Beranda Mimbar Ide Jalanan Sebagai Ruang Politik

Jalanan Sebagai Ruang Politik

0
Asratillah (Direktur Profetik Institute)

Oleh : Asratillah

(Direktur Profetik Institute)

Jalanan yang Membara

Akhir Agustus 2025 mencatat salah satu gelombang demonstrasi terbesar pasca-reformasi. Dari depan Gedung DPR di Jakarta, hingga alun-alun kota di Jawa Tengah, jalan protokol di Surabaya, sampai persimpangan besar di Makassar, massa tumpah ruah. Orator dengan pengeras suara memekikkan kalimat yang sederhana namun penuh resonansi emosional, “Hidup rakyat Indonesia!” Teriakan itu dijawab serempak ribuan suara yang mendidih karena kekecewaan politik, naiknya harga kebutuhan pokok, hingga distrust yang makin dalam terhadap elite.

Di Jakarta, pagar berduri dan kawat beton dipasang mengelilingi kompleks DPR. Namun ribuan mahasiswa, buruh, aktivis lingkungan, dan kelompok masyarakat sipil lain terus mendorong maju, menantang simbol kekuasaan yang dianggap tuli terhadap jeritan publik. Di Surabaya, arus massa sempat melumpuhkan jalur transportasi utama, spanduk bertuliskan “Negara Milik Rakyat, Bukan Oligarki” berkibar di udara panas. Sementara itu, di Makassar, situasi berkembang lebih tragis. Gedung DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi ludes dibakar massa . Liputan media menyebutkan setidaknya empat korban jiwa jatuh akibat kebakaran tersebut, simbol paling telanjang dari betapa rapuhnya relasi antara negara dan warga ketika aspirasi terabaikan.

Tak hanya media nasional, dunia internasional pun menyoroti. BBC dan Kompas Global menyebut fenomena ini sebagai “puncak kekecewaan politik,” sinyal bahwa kesenjangan antara rakyat dan elite telah melebar sedemikian rupa hingga jalanan kembali menjadi “parlemen alternatif.” Di media sosial, tagar #RakyatBergerak dan #TurunKeJalan menduduki trending, mengaburkan sekat ruang digital dan fisik. Demonstrasi kemarin bukan hanya ledakan sesaat, melainkan mosaik kemarahan kolektif yang mengikat banyak kelompok berbeda dalam satu bingkai, rakyat yang menuntut didengar.

Politik Jalanan dan Luka Kolektif

Demonstrasi yang pecah di berbagai kota bukan sekadar pawai marah yang sesaat, melainkan sebuah peristiwa yang menggores kesadaran kolektif. Di beberapa titik, gas air mata, suara tembakan peringatan, dan bentrokan dengan aparat menjadi fragmen getir yang memperkuat ingatan akan sejarah panjang hubungan tegang antara rakyat dan negara. Peristiwa ini melahirkan bukan hanya “demo” dalam pengertian konvensional, tetapi sebuah panggung di mana warga mengartikulasikan rasa kecewa, harapan, dan penolakan mereka secara terbuka. Jalan raya berubah menjadi forum deliberatif darurat, sebuah “parlemen terbuka” di mana teriakan dan nyanyian menggantikan pidato resmi. Dari teriakan orator di depan Gedung DPR hingga pekikan massa yang tertangkap kamera di jalan-jalan Makassar, terlihat jelas bahwa politik jalanan bukan lagi sekadar ekspresi amarah spontan, tetapi sebuah mekanisme sosial untuk menyalurkan luka kolektif yang terakumulasi akibat kebijakan yang dirasa mengacuhkan rakyat.

Jika ditarik ke ranah teoritik, apa yang terlihat di jalanan dapat dijelaskan melalui perspektif teori identitas sosial (Henri Tajfel & John Turner). Individu yang turun ke jalan mengalami proses “penggabungan diri” ke dalam identitas kolektif yang lebih besar, yakni “rakyat yang tertindas” versus “negara yang lalai.” Identitas ini menciptakan solidaritas instan, di mana orang-orang yang sebelumnya asing dapat merasakan persaudaraan karena berbagi narasi penderitaan dan tujuan perjuangan. Dalam konteks ini, politik jalanan bukan hanya aksi protes, tetapi juga sebuah proses pembentukan “kami” yang berhadapan dengan “mereka.”

Selain itu, dari perspektif Frustration–Aggression Hypothesis (Dollard dkk., 1939; revisi Leonard Berkowitz, 1960-an), demonstrasi kemarin dapat dipahami sebagai kanal psikologis kolektif untuk menyalurkan frustrasi sosial. Teori ini berangkat dari asumsi sederhana namun tajam, frustrasi yang lahir dari hambatan pencapaian tujuan akan memunculkan kecenderungan agresi. Dalam konteks sosial-politik, tujuan yang dimaksud bisa berupa cita-cita kesejahteraan, keadilan, atau representasi politik yang layak. Ketika jalan menuju tujuan itu ditutup oleh kebijakan yang diskriminatif, aparat yang represif, atau elit politik yang abai, maka energi psikis yang tersumbat mencari jalannya sendiri—dan salah satu kanal yang paling kuat adalah aksi massa di ruang publik.

Berkowitz menyempurnakan tesis awal Dollard dengan menambahkan bahwa frustrasi tidak otomatis memicu agresi, melainkan menciptakan readiness to aggress yang kemudian dipicu oleh isyarat situasional. Dalam demonstrasi kemarin, isyarat itu hadir dalam berbagai bentuk: bentangan spanduk dengan tulisan “Rakyat Tidak Diam Lagi”, orasi-orasi yang menyinggung ketidakadilan, statement beberapa politisi yang bisa dikatakan serampangan, kebiasaan joget para elit pemerintahan, hingga tindakan represif aparat yang justru menyalakan bara amarah. Situasi jalanan yang penuh simbol perlawanan ini berfungsi sebagai “cue” kolektif yang mengaktifkan respons agresif, baik dalam bentuk teriakan, dorongan, pelemparan, hingga perlawanan fisik. Dengan demikian, kekerasan yang muncul dalam demonstrasi bukan sekadar “kerusuhan liar”, melainkan ekspresi psikologis yang terstruktur oleh frustrasi yang mendalam.

Lebih jauh, teori ini juga membantu kita memahami mengapa demonstrasi berskala besar sering kali lebih emosional ketimbang aksi kecil. Frustrasi individual yang tersebar dalam keseharian—mahasiswa yang kesulitan membayar kuliah, buruh yang merasa upahnya diperas, warga kota yang muak dengan korupsi, kepala rumah tangga yang biaya rumah tangganya semakin bengkak—mendapat saluran bersama di jalanan. Ketika ribuan orang berbagi frustrasi yang sama, terjadi proses emotional contagion (penularan emosi) yang memperkuat intensitas agresi. Inilah yang menjelaskan mengapa demonstrasi yang awalnya berjalan damai bisa dengan cepat berubah menjadi ledakan kolektif ketika dipicu oleh satu insiden represif.

Dengan demikian, Frustration–Aggression Hypothesis tidak sekadar memandang politik jalanan sebagai “chaos,” tetapi sebagai fenomena yang berakar pada dinamika psikologis yang sangat manusiawi. Demonstrasi menjadi katup sosial yang menyalurkan energi negatif dari frustrasi yang menumpuk, dan dalam kadar tertentu justru mencegah pecahnya kekerasan yang lebih besar di masa depan. Singkatnya, jalanan adalah ruang di mana frustrasi terkelola, meski kadang dengan biaya luka fisik dan simbolik yang berat.

Teori deprivasi relatif (Ted Robert Gurr, Why Men Rebel, 1970) semakin menajamkan analisis, orang tidak semata marah karena miskin atau tertindas, tetapi karena ada kesenjangan antara harapan mereka dan realitas yang mereka alami. Gurr menekankan bahwa potensi pemberontakan sosial muncul bukan dari penderitaan absolut, melainkan dari perbedaan tajam antara “value expectations” (apa yang diyakini seharusnya mereka peroleh) dan “value capabilities” (apa yang secara nyata mereka peroleh). Artinya, masyarakat yang merasa sudah bekerja keras, sudah membayar pajak, atau sudah berpartisipasi dalam proses politik, tetapi tidak melihat hasil yang sepadan, akan mengalami frustrasi kolektif yang lebih kuat daripada kelompok yang sejak awal tidak memiliki harapan sama sekali.

Dalam konteks demonstrasi kemarin, hal ini terlihat jelas. Banyak mahasiswa, buruh, hingga warga biasa, hadir di jalan bukan semata karena mereka lapar atau tidak punya uang untuk ongkos. Mereka marah karena janji kesejahteraan, janji demokrasi partisipatif, atau janji perlindungan hukum yang diberikan oleh negara tidak terwujud. Harapan besar yang pernah ditanamkan—entah lewat kampanye politik, janji reformasi, atau narasi pembangunan—bertabrakan dengan realitas sehari-hari yang penuh represi, korupsi, dan stagnasi. Kesenjangan antara ideal dan real inilah yang melahirkan “api moral” dalam gerakan massa.

Lebih jauh, teori Gurr juga menjelaskan bahwa intensitas kemarahan massa berbanding lurus dengan lebar dan dalamnya jurang deprivasi relatif. Semakin tinggi harapan yang dibentuk (misalnya melalui jargon pembangunan ekonomi atau janji meritokrasi), semakin besar pula rasa kecewa ketika realitas tidak menyamai ekspektasi tersebut. Dengan kata lain, negara modern sering secara tidak sadar menciptakan kondisi bagi ledakan sosial karena ia sendiri menanamkan imajinasi kolektif tentang masa depan yang lebih baik. Ketika imajinasi itu runtuh, kekecewaan berubah menjadi amarah yang tak lagi bisa ditahan.

Fenomena ini juga menjelaskan mengapa demonstrasi yang marak di berbagai kota tidak sekadar menuntut hal-hal material, tetapi juga sarat dengan tuntutan simbolik, seperti keadilan, transparansi, perlakuan bermartabat, bahkan sekadar hak untuk didengar. Tuntutan itu mencerminkan bahwa luka utama masyarakat bukan hanya pada isi perut, melainkan pada martabat yang diinjak dan janji politik yang dikhianati. Dalam bingkai deprivasi relatif, protes massa adalah jeritan kolektif yang berkata: “Kami sudah percaya, kami sudah menunggu, tapi kalian mengkhianati harapan kami.”

Dengan demikian, politik jalanan dapat dipahami sebagai ruang artikulasi luka kolektif yang berakar pada pengalaman ketidakadilan struktural, diperkuat oleh identitas sosial yang menyatukan massa, dan didorong oleh frustrasi serta deprivasi relatif yang menemukan momentumnya. Demonstrasi tidak lagi semata tindakan reaktif, melainkan proses pembentukan makna sosial-politik yang kompleks, di mana rakyat menegaskan eksistensi dan martabatnya di hadapan negara.

Pelajaran apa yang bisa diambil?

Frustrasi sosial yang meledak di jalanan kemarin—baik karena represi aparat, kekecewaan terhadap kebijakan, maupun jurang antara janji dan realitas—tidak berhenti sebagai luapan emosi semata. Dalam kacamata Boyte, justru di sanalah everyday politics bekerja, ketika orang biasa, mahasiswa, pekerja, ojol, hingga pedagang kaki lima menemukan ruang bersama untuk mengekspresikan kegelisahan mereka, frustrasi mulai diolah menjadi pengalaman belajar politik.

Menurut Boyte, politik bukan semata soal perebutan kekuasaan di gedung-gedung tinggi, melainkan proses partisipatif di mana rakyat belajar mengenali diri mereka sebagai aktor kolektif. Demonstrasi kemarin adalah contoh konkret: suara-suara yang terpinggirkan saling bertemu di jalan, berbagi kisah, lalu memproduksi solidaritas. Dari sinilah frustrasi berubah wajah menjadi harapan yang berakar pada pengalaman sehari-hari—harapan bahwa rakyat mampu berbicara, memengaruhi, bahkan mengoreksi jalannya negara.

Boyte juga menekankan dimensi pedagogis dari politik. Jalanan kemarin bisa dibaca sebagai kelas terbuka, spanduk, orasi, hingga musik protes bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga alat pendidikan politik. Ia mengajarkan kepada peserta dan penonton bahwa demokrasi hidup bukan hanya di bilik suara, melainkan juga di ruang publik tempat warga menegosiasikan hak dan martabatnya. Dalam konteks ini, demonstrasi bukan sekadar “ventilasi frustrasi”, melainkan sarana untuk meneguhkan identitas politik rakyat—sebuah kolektivitas yang menyadari kemampuannya mengubah keadaan.

Lebih jauh, Boyte menawarkan gagasan bahwa demokrasi hanya sehat bila rakyat terus-menerus terlibat dalam kehidupan politik sehari-hari. Maka, dari frustrasi yang terlihat kemarin, kita juga bisa membaca sebuah benih, bahwa gerakan jalanan dapat berkembang menjadi jaringan warga yang lebih permanen—dari ruang kos mahasiswa, pos ronda, sampai grup WhatsApp komunitas. Semua itu adalah arena everyday politics di mana frustrasi tidak dibuang sia-sia, tetapi ditransformasikan menjadi energi konstruktif bagi harapan bersama.

Dengan demikian, demonstrasi kemarin bisa dipahami bukan hanya sebagai ledakan sesaat, melainkan sebagai proses demokratisasi sehari-hari. Ia menandai pergeseran dari frustrasi menuju harapan, dari kekecewaan menuju pembelajaran kolektif, dari politik elite menuju politik warga. Boyte mengajarkan bahwa di situlah letak kekuatan sejati rakyat, bukan dalam besarnya massa semata, tetapi dalam kemampuan mereka menjadikan frustrasi sebagai modal untuk membangun demokrasi yang lebih partisipatif dan bermakna.

Bagi negara, ada pelajaran penting yang bisa diambil. Jika frustrasi bisa menjadi energi bagi harapan, maka tugas negara adalah menyediakan kanal-kanal partisipasi yang sah, aman, dan berkelanjutan. Kanal-kanal tidak boleh sekadar formalitas, melainkan ruang belajar bersama yang menjembatani jarak antara kebijakan dan pengalaman sehari-hari rakyat. Dengan begitu, negara tidak hanya mengurangi potensi letupan frustrasi, tetapi juga ikut mengubahnya menjadi energi harapan kolektif yang memperkuat demokrasi.

Lalu mesti ada upaya untuk membenahi sistem politik kita ke depannya. Bagi saya, segala bentuk kekecewaan rakyat pada DPR, lalu ketidakmampuan beberapa anggota DPR merespon bijak beberapa protes yang berasal dari jalan, menandakan bahwa ada yang keliru dalam proses perekrutan politik, apalagi dalam pendidikan politik. Mungkin betul apa yang dikatakan oleh almarhum Muchtar Pabottingi dalam sebuah tulisannya, bahwa saat ini  kita telah mengalami defisit kepemimpinan, defisit integritas (baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif), dan akhirnya bermua

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT