Oleh: Yusuf*
Di sebuah ruang kelas tua SMA Negeri 1 Luwu Utara, tahun 2018, deretan kursi plastik disusun rapi. Hari itu para orang tua murid berkumpul dalam rapat komite awal tahun ajaran baru, hari itu tidak semua orang tua murid datang, hanya mencapai empat puluh persen dari semua orang tau siswa, Di depan, seorang guru berdiri dengan suara lembut namun mantap. “Kami tidak mewajibkan,” katanya, “ini hanya bentuk kepedulian bersama. Untuk menambah sedikit gaji guru honorer kita yang sudah mengabdi dengan tulus.”
Kata-kata itu terdengar manis, bahkan menyentuh. Ruangan hening sesaat, lalu beberapa kepala mengangguk setuju. Siapa yang tega menolak membantu guru? Sejak saat itu, setiap siswa diminta menyetor uang komite sekitar dua puluh ribu hingga tiga puluh ribu rupiah per bulan.
Tak besar memang, tapi dengan ratusan siswa, jumlahnya terus bertambah. Tahun berganti, kebijakan tetap berjalan, namun kontribusinya mulai menurun dua puluh ribu rupiah per siswa. Entah karena lelah, atau karena mulai muncul tanya di hati para orang tua.
Empat tahun berlalu. Dari hitung-hitungan kasar, uang yang terkumpul mencapai sekitar lebih dari setengah milyar. Sebuah angka fantastis untuk sebuah sekolah negeri di daerah. Namun tidak ada laporan rinci, tidak ada musyawarah terbuka, tidak ada pertanggungjawaban. Hanya amplop yang datang setiap bulan, mengalir entah kemana.
Kecurigaan tumbuh, Orang tua mulai merasa ada yang janggal. Bantuan sukarela yang dulu dibungkus dengan kata “gotong royong” kini berubah menjadi beban yang dipaksakan. Tak lagi ada kerelaan, hanya kewajiban yang tidak tertulis tapi terasa nyata.
Lama-lama, kata “komite” pun kehilangan makna. Di banyak bibir, ia berubah jadi sindiran pahit: “pungli berseragam rapi.”
Ini bukan sekadar cerita tentang uang, tapi tentang harga diri pendidikan. Tentang bagaimana nilai kejujuran, yang seharusnya ditanam di kelas, justru tercabut dari akar oleh tangan orang-orang yang mestinya memberi teladan.
Di balik papan bertuliskan “Sekolah Unggulan”, tersimpan kisah getir: di mana integritas dikorbankan demi alasan yang terdengar mulia, kesejahteraan honorer. Padahal, seharusnya negara hadir menanggung itu, bukan orang tua murid yang dicekik rasa takut dan rasa sungkan.
Kini, publik mulai bersuara. Mereka menuntut kejelasan, transparansi, dan keberanian untuk mengakui kesalahan. Sebab pendidikan tak akan pernah maju jika kejujuran terus disembunyikan di balik amplop komite.
*) Penulis adalah Alumni SMA Negeri 1 Luwu Utara







































