Beranda Fajlurrahman Jurdi Benarkah Kita Merdeka? 

Benarkah Kita Merdeka? 

0

Oleh: Fajlurrahman Jurdi*

Gegap gempita suara pekikan, nyanyian dan teriakan riuh diseluruh pelosok negeri. Ucapan tak henti, bahagia tak terhingga, serta pancang bendera berkibar dimana-mana. Kita telah menang, kita telah merdeka, dan kita sedang menuju Negara maju.

Kolonialisme benar hengkang, penjajahan betul pergi, para penjajah tak pernah kembali. Sudah delapan puluh tahun kita hidup dalam suasana berlalunya penjajahan itu. Pemerintahan berdiri kokoh, demokrasi terus dikumandangkan, kebebasan tak henti di dendangkan. Rakyat riuh dalam harapan-harapan, juga janji kemerdekaan yang sebagian ditunaikan, sebagiannya lagi penuh dengan penantian.

Upacara diselenggarakan, hormat bendera dilakukan diseluruh pelosok negeri, kegiatan menyemarakkan kemerdekaan tak pernah sepi dari kreatifitas. Inilah hikmah penjajahan, tiap satu tahun sekali rakyat bahagia merayakan ulang tahun kemerdekaan, dan sisanya kadang penuh penderitaan, kekerasan, frustasi dan kegagalan. Tak jauh dengan zaman penjajahan, sebab kemiskinan kian bergelimpangan, kekerasan fisik dan verbal kian tak terkendali, “perbudakan” modern tak bisa dikontrol.

Penjajahan membawa beban ketidakadilan, ketidaksetaraan dan superioritas. Si penjajah dan si terjajah terbelah dalam kutub yang dikelilingi dinding megah nan-tinggi. Tak bisa dijangkau. Tak bisa ditembus. Dan tak bisa dipahami. Jurang pemisah keduanya sungguh rumit untuk dirumuskan dan dinalar. Dehumanisasi berjalan tanpa pamit, kekerasan melebar ke dalam titik nadir tak terhingga. Inilah beban masa lalu yang rumit, berliku dan tak bisa dijawab secara tuntas dan proporsional.

Pasca kolonialisme hengkang, watak si penjajah itu diwariskan begitu saja tanpa reserve. Sikap tuna-kuasa si penjajah tertanam tanpa pamrih di kepala sebagian anak bangsa ini. Sikap tuna kuasa dari penjajah diterima tanpa dipilah dengan cermat. Ambisi dan tamak tak bisa dikendalikan. Rasa berkuasa yang begitu tinggi dan keangkuhan yang tak terdefinisikan merasuk terlalu jauh ke dalam diri sebagian anak bangsa ini. Mereka lupa, bahwa mereka lahir di tanah penderitaan, tanah perlawanan dan tanah penuh harapan.

Pasca kolonialsme, anak kandung republik seolah berjarak dengan tradisi dan watak bangsa ini. Mereka yang semula dan seharusnya menjadi entitas yang menjaga dan menolak watak kolonial, justru berganti baju menjadi “penjajah baru”. Jika dulu si penjajah merampas kekayaan alam, mereka, para penjajah baru, yang dilahirkan dan dibesarkan oleh republik ini, menjarah lebih brutal, lebih menakutkan dan lebih menghancurkan dibanding sang penjajah dulu. Mereka menghancurkan gunung-gunung demi tambang, menciptakan banjir dan tanah longsor dimana-mana, memproduksi kemarau ekstrem karena pohon digergaji tanpa ampun dalam jarak sejauh mata memandang, dan menebarkan racun limbah disegala sudut.

Tuna kuasa kian menebal, kejahatan kian merebak, korupsi makin merusak. Dekonstruksi telah menjadi titik kulminasinya. Krisis kemanusiaan telah menjadi dosa kolektif, sebab perlawanan makin menipis. Jika di zaman penjajahan perlawanan itu mengalami massifikasi, karena musuh yang dihadapi datang dari entitas yang jelas, terlihat dan tampak dipelupuk mata. Pasca kolonialisme, batas antara musuh dan kawan menjadi kabur, sebab, para perusak dan pelaku kejahatan yang membajak republik, bisa jadi adalah teman diskusi kita.

Tak ada senjata, tak tampak rencana, tak terlihat secara kasat mata. Tapi daya “ledak” dan “potensi kehancurannya” menakutkan. Republik dikendalikan oleh tangan-tangan yang di kepalanya berwatak kolonial, mereka kadang bisa bersikap fasis. Makin kuat daya hancur perbuatan yang mereka lakukan, makin tersembunyi dan tak kelihatan subyeknya. Ini semacam “hantu” politik, hantu kebijakan, dan hantu hukum yang mengendalikan entitas itu untuk kepentingan dan ambisinya.

Jika kaum kolonial kebal hukum di masa lalu, kini lebih banyak dan tersebar dimana-mana mereka yang “kebal hukum”. Makin besar kekuasaannya, makin banyak uangnya, makin luas jaringan dan dominasinya, maka makin tumpul hukum untuknya. Sementara bagi rakyat biasa, hukum bekerja dan berlari kencang, menjemput dan menindas, menangkap dan memaksa, lalu diseret ke kursi pengadilan untuk segera dihukum. Seolah-olah, hukum sudah ditegakkan dengan menjatuhkan vonis kepada mereka yang hanya urusannya kecil, remeh-temeh. Karena tak punya uang, kekuasaan dan kolega penegak hukum. Betapa banyak orang di kriminalisasi, betapa sering orang dijadikan tersangka tanpa sebab yang jelas, bahkan, mereka yang punya uang, tetapi bermusuhan dengan kekuasaan, diseret ke diruang pengadilan, lalu diadili dengan cara seperti kaum kolonial mengadili pribumi.

Bangsa ini tidak sepenuhnya merdeka. Republik ini masih dicabik-cabik disegala sisi dan sudut oleh anak yang ia lahirkan. Demokrasi di cincang dan di iris-iris oleh mereka yang pegang kendali kekuasaan. Dominasi kuasa atas rakyat masih menjadi cerita horror di republik ini. Rakyat dijajah tanpa permisi oleh penguasanya. Sementara hukum dibajak dan dimanipulasi untuk kepentingan mereka. Perilaku ini, persis seperti era kolonial. Karena itu, kita ini, sejatinya, makin modern makin terjajah. Wallahu alam bishowab. (**)

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT