Oleh: Muh. Chairul Sahar*
Tahun akademik 2025 telah dimulai dan kembali menjadi babak baru bagi perguruan tinggi di berbagai Indonesia. Semua kampus kembali riuh dengan kehadiran ribuan mahasiswa baru yang memadati proses pengenalan lingkungan kampus. Misalnya saja di Universitas Hasanuddin yang menerima 10.418 mahasiswa baru angkatan 2025, jumlah yang sangat besar dan tidak hanya mencerminkan besarnya daya tarik kampus merah, tetapi juga besarnya energi sosial dan intelektual yang memasuki ruang akademik.
Situasi yang penuh riuh ini menyuguhkan sebuah optimisme dimana mahasiswa baru diharapkan membawa semangat akademik, ide-ide segar, dan kemauan untuk berkontribusi pada dinamika kampus dan masyarakat. Kedatangan mahasiswa baru yang berasal dari berbagai latar belakang. Banyak yang dari desa hingga kota metropolitan, dari berbagai suku dan budaya yang plural dan memiliki bekal pengalaman yang berbeda-beda. Keberagaman ini berpotensi untuk menjadi sumber pembaruan yang signifikan di dalam dunia akademik.
Dibalik optimisme ini muncul juga pertanyaan yang penting namun kadang luput dari perbincangan yaitu, Apakah gelombang besar ini akan benar-benar membawa perubahan baru untuk kampus yang menjadi lebih terbuka, kritis, dan adaptif? Ataukah justru mereka akan kembali larut juga dalam tradisi-tradisi lama dan mengikuti alur yang sudah disiapkan tanpa banyak pertanyaan? Hal ini penting untuk dicermati, karena menelisik sejarah yang ada, jumlah yang besar tidak selalu berarti membawa transformasi yang kuat, terlebih jika tidak disertai ruang untuk berpikir mandiri dan berinteraksi secara setara dengan kondisi yang ada.
Membongkar Mitos “Kertas Kosong”
Dalam banyak situasi seringkali mahasiswa baru dipandang sebagai “Kertas Kosong” yang siap diisi dengan sesuatu yang dianggap sebagi nilai, norma, dan tradisi yang berlaku. Maba seringkali dianggap sebagai individu yang beru terlahir di dunia kampus, pandangan ini sering dianggap wajar pada pandangan pertama, namun mengandung masalah yang cukup mendasar. Meminjam gagasan filsuf prancis abad-20, Jaques Derrida yaitu gagasan dekonstruksi. Derrida mengajak kita untuk membongkar asumsi-asumsi yang terlanjur diterima begitu saja, bahwa makna tidak bersifat absolut atau tetap namun selalu bergerak. Gagasan ini awalnya dikembangkan dalam konteks bahasa dan sastra, namun kemudian berkembang juga untuk membaca realitas sosial. Salah satunya adalah dalam memahami pandangan tentang identitas mahasiswa baru.
Dekonstruksi menolak cara berpikir oposisi biner yang bersifat kaku seperti, baru–lama, kosong–terisi, atau pintar–bodoh. Oposisi biner semacam ini yang seringkali melahirkan relasi hierarkis, dimana mengkondisikan mahasiswa baru berada pada posisi di bawah tradisi lama, tanpa ruang untuk mempertahankan atau mengembangkan identitasnya. Namun sejatinya setiap mahasiswa baru adalah “teks” penuh makna yang terbentuk dari pengalaman hidup, nilai-nilai keluarga, interaksi sosial, dan lingkungan budaya yang menjadi tempa bertumbuhnya.
ketika mengabaikan kondisi ini maka sama saja menghapus potensi intelektual yang telah dibawa dari perjalanan hidupnya. Keberagaman latar belakang, pola pikir, dan cara pandang semestinya menjadi modal yang justru dapat memperkaya kampus. Keberagaman ini dapan menjadi stimulus untuk inovasi akademik, sosial, dan budaya baru di lingkungan kampus. potensi ini jika dikekang dan diabaikan justru akan melahirkan keseragaman semu yang terlihat rapi di atas permukaan, namun rapuh dalam substansi.
Mahasiswa baru bukan hadir hanya sebagai penerima pengetahuan, namun juga membawa makna baru yang dapat mengubah cara pandang atau bahkan arah perkembangan kampus. Sehingga penting untuk melihat hal ini secara holistik sebagai langkah awal untuk membangun kehidupan kampus yang benar-benar terbuka.
Dari Pertemuan Menuju Pembaruan
Dengan dekonstruksi kita mencoba untuk membongkar asumsi lama. Namun hal ini tidak cukup, kita juga mesti untuk membangun sesuatu yang baru dari hasil pembongkaran tersebut. memakai kacamata dialektika progresif, mahasiswa baru dapat dipandang sebagai tesis yang membawa ide, nilai, dan pengalaman segar. kemudian tradisi kampus yang telah ada berperan sebagai antitesis yang merepresentasikan pengetahuan, nilai, dan sistem yang sudah ada.
Pertemuan antara tesis dan antitesis ini semestinya akan melahirkan sintesis yaitu budaya kampus yang bersifat baru, dimana memadukan kekuatan tradisi yang ada dengan spirit pembaruan. Sintesis baru inilah yang akan menjadikan kampus terus relevan di tengah perubahan sosial, politik, dan masyarakat yang begitu cepat.
Pembentukan sintesis ini tidak terjadi begitu saja tetapi membutuhkan ruang dialog, keterbukaan, dan keberanian dari berbagai pihak. Mahasiswa baru harus mesti memiliki keberanian dalam menyuarakan pandangan, mengajukan pertanyaan, dan menawarkan alternatif. Sementara di lain sisi masyarakat kampus juga harus mau mendengar, menimbang, atau bahkan menyesuaikan tradisi yang telah ada ada. dalam dialektika progresif ditekankan proses yang kemudian saling membentuk dari segala arah bukanlah proses satu arah yang justru salah satu pihak sepenuhnya mengalah.
Gelombang mahasiswa baru ini mesti disambut untuk menjadi motor pembaruan yang besar. Dengan keberagaman latar belakang yang dimiliki dan jumlah yang besar, maka sangat berpotensi untuk menjadi katalisator untuk transformasi kampus, bukan hanya dalam aspek akademik, tetapi juga dalam membangun budaya kampus yang lebih kolaboratif dan setara. Sehingga sangat penting untuk memastikan bahwa pertemuan antara identitas baru dan yang lama dapat dikelola agar tidak saling mematikan perbedaan namun justru melahirkan sintesis yang baru.
*) Penulis adalah Ketua umum IMM Fakultas Teknik Unhas







































