Oleh : Ahmad Yani*
Pro dan kontra mewarnai regulasi larangan bagi eks koruptor mendaftar sebagai calon legislatif. Sebagian kalangan menilai dengan adanya regulasi tersebut akan menjadi sebuah rekayasa sosial (tool of social engeering) dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun sebagian pihak juga berasumsi bahwa dengan adanya regulasi tersebut akan mencederai hak konstitusional (constitusional right) warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Tentu kedua pandangan ini didasarkan pada pendekatan konsep dan telaah teori yang berbeda, sehingga akan melahirkan perbedaan nilai praktis jika diterapkan ditengah-tengah masyarakat.
Pada dasarnya larangan eks koruptor untuk mendaftar sebagai calon legislatif merupakan bentuk pertanggungjawaban dari tindakan koruptif yang pernah dilakukan. Pertanggungjawaban di sini bukan hanya sekedar pertanggungjawaban secara “liability” saja, namun para eks koruptor harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara “responsibility”.
Pertanggungjawaban secara liability (pertanggungjawaban secara hukum) sebenarnya telah ditunaikan oleh eks koruptor dengan menebus dosa-dosanya melalui serangkaian pemidanaan yang telah dilewati. Dalam konsep ini, karena adanya faute de personalle (kesalahan pribadi) yang dilakukan oleh koruptor dan kesalahan pribadi ini menyangkut hajat hidup orang banyak (publik), maka kesalahan tersebut selayaknya pula dipertanggungjawabkan secara “responsibility” kepada publik.
Dalam perspektif hukum administrasi dan hukum tata negara, pertanggungjawaban dengan konsep “responsibility” merupakan pertanggungjawaban secara politis yang dilakukan oleh para pejabat publik atau mereka yang telah menduduki jabatan publik kepada segenap masyarakat. Kajian literatur menyebutkan bahwa “responsibility” pada mulanya diterapkan dalam sistem hukum Inggris dengan istilah “government responsibility” yang dilakukan oleh menteri karena adanya ketentuan “the king can do no wrong”. Lebih lanjut, dalam perkembangannya konsep “rensponsibility” ini dibagi atas dua yakni “collective responsibility” dan “individual rensponsibility”. Collective responsibility digunakan sebagai varitas politik yang membantu kontrol pemerintahan atas peraturan perundang-undangan dan belanja publik serta untuk mengisi ketidaksepahaman di antara departemen-depatemen yang ada. Sedangkan individual responsibility dilakukan oleh para menteri pada parlemen atas keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan mereka dan efisiensi pemerintahan dari dapartemen masing masing.
Dalam kaitannya dengan sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia dan upaya untuk menciptakan good government, maka penggunaan konsep “responsibility” (utamanya indivual responsibility) sering diterapkan. Misalnya, individual responsibility Presiden dapat dilihat apakah diterima oleh publik melalui keterpilihannya pada periode berikutnya. Begitupula individual responsibility guna menciptakan good government pada jabatan publik dengan adanya kesediaan menetapkan kontrak politik yang isinya adalah kesediaan untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai menteri ataupun pejabat negara yang lain apabila melakukan kesalahan, apalagi kalau melakukan tindak pidana korupsi.
Individual rensponsibility ini seharusnya berlaku juga bagi mereka eks koruptor. Para eks koruptor seyogianya memiliki kesadaran diri untuk melakukan individual rensponsibility kepada publik dengan cara tidak mengajukan diri sebagai calon legislatif. Mengapa hal ini perlu dilakukan padahal mereka telah menebus kesalahannya melalui pertanggungjawaban liability? Jawabannya adalah cara itulah diyakini akan membentuk persepsi dan dogma kepada masyarakat dan utamanya pejabat publik untuk menghindari tindakan koruptif. Bukankah jika mereka sudah bertobat, maka masyarakat mesti memaafkan? Semestinya masyarakat memaafkan, namun tidak dengan interpretasi bahwa masyarakat mesti membolehkan mereka menjadi wakil rakyat di parlemen.
Dengan adanya regulasi terkait larangan eks koruptor untuk mendaftar sebagai calon legislatif, akan membentuk sistem individual rensponsibility yang baik dalam ketatanegaraan di Indonesia___yang selama ini individual responsibility hanya sebagai praktik ketatanegaraan tidak tertulis. Selain itu individual responsibility semacam ini akan meningkatkan sistem good government yang bersih dan bebas dari KKN. Maka dari itu, seyogianya para eks koruptor memahami dan dengan kearifannya bersedia mempraktikkan individual rensponsibility demi Indonesia yang lebih baik. Akhir kata, kita sebagai masyarakat harus menyadari bahwa “wakil” yang terbaik adalah mereka yang memiliki rekam jejak peduli, empati, dan amanah, bukan mereka yang acuh tak acuh, pelit, dan mengkhianati publik serta mencuri uang rakyat.
*) Penulis Merupakan mahasiswa Fakultas Hukum dan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UNHAS.









































