Beranda Mimbar Ide Menakar Urgensi P2P Bawaslu 2025 Sebagai Ruang Investasi Demokrasi

Menakar Urgensi P2P Bawaslu 2025 Sebagai Ruang Investasi Demokrasi

0

Oleh : Pasa Maraya

(Alumni P2P Bawaslu Tana Toraja 2025)

Jika anggapan sebagian orang tentang tahun 2025 sebagai masa jeda atau “tahun tenang” dalam dinamika politik nasional setelah rampungnya siklus Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 publik seolah ditarik masuk ke dalam masa jeda politik namun di balik narasi jeda tersebut, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) justru mengambil langkah strategis dan agresif dengan menghidupkan kembali program Pendidikan Pengawas Partisipatif (P2P) yang baru-baru terlakna di berbagai daerah termasuk Sulawesi Selatan.

Sebagai sebuah program, P2P 2025 bukan sekadar agenda rutin, ia adalah narasi tentang bagaimana negara mencoba “menanam modal” pada kesadaran rakyat tentang pentingnya demokrasi. Namun, disisi lain, publik juga bertanya benarkah ini investasi yang menguntungkan, atau sekadar seremoni yang membebani anggaran?

Sebagai salah satu alumni yang baru saja menuntaskan program ini, saya melihat bahwa Pendidikan Pengawas Partisipatif 2025 bukan sekadar agenda rutin, melainkan sebuah ruang “investasi demokrasi” jangka panjang yang sangat krusial dan akan terus lestari.

Momentum Memutus Rantai Apatisme

Investasi demokrasi jangka panjang melalui Pendidikan Pengawas Partisipatif (P2P) tahun 2025 ini sejatinya sebagai upaya menanamkan modal pada sumber daya manusia. Selama ini, tantangan terbesar pasca Pemilu adalah merosotnya partisipasi publik ke titik nadir akibat kelelahan pasca agenda politik dilangsungkan atau apatisme di kalangan masyarakat. Dengan melibatkan ribuan kader dari berbagai latar belakang, pelaksanaan P2P ini adalah momentum Bawaslu sedang melakukan revitalisasi kesadaran pengawasan Pemilu bagi warga negara.

Urgensi pelaksanaan P2P terletak pada pergeseran paradigma bahwa pengawasan pemilu bukan lagi “proyek musiman” setiap lima tahun sekali, melainkan tanggung jawab moral yang melekat pada setiap warga negara. Melalui pendidikan ini, kami dibekali dengan kacamata baru untuk melihat bahwa kualitas demokrasi tahun 2029 ditentukan oleh seberapa kekonsistenan kita dalam merawat nilai-nilai integritas sejak tahun 2025 ini.

Investasi Sumber Daya di Masa “Tidur”

Secara teori, P2P 2025 adalah langkah preventif yang cerdas. Melibatkan masyarakat di masa tenang (non-tahapan besar) memberikan ruang bagi pendidikan politik yang lebih substansial, bukan sekadar teknis mencoblos. Dari pelaksanaan di berbagai daerah, seperti di Sulawesi Selatan yang melibatkan ribuan peserta, terlihat ada upaya serius untuk membangun “sistem imun” demokrasi dari level akar rumput.

Urgensinya jelas: Bawaslu sadar bahwa personil formal tidak akan pernah cukup untuk mengawasi setiap jengkal pelanggaran. P2P 2025 hadir untuk mengisi ruang kosong tersebut dengan cara melahirkan pengamat-pengamat amatir yang memiliki kompetensi profesional. Ini adalah investasi jangka panjang agar pada Pemilu 2029 mendatang, kita tidak lagi mulai dari nol.

Kader Literasi dan Pengawasan Digital

Tantangan demokrasi masa depan tidak lagi hanya berbentuk intimidasi fisik di TPS, melainkan manipulasi algoritma dan penyebaran disinformasi di ruang siber. P2P 2025 menjadi ruang investasi yang relevan karena kurikulumnya yang adaptif terhadap isu digital.

Sebagai alumni, kami tidak hanya diajarkan pasal-pasal pelanggaran, tetapi juga teknik mendeteksi hoaks dan kampanye hitam di media sosial. Ini adalah aset berharga. Kader P2P diproyeksikan menjadi “digital amplifier” yang mampu menyebarkan narasi edukatif di tengah bisingnya informasi politik yang menyesatkan. Tanpa investasi pada literasi digital pengawasan, demokrasi kita akan terus rentan terhadap polusi informasi.

Kehadirannya Melampaui Pengawasan Formal

Selama ini, pengawasan pemilu sering kali dipandang sebagai tugas eksklusif lembaga negara. Padahal, personil Bawaslu sangat terbatas dibandingkan luas wilayah dan jumlah pemilih. Di sinilah P2P 2025 menjadi relevan. Dengan menargetkan kader muda dan masyarakat sipil di berbagai provinsi, seperti yang dilakukan masif di Sulawesi Selatan tahun ini. Bawaslu sedang membangun “sistem imun” demokrasi dari akar rumput.

P2P tidak lagi hanya bicara soal teknis mencoblos, tetapi bertransformasi menjadi laboratorium literasi politik. Peserta dibekali kemampuan mendeteksi politik uang, memahami sengketa dalam proses Pemilu, hingga cara mengidentifikasi hoaks yang kian canggih.

Membangun Harapan bagi Masa Depan Demokrasi Indonesia

Kedepan, harapan saya dan rekan-rekan alumni adalah agar P2P 2025 menjadi titik balik bagi gerakan pengawasan rakyat yang organik. Kami berharap Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota hingga Provinsi segera membentuk wadah alumni yang aktif dan terintegrasi secara digital.

Kami ingin dilibatkan dalam pengawasan kebijakan publik di komunitas kami masing-masing, meskipun tahapan pemilu besar belum dimulai. Dengan begitu, investasi demokrasi ini akan terus bertumbuh dan memberikan keuntungan berupa pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat.

Menghindari Jebakan Seremonial, Selesai Kegiatan Selesai Urusan

Namun, menakar urgensi P2P juga berarti harus berani melakukan refleksi kritis. Sebuah investasi akan disebut gagal jika tidak memberikan imbal hasil (return). Harapan saya dan rekan-rekan alumni lainnya adalah agar investasi ini tidak berhenti setelah sertifikat ditandatangani dan spanduk kegiatan diturunkan.

Jangan sampai P2P 2025 terjebak dalam ruang seremonial belaka. Bawaslu harus mampu menjaga keberlanjutan energi para kader ini. Kami adalah “cadangan strategis” pengawasan. Jika Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota gagal menjaga komunikasi dan melibatkan alumni dalam program-program pencegahan di tingkat lokal, maka investasi besar yang telah dikucurkan melalui anggaran negara ini hanya akan menjadi sia-sia.

Harapan: Memaknai Partisipasi Keluar dari Jebakan Seremonial

Namun, menakar urgensi juga berarti harus berani melihat retakan di dalamnya.

Agar alumni P2P 2025 benar-benar menjadi investasi demokrasi jangka panjang yang berbuah manis.

Keberlanjutan pascasertifikasi harus digalakkan agar penyakit menahun dari program P2P tentang fenomena “putus hubungan” tidak terjadi.

Agar kader yang setelah lulus dan mendapatkan sertifikat tidak merasa menjadi “anak yatim” secara organisasional pasca kegiatan karena tanpa adanya wadah alumni yang aktif dan terintegrasi di tingkat Kabupaten/Kota sehingga ilmu yang didapat di P2P 2025 akan menguap begitu saja, ada beberapa harapan besar yang harus diwujudkan agar keberlanjutan itu terus terjaga diantaranya:

Wujudkan Wadah Alumni yang Hidup: Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota harus memiliki database dan grup koordinasi aktif untuk alumni P2P 2025. Kami butuh dilibatkan dalam sosialisasi pengawasan partisipatif di desa-desa, bukan hanya saat masa kampanye, tapi sejak sekarang.

Responsivitas Laporan: Tidak ada yang lebih mengecewakan bagi seorang pengawas partisipatif selain laporan atau informasi awalnya diabaikan oleh lembaga pengawas formal. Jika Bawaslu tidak memperbaiki mekanisme penerimaan aduan dari alumni P2P, maka gairah yang dibangun dalam pelatihan ini akan berubah menjadi sinisme.

Pemanfaatan Alumni Digital: Mengingat pelatihan 2025 juga menekankan pada pengawasan siber, alumni harus diberdayakan sebagai fact-checker di komunitasnya masing-masing. Bawaslu harus menjaga komunikasi digital dengan para alumni ini sebagai garis depan melawan hoaks politik yang tidak mengenal waktu.

Aksesibilitas Informasi: Bawaslu harus memberikan akses informasi yang lebih transparan kepada alumni P2P terkait potensi kerawanan di daerah mereka. Kerjasama ini harus bersifat simbiotik, bukan searah. Kami berharap Bawaslu menjadikan kami “pasukan siber demokrasi” yang aktif menjernihkan disinformasi politik di media sosial, dengan dukungan data yang valid dari Bawaslu.

Evaluasi Berbasis Dampak: Kesuksesan P2P 2025 tidak boleh hanya diukur dari berapa banyak orang yang hadir mengikuti Zoom, tetapi dari seberapa banyak pelanggaran di tingkat lokal yang berhasil dicegah berkat inisiatif para kader ini.

*Penutup*

P2P Bawaslu 2025 adalah langkah panjang. Ini adalah cara negara memastikan bahwa demokrasi tidak hanya hidup di atas kertas undang-undang, tetapi juga berdenyut di nadi masyarakat sipil. Sebagai alumni, kami telah menerima modal pengetahuan dan nilai. Kini, harapan demokrasi yang bermartabat itu ada di tangan kita semua: apakah investasi ini akan tumbuh menjadi gerakan pengawasan rakyat yang organik, atau hanya akan menjadi memori pelatihan di akhir tahun?

Demokrasi yang bermartabat tidak datang gratis; ia butuh investasi, konsistensi, dan pengawasan yang tak pernah tidur. Jangan biarkan alumni P2P 2025 layu sebelum berkembang. Karena demokrasi yang bermartabat tidak lahir dari kebetulan, melainkan dari pengawasan rakyat yang dididik dengan sungguh-sungguh.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT