Oleh: Fajlurrahman Jurdi*
Presiden berjanji, rakyat menanti. Presiden mengucapkan, rakyat mendengar, mencerna, mencermati dan menganalisis. Jika tiba masa-nya, rakyat menagih dan memburu. Relasi kuasa antara rakyat dan penguasa, dalam hal ini presiden, adalah hubungan kausal dalam demokrasi. Presiden memperoleh kekuasaan dengan menapaki jalan berliku dan terjal, memburu suara rakyat waktu pemilu, dengan janji dan harapan, dengan bujuk rayu dan tipu muslihat, dengan tangisan dan permohonan. Suara diberikan, dengan memanggul jutaan penantian yang tak mungkin diurai satu persatu.
Diantara ratusan janji dan jutaan harapan yang menanti, ada janji kuasa yang tak pernah berhenti ditunggu dan tak bisa diabaikan, janji yang menyatu antara “mulut dan konstitusi”, yaitu janji “menegakkan hukum” tanpa pandang kelas sosial dan jabatan, tanpa melihat latar belakang dan kekuatan seseorang. Semua orang setara dihadapan hukum, equality before the law.
Saat kampanye, Prabowo berdiri gagah, mengucapkan ikrar politik, tanpa diminta dan dengan kesadaran penuh sebagai warga Negara, bahwa hukum tidak boleh tebang pilih. Janji itu pelan dan tanpa kepastian waktu, mulai dilaksanakan, meskipun masih banyak yang tak tersentuh. Hukum, selama ini, memang selalu tak pernah menyentuh aktor inti dalam lipatan kekuasaan. Ia memburu lapisan luar, mengutuknya tanpa ampun, agar lapisan dalam tak tersentuh. Mereka yang memiliki perlindungan kekuasaan yang kuat, akan terus bertahan, meskipun badai menjungkirbalikkan yang lain.
“Tebang pilih” atau “memilih ditebang” adalah frasa usang di Telinga kita, sebab tak pernah ada penegakan hukum yang murni bekerja tanpa “tebang pilih”. Di senjakala rezim ini, menerobos waktu satu tahun usia kekuasaannya, kita menjadi saksi kolektif, banyak peristiwa, bahwa hukum masih menjadi perisai bagi sebagian kecil orang, Meskipun jauh lebih baik dibanding pendahulunya, Prabowo masih menyimpan “misteri” ketidakpastian, tentang sikapnya yang menempatkan subyek dalam kesetaraan di hadapan hukum.
Namun saya pernah dicecar seorang sahabat, “kenapa mesti Presiden terlibat dalam penegakkan hukum, nanti dia akan mengintervensi hukum. Dalam teori, cabang kekuasan itu ada tiga, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada kekuasaan yudikatif, Presiden tidak boleh ikut campur di dalamnya”. Katanya.
Disatu sisi apa yang disampaikan sahabat saya itu benar, bahwa presiden tidak boleh ikut campur dalam lembaga peradilan, yakni kekuasaan yudikatif. Namun dalam sistem presidensial, penegakan hukum tidak hanya dilaksanakan oleh lembaga peradilan. Tetapi jika dimulai dari hulu, dimana kepolisian dan kejaksaan adalah penentu di hulu, di tahap penyelidikan dan penyidikan, juga penuntutan. Kedua lembaga ini, berada dalam lingkup kekuasaan presiden dalam sistem presidensial. Dengan demikian, keterlibatan presiden menjadi sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Sebab itu, janji presiden adalah janji yang didasari perangkat konstitusi.
Selain hukum tidak boleh tebang pilih, Prabowo “sesumbar” juga soal komitmennya pada pemberantasan korupsi. Pada janji ini, terlihat ada komitmen yang kuat, bahwa Prabowo benar-benar serius. Ia memburu kasus-kasus besar, dan berusaha untuk terus serius untuk hal ini. Meskipun mungkin banyak kendala dan tantangan, namun terlihat jelas komitmen politik hukumnya pada pemberantasan korupsi. Ia memburu beberapa aktor yang selama ini tak tersentuh hukum. Para Bandar politik yang jual-beli hukum, “para mafia dan komparador yang merampok” keuangan Negara, para tengkulak minyak, drakula pertambangan, dan penjahat berdasi yang licin dan tak pernah tersentuh hukum.
Perburuan terhadap para koruptor tidak mudah, sebab disana terdapat jalinan persahabatan yang melingkar, dimana ujungnya berjalin kelindan dengan Prabowo. Bisa jadi mereka terhubung secara politik dengan tim sukses, atau mungkin menjadi bagian dari orang-orang yang berjuang bagi Prabowo saat Pemilu. Tidak ada yang benar-benar steril dari jaringan dan relasi kuasa ini. Namun, Prabowo juga menentukan prioritasnya, kemana kekuasaan berujung dan dimana jalinan persahabatan harus berhenti.
Korupsi adalah musuh bersama birokrasi yang bersih dan harus diperangi dalam masyarakat demokratis. Tidak ada tempat bagi korupsi untuk tumbuh dan berkembang, juga tidak ada rumah baginya untuk berteduh dengan tenang. Korupsi adalah gurita yang melucuti keadilan, membunuh kesejahteraan, melukai kemiskinan, dan bisa menjadi wabah yang membusuki birokrasi dari dalam. Toleransi pada korupsi, sama dengan membiarkan racun arsenik menyerang organ kekuasaan lumpuh dalam waktu cepat. Pelan, pasti dan tentu ambruk. Seluruh kekuasaan berhenti detak jantungnya, karena wabah korupsi. Hampir tak ada yang bertahan. Nasib yang paling tragis adalah karena rakyat yang selalu menjadi tumbal paling mengenaskan. Mereka hidup dalam kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, kelaparan, wabah dan ketiadaan akses yang setara atas kekuasaan.
Sebab itu, Prabowo harus terus membakar api permusuhan dengan korupsi, menyalakan cahaya tanpa henti pada birokrasi kekuasaan, agar mereka yang memiliki niat jahat tampak terlihat. Tidak ada keremangan dalam pelayan publik, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan tambang, dan seluruh aktivitas pemerintahan. Agar publik bisa mengawasi, dan yang memiliki niat jahat bisa dicegah, sebelum ia menimbulkan korban.
Wallahu alam bishowab
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin






































