Oleh : Nur Khasanah Latief
(Analis Kebijakan pada Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan LAN RI)
Setiap bulan Agustus, suasana kampung di seluruh penjuru negeri berubah jadi panggung gembira. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut, gapura dihias dengan cat mencolok, dan suara musik dangdut, pop, sampai remix tiktok bersahut-sahutan dari pengeras suara pos ronda. Warga berbondong-bondong memenuhi jalan, ikut lomba atau sekadar menonton.
Lomba gerak jalan dimulai dari lapangan desa, peserta dengan seragam warna-warni berjalan tegap sambil bercanda di sepanjang rute. Karnaval pun tak kalah meriah: anak-anak berkostum pahlawan nasional, ibu-ibu mengenakan kebaya, remaja membawa replika senjata bambu runcing, sementara beberapa kelompok tampil dalam dandanan yang lebih nyentrik, termasuk yang memerankan “waria” lengkap dengan kebaya ketat, make-up tebal, dan tawa menggelegar. Di malam hari, pawai lampion menjadi penutup yang syahdu, meski di sela arak-arakan, ada juga rombongan “peserta hiburan” yang memparodikan gerak tubuh dan gaya bicara waria.
Suasana memang seru. Tawa penonton pecah setiap kali ada “waria dadakan” tersandung hak tinggi atau melambaikan tangan dengan gaya kemayu. Tetapi di balik riuh itu, ada pertanyaan yang jarang kita tanyakan “kenapa kita tertawa? Apakah ini tawa yang sehat, atau ada bias dan stereotip yang sedang kita pelihara tanpa sadar?”.
Secara hukum, Indonesia hanya mengenal dua kategori jenis kelamin dalam administrasi kependudukan; laki-laki dan perempuan. Waria yaitu istilah populer untuk menyebut individu yang secara biologis laki-laki namun mengekspresikan diri sebagai Perempuan, tidak diakui dalam kategori resmi negara. Namun, di ruang sosial, waria nyata hadir. Mereka bekerja, bergaul, bahkan menjadi bagian dari tradisi hiburan lokal. Lomba 17 Agustus adalah salah satu panggung tahunan di mana kehadiran mereka atau tepatnya, representasi mereka muncul. Uniknya, sering kali yang tampil bukan waria asli, melainkan laki-laki heteroseksual yang berdandan ala waria untuk “menghibur” penonton. Kontradiksi ini menarik: secara formal, negara “tidak mengakui” identitas tersebut, tapi di level budaya, mereka menjadi bahan tontonan publik. Permasalahannya kemudian, kehadiran itu bukan dalam konteks edukasi atau penghormatan, melainkan sebagai bahan kelucuan, parodi, bahkan ejekan terselubung.
Di mata sebagian orang, lomba gerak jalan dengan peserta bergaya waria atau karnaval dengan rombongan “waria dadakan” hanyalah bagian dari “seru-seruan” khas kampung. Tapi mari kita tengok dari kacamata anak-anak. Psikologi perkembangan anak menyebutkan bahwa perilaku dan peran yang ditonton secara berulang, apalagi dalam suasana menyenangkan, cenderung direkam dalam ingatan sebagai sesuatu yang wajar atau layak ditiru. Anak-anak mungkin tidak mengerti kompleksitas identitas gender, tapi mereka melihat: “Oh, kalau mau lucu, tiru gaya ini. Kalau mau jadi pusat perhatian, bergaya seperti itu.” Lalu, di sinilah letak risikonya. Kita tanpa sadar mengajarkan bahwa identitas tertentu yang dalam hal ini ekspresi gender yang berbeda adalah bahan untuk ditertawakan. Lebih jauh lagi, kita membiasakan anak melihat perbedaan bukan untuk dihormati, tapi untuk dijadikan lelucon.
Pendukung pertunjukan semacam ini sering berkata: “Ini sudah tradisi, bagian dari kearifan lokal.” Memang, budaya rakyat selalu punya sisi humor, dari lawakan ketoprak hingga parodi wayang. Tetapi perbedaan besar terletak pada: apakah kita menertawakan situasi, atau menertawakan identitas seseorang? Menertawakan situasi bisa mempersatukan, seperti lomba balap karung yang bikin semua peserta jatuh bangun. Tapi menertawakan identitas, apalagi yang masih rentan secara sosial, berisiko memelihara stigma. Dalam konteks lomba 17-an, panitia sering tidak memikirkan pesan yang terkandung di balik hiburan itu. Padahal, kemerdekaan yang kita rayakan seharusnya juga berarti merdeka dari perilaku yang mengobjektifikasi atau mengejek kelompok tertentu.
Merawat akal sehat bukan berarti menjadi kaku, tidak boleh tertawa, atau menghilangkan seluruh bentuk humor. Justru, ini soal menimbang: apakah hiburan kita membangun atau meruntuhkan nilai kebersamaan? Apakah tawa yang kita ciptakan mendorong empati atau malah menanamkan ejekan?
Mungkin saatnya lomba 17-an diarahkan untuk lebih kreatif tanpa mengorbankan martabat siapa pun. Gerak jalan bisa tetap meriah dengan kostum unik hasil kreasi warga, karnaval bisa mengangkat tema sejarah atau lingkungan, pawai lampion bisa disulap jadi ajang seni rupa jalanan. Panitia bisa membuat kategori “humor” yang menertawakan situasi, bukan identitas. Sehingga, kita tetap punya hiburan, tapi tidak meninggalkan PR sosial untuk generasi berikutnya.
Kemerdekaan adalah soal memerdekakan pikiran dari cara pandang lama yang tidak relevan lagi. Jika di masa lalu kita terbiasa menjadikan identitas tertentu sebagai bahan tawa, di masa kini kita punya kesempatan untuk mengubahnya. Tawa kita hari ini jangan sampai menjadi kebingungan anak-anak kita esok hari. Di tengah euforia 17 Agustus, mari kita rayakan dengan riang tapi dengan kepala dingin dan hati yang peka. Sebab merawat akal sehat adalah bagian dari menjaga kemerdekaan itu sendiri.







































