Oleh : Aswar Hasan
Sebuah riwayat dari Ibnu Umar, yang sampai kepada Abu Hurairah, bahwa: “Telah dikatakan wahai Rasulullah; “berdoalah menentang (mengutuk) kaum musyrikin”. Lalu beliau berkata: “Saya tidak diutus sebagai pengutuk, melainkan sebagai Rahmat” (HR. Muslim).
Rasulullah, SAW adalah pembawa rahmat, sebagaimana disebut dalam Al Qur’an Surat Al ambiya ayat 107 yang menyatakan: “Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Menurut mufassirin, ayat tersebut, menyatakan bahwa tujuan Rasulullah, SAW diutus, agar ajarannya (misi kerasulannya) menjadi rahmat bagi manusia dan alam semesta untuk kemaslahatan dengan mencegah kemafsadatan (kerusakan). Rahmatan lil alamin adalah tujuan final sebuah program keagamaan bagi setiap Muslim.
Dalam mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan implementasi berkeagamaan. Implementasi berkeagamaan tidak lain adalah bersyariat islam. Agama sebagai syariat (jalan keselamatan yang menghidupkan) haruslah selalu diorientasikan pada makasyid syariah (tujuan syariat Islam), yaitu dengan menjaga dan memelihara agama (hifzl Ad Din), memelihara jiwa (hifzl an nafs), memelihara akal (hifzl al aql), memelihara keturunan (hifzl an nasab), memelihara harta (hifzl al mal) dan memelihara kehormatan (hifzl al muru’ah atau karamah).
Kata rahmat pada ayat tersebut, bisa juga dimaknai sebagai belas kasih, berkah, dan kemudahan. Jadi misi kenabian Nabi Muhammad,SAW sebagai pembawa pesan wahyu adalah untuk menebar kasih sayang, membawa berkah, dan mengajarkan agama yang memudahkan dan mengeluarkan manusia dari lumpur kehinaan ke tempat yang disinari cahaya keimanan yang diberkahi. Ini adalah kaidah umum yang berlaku universal bagi ajaran dan pengajaran Islam sebagai Din. Dinul Islam adalah ajaran keimanan, dan kemanusiaan yang tidak semata eksis dan diperankan di ruang spiritualitas peribadatan, tetapi juga menyangkut tata pergaulan di semua aspek kehidupan. Makanya Islam juga biasa disebut sebagai agama peradaban. Dengan berislam, orang seharusnya lebih beradab.
JALAN TENGAH
Islam selayaknya diposisikan sebagai ajaran pertengahan. Simaklah arti makna surat Al Fatihah. Khususnya pada ayat:Ihdina syiratal mustakim (bimbinglah kami di jalan yang lurus) syiratalladziina an amta Alaihim (yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat. Ghairilmagduubi alaihim (bukan jalan orang-orang yang engkau Murkai) Waladdlaalin (dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat). Syiratal mustakim adalah jalan tengah antara jalan orang yang dimurkai karena memusuhi agama, dan jalan orang yang Dhalim yaitu jalan orang sesat karena menyimpang dari ajaran agama yang benar. Jalan syiratal mustakim tidak lain jalan yang berdasarkan syariat Islam.
Syariat Islam adalah jalan kedamaian yang menolak cara-cara memaksakan kehendak dengan cara kekerasan dan pemaksaan. Sayangnya, masih banyak yang salah dan gagal faham tentang syariat Islam. Cara penegakan syariat Islam tidak boleh bertentangan dengan tujuan (makasid) syariat Islam itu sendiri.
Islam sebagai rahmat terhadap alam semesta, sebagaimana penjelasan DR. Yusuf Al Qaradhawi, dapat dimaknai bahwa segala perbedaan yang terjadi karena bersifat given (sesuatu yang memang seharusnya berbeda) sebagaimana perbedaan antara siang dan malam, langit dan bumi, lelaki dan perempuan, cara memandang dan mensikapi (menafsirkan) sebuah wahyu, adalah rahmat.
Dengan demikian Islam sangat menghormati dan mentoleransi perbedaan. Perbedaan yang kerap memicu intoleransi dan konflik, tidak mesti dimaknai sebagai pertentangan yang melahirkan permusuhan. Akan tetapi, bagaiman mensikapi perbedaan tersebut secara rasional dan bijaksana, sehingga eksistensi kita yang berbeda dengan lainnya, mendapatkan penguatan makna untuk menyadari akan posisi masing-masing pihak, sehingga kita justru dapat eksis dengan perbedaan itu sendiri.
MENOLAK EKSTREMISME
Moderasi Islam (“Islam Jalan Tengah”) adalah ciri karakter Islam yang seharusnya dikedepankan. Istilah Moderasi Islam, dikenal dengan konsep ummatan wasathan (pertengahan), sebagaimana diterangkan dalam al Qur’an surat Al Baqarah ayat 143: ” Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia,..”
Menurut Yusuf Al Qardhawy, dengan karakter moderasi tersebut, ajaran Islam beserta perangkat-perangkatnya akan selalu bersifat fleksibel serta tak usang dimakan zaman. Moderasi (wasathiyyah) Islam, adalah faktor yang tak terpisah dengan keuniversalan, fleksibilitas dan kesesuaian ajaran Islam di setiap zaman dan tempat (syariah Islam).
Secara bahasa, pengertian al wasathiyyah juga dimaknai adil, utama, pilihan terbaik, seimbang antara dua posisi yang berseberangan. Raghib al Asfahani memaknai sebagai titik tengah, seimbang tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri (tidak ekstrem) di dalamnya terkandung makna keadilan, kemuliaan, dan persamaan.
Dalam pada itu, gerakan teroris atau pun intoleransi berke agamawan dengan menghalalkan pembunuhan terhadap orang yang belum dipastikan sebagai musuh apalagi di luar zona perang, hukumnya diharamkan. Hal itu dijelaskan dalam ayat suci Al Qur’an yang menyatakan: “Dan barang siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam. Kekal ia di dalamnya dan Allah Murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS. An Nisa: 93).
DR. Sayyid Quthb dalam tafsir fi zhilalil Qur’an menjelaskan tentang ayat tersebut dengan mengatakan, bahwa: pembunuhan terhadap orang Mukmin dengan sengaja, tidak hanya sebagai kejahatan pembunuhan terhadap jiwa manusia semata, tanpa hak, tetapi juga merupakan kejahatan pembunuhan terhadap jalinan mulia yang penuh kasih sayang lagi terhormat, yang, diciptakan Allah antara seorang muslim dan muslim lainnya. Sungguh, tindakan pembunuhan itu, merupakan pengingkaran terhadap iman dan akidah itu sendiri.
Dengan demikian, Islam dalam perspektif rahmatan lil alamin, jelas sangat tidak mentolerir tindakan terorisme. Islam sebagai rahmatan lil alamin melalui syariatnya, adalah solusi kedamaian hidup dalam dalam menjalankan agama sebagai ajaran keimanan kepada Tuhan untuk manusia.
*) Penulis adalah Komisioner Komisi Informasi Publik Sulsel







































