Oleh: Fajlurrahman Jurdi*
Istilah hukum yang dicampur-aduk, bisa menyebabkan kesalahan dalam memahami konsekuensi yang ditimbulkan. Misalnya “Perbuatan melawan hukum oleh pemerintah” yang dalam bahasa asalnya disebut “onrechtmatige overheidsdaad” dan “perbuatan melanggar hukum” yang dikenal dengan “Onrechtmatige Daad”. Kedua istilah ini sebagian ahli hukum mencampur-adukkan, dan sebagian yang lain membedakan secara jelas, baik dari sisi jenis perbuatan maupun akibat yang ditimbulkan. Terdapat istilah yang mendahuluinya, yakni, onrechtmatig, yang artinya “bertentangan dengan hukum” atau unlawfull. Atau kata serupa, yakni onrechtmatigheid, yakni “keadaan melawan hukum” atau “unlawfulness”.
“Onrechtmatige Overheidsdaad” diputuskan dalam Arrest Hoge Raad 1919 yang menegaskan bahwa, “penguasa dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila dalam melaksanakan pemerintahan terbukti telah melakukan; (a) detournement de pouvoir (menyalahgunakan wewenang untuk tujuan lain yang seharusnya; (b) misbruik van gezag (menyalahgunakan kekuasaan); (c) misbruik van recht (menyalahgunakan hak). (Law Dictionary, 2016: 364).
“Onrechtmatige Daad” atau dalam bahasa latin disebut factum delicitum adalah perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam Pasal 1365 BW, yang menyatakan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan pelaku yang bersalah untuk mengganti kerugian tersebut. Oleh karena itu, Onrechtmatige Daad lebih dilekatkan pada hukum perdata (privat law), sementara Onrechtmatige Overheidsdaad lebih dekat dengan hukum publik (public law).
Onrechtmatige Overheidsdaad atau Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan darr/ atau Pejabat Pemerintahan dapat menimbulkan sengketa. Dalam konteks ini, Pasal 1 angka 3 Perma Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan Dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) menyebutkan bahwa; “sengketa Onrechtmatige Overheidsdaad adalah sengketa yang di dalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/ atau batal “tindakan Pejabat Pemerintahan”, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beserta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan Pemerintahan (bukan tindakan pejabat pemerintahan) dalam ketentuan a quo adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Unsur ketentuan ini adalah sebagai berikut: (a) adanya perbuatan; (b) perbuatan tersebut dilakukan oleh pejabat pemerintahan atau penyelenggara Negara; (c) jenis perbuatannya adalah melakukan dan/atau tidak melakukan; (d) perbuatannya bersifat nyata atau konkrit; (e) untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Disisi lain, Onrechtmatige Daad sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal a quo mengandung unsur sebagai berikut: (a) adanya perbuatan; (b) perbuatan tersebut melanggar hukum; (c) terdapat kesalahan; (d) ada kerugian yang ditimbulkan; (e) Adanya hubungan kausal, yakni pelanggaran hukum dan akibat kerugian yang ditimbulkan.
Berdasarkan analisis tersebut, terdapat perbedaan yang jelas antara Onrechtmatige Overheidsdaad dan Onrechtmatige Daad, terutama dilihat dari sisi subyek pelakunya. Pada Onrechtmatige Overheidsdaad, tergugat hanya boleh pejabat pemerintahan, sementara penggugat adalah warga masyarakat atau subyek hukum perdata. Sedangkan pada Onrechtmatige Daad, subyek penggugat dan tergugat adalah person dalam makna hukum perdata, dimana keduanya adalah individu yang terikat dalam hubungan keperdataan. Sebab itu, penulis menegaskan kembali, bahwa Onrechtmatige Overheidsdaad tunduk dibawah rezim hukum publik, sehingga domain dan kompetensi pengadilan yang mengadilinya adalah pengadilan Tata Usaha Negara, sedangkan Onrechtmatige Daad tunduk dibawah rezim hukum perdata.
Rosa Agustina (2003: 17) mengatakan bahwa; suatu perbuatan untuk dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan empat syarat sebagai berikut: (a) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; (b) bertentangan dengan hak subjektif orang lain; (c) bertentangan dengan kesusilaan; dan (d) bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Selain dala hukum perdata, dalam hukum pidana juga dikenal istilah Perbuatan Melawan Hukum. Perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dikenal dengan istilah wederrechtelijk. Satochid Kartanegara (Rachmat Setiawan, 1982) menyebutkan bahwa wederrechtelijk dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (a) Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; (b) Wederrechtelijk materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, juga asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen beginsel). Rosa Agustina (2003).
Secara umum umum, inti dari Onrechtmatige Overheidsdaad, Onrechtmatige Daad dan wederrechtelijk adalah perbuatan atau tindakan “yang bertentangan dengan hukum”, sehingga merugikan pihak lain. Penulis melihat ada problem penggunaan istilah dalam Perma Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan Dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad). Peraturan ini menggunakan istilah “perbuatan melawan hukum” dan “perbuatan melanggar hukum” secara bergantian. Pertanyaan penting penulis adalah, apakah terjemahan Onrechtmatige Overheidsdaad adalah “perbuatan melawan hukum” atau “perbuatan melanggar hukum”?. Atau memang arti keduanya memiliki kesamaan?.
Ketentuan Pasal 3 Perma Nomor 2 tahun 2019 menyatakan bahwa: Warga Masyarakat dapat mengajukan Gugatan Tindakan Pemerintahan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang dengan menyebutkan alasan: (a). bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan (b). bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Artinya, alasan mengajukan gugatan tidak ada yang diatur secara spesifik.
Padahal secara teoritis, alasan warga masyarakat dalam mengajukan gugatan untuk menguji tindakan pemerintah yang melawan hukum tersebut adalah karena: (a) perbuatan tersebut bersifat melawan hukum; (b) melakukan perbuatan melawan hukum yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah formal; (c) perbuatan yang dilakukan berada diluar kewenangannya; (d) perbuatan yang dilakukan bukanlah yang dikehendaki masyarakat (tidak doelmatig); (e) perbuatan yang dilakukan merupakan hasil pernyataan kehendak yang cacat (gebrekkige wilsvorming), karena adanya paksaan (dwang), penyesatan (dwaling), atau penipuan (bedrog). (Law Dictionary, 2016: 364).
Dengan demikian, baik Onrechtmatige Overheidsdaad, Onrechtmatige Daad dan wederrechtelijk merupakan “perbuatan melawan hukum” dengan kadar dan kualifikasi yang berbeda. Khusus untuk Onrechtmatige Overheidsdaad dan Onrechtmatige Daad cakupan jenis hukumnya berbeda, yakni hukum administrasi Negara dan hukum perdata.
Wallahu allam bishowab.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin









































