatkan anggaran dan sumber daya yang terbatas. Kurangnya pemahaman tentang peran masing-masing dan kompetensi kolaborasi yang minim memperparah situasi. Akibatnya, alih-alih bersinergi, mereka malah bersaing.

Lemahnya Pengawasan dan Integrasi

Permasalahan semakin kompleks dengan lemahnya aspek pengawasan. Minimnya audit etik terkait potensi peran ganda atau dominasi proses menjadi celah besar. Misalnya, jika seorang Widyaiswara terlibat dalam penentuan spesifikasi teknologi, kemudian teknologi yang dipilih secara tidak langsung menguntungkan pihak tertentu, tanpa audit, konflik kepentingan ini luput dari deteksi.

Ditambah lagi, minimnya forum evaluasi bersama antara Widyaiswara dan PTP dalam satu proyek. Evaluasi yang terpisah membuat permasalahan tidak teridentifikasi sejak dini, menghambat perbaikan berkelanjutan, dan mengurangi akuntabilitas. Indikator kinerja yang tidak selaras juga membuat masing-masing unit bekerja sendiri-sendiri, bukannya mendukung tujuan bersama.

Dari sisi teknologi, kurangnya integrasi sistem dan kompatibilitas platform yang rendah seringkali menjadi hambatan teknis. Materi yang dibuat Widyaiswara tidak bisa langsung “nyambung” dengan platform PTP, menciptakan pekerjaan ganda dan memicu frustrasi. Keterbatasan anggaran dan infrastruktur juga memperburuk kondisi, memicu perebutan sumber daya yang ada.

Dampak Buruk bagi ASN dan Organisasi

Konflik kepentingan ini tidak hanya merugikan Widyaiswara dan PTP, tetapi juga berdampak langsung pada kualitas pelatihan ASN. Materi menjadi kurang relevan, metode pengajaran tidak optimal, dan inovasi terhambat. Ujung-ujungnya, terjadi inefisiensi dan pemborosan sumber daya karena proyek yang mangkrak atau hasil yang kurang maksimal. ASN sendiri bisa mengalami demotivasi dan ketidakpuasan kerja, yang pada gilirannya dapat merusak citra organisasi dan menghambat pencapaian tujuan strategis nasional dalam pengembangan kompetensi.

Menuju Solusi Kolaboratif: Membangun Jembatan dan Sistem Kontrol

Untuk mengatasi konflik kepentingan ini, pendekatan holistik sangat dibutuhkan:

  1. Perkuat Metode dan Proses: Susun SOP kolaborasi yang jelas untuk setiap tahap pengembangan pembelajaran digital. Tetapkan tanggung jawab yang tegas di setiap tahapan siklus desain. Ini akan menghilangkan ambiguitas dan mendorong efisiensi.
  2. Tingkatkan Kapasitas dan Kolaborasi SDM: Selenggarakan pelatihan bersama bagi Widyaiswara dan PTP mengenai pedagogi digital dan literasi teknologi. Bentuk tim lintas fungsi untuk proyek-proyek tertentu guna mendorong kerja sama langsung dan memecah ego sektoral.
  3. Integrasi Pengawasan dan Evaluasi: Terapkan audit etik berkala untuk mengidentifikasi potensi konflik kepentingan sejak dini. Bentuk forum evaluasi proyek rutin yang melibatkan kedua belah pihak untuk berbagi umpan balik, menyelesaikan masalah, dan meningkatkan akuntabilitas. Integrasikan Indikator Kinerja Utama (KPI) kedua unit agar selaras dengan tujuan kolaboratif.
  4. Optimalkan Teknologi dan Sumber Daya: Prioritaskan integrasi sistem teknologi dan standarisasi platform. Lakukan perencanaan anggaran yang transparan dan alokasikan sumber daya secara adil berdasarkan prioritas bersama.
  5. Ciptakan Budaya Kolaboratif: Pimpinan harus secara aktif mempromosikan budaya kerja yang kooperatif dan mendukung inovasi. Tinjau kembali kebijakan organisasi agar lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan mendorong kolaborasi lintas unit.

Mengelola konflik kepentingan ASN adalah kunci untuk menciptakan birokrasi yang adaptif, efisien, dan inovatif. Dengan langkah-langkah proaktif dalam menyelaraskan proses, sumber daya, pengawasan, dan budaya, Widyaiswara dan Unit Pengembang Teknologi Pendidikan dapat menjadi motor penggerak transformasi pembelajaran ASN di Indonesia.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT