Beranda Fajlurrahman Jurdi Kekuasaan, Ketakutan dan Kekerasan

Kekuasaan, Ketakutan dan Kekerasan

0
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

“Kekuasaan, ketakutan dan kekerasan” adalah tiga kata yang pasti tak sama, baik artinya maupun maknanya yang terdalam, meskipun makna itu digali sejauh mungkin. “Kekuasaan adalah satu entitas”, “ketakutan adalah suatu perasaan”, sedangkan “kekerasan adalah suatu sikap”.

Tetapi apabila dijahit tali-temalinya, ketiga kata yang terpisah itu menjadi begitu menakutkan, lebih menakutkan dari “senjata dan peluru tajam”, “lebih menakutkan dari belati yang dihunuskan secara terang-terangan oleh seseorang kepada orang lain”. Senjata dan peluru tajam hanya membunuh manusia secara terbatas bila digunakan oleh individu, atau belati yang dihunuskan oleh seseorang hanya akan melukai dan menakuti pada seseorang yang dituju. Jenis tindakan ini bisa sangat individual, ia tak meluas, karenanya tidak menebarkan ketakutan yang eskalasinya besar.

Tetapi bahaya atau semacam kengerian tak terkira yang menerobos masuk ke dalam jendela rumah tiap orang bila kekuasaan mulai tak terkendali, menebarkan ketakutan, dan melakukan “kekerasan”, meskipun hanya secara verbal. “Kekerasan” oleh kekuasaan tak perlu menembus batas dan melukai tubuh, cukup dengan menangkap, menahan dan “menunjuk secara verbal”, ia akan menular tak terbendung, kepada siapapun.

Kekuasaan memiliki apparatus yang dibiayai dan sah eksistensinya, meskipun kewenangan yang dijalankan tidak sah dan lebih sering disalahgunakan. Althusser jauh-jauh hari mengingatkan kita soal “repressive state apparatus” sebagai ancaman yang tak terkira bagi kita.

Dulu kita ingat, ada suatu orde dimana Pancasila ditafsirkan secara tunggal oleh kekuasaan. Mereka yang berbeda, dilacak dan diburu, organisasi yang tak mau menerima Pancasila sebagai asas harus “disingkirkan”, bahkan lebih jauh lagi, bila tafsir terhadap Pancasila berbeda, orang-orang itu akan diinterogasi dan diancam. Kekuasaan bagai “leviathan”, semacam binatang raksasa yang menakutkan, dan menghancurkan setiap yang berlawanan arah dengannya. Fenomena ini mungkin dapat disebut sebagai “repressive state ideologis”, ideology Negara repressive yang menggerakkan aparat untuk bertindak nir-manusia.

Kini semacam ada dejavu, ada pengulangan kembali tafsir “jahat” atas Pancasila itu dengan wajah dan topeng baru. Kata “toleransi”, “anti Pancasila” dan “Anti NKRI” diproduksi oleh “kekuasaan dan mereka yang mendukung kekuasaan” seperti pisau yang bermata dua. Kata ini digunakan oleh mereka yang berkuasa, merasa berkuasa, dekat dengan kekuasaan atau merasa dekat dengan kekuasaan, serta pendukung kekuasaan tanpa reserve untuk membangun citra diri kekuasaan. Hanya mereka yang NKRI, yang lain anti NKRI, hanya mereka yang Pancasila, yang lain anti Pancasila, hanya mereka yang boleh ngomong Pemilu, yang lain hanya suara sumbang yang dikirim dari neraka sehingga perlu dihadang. Celakanya, “repressive state apparatus” menjadi pendukung setia mereka. Dengan memegang senjata, sepatu laras, dan wajah dibuat sedikit kasar, mereka menakuti banyak orang, dari Bandara ke Bandara, dari Forum ke forum dan dari podium ke podium. Mereka ini aparat Negara atau aparat kekuasaan?.

Akankah ini adalah jalan kembalinya otoritarianisme?.
Wallahu a’lam bishowab.

*) Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unhas

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT