MataKita.co, Makassar – Komunitas Pemuda Madani bersama Masyumi Reborn kembali menggelar diskusi Mosi Online #2 pada Jum’at, 10 April 2020, malam.
Meski sempat mendapat gangguan hacker, diskusi Mosi Online bertemakan ada apa dengan Perppu No.1 tahun 2020 tetap berjalan lancar.
Diskusi via Zoom Meeting terkait Perppu yang dikeluarkan sebagai respon penanganan Covid-19 berhasil mengungkap catatan menarik.
Ahmad Yani misalnya, mantan anggota DPR RI itu menjelaskan bahwa Perppu itu layaknya Omnibus Law yang mengatur kurang lebih dari 12 perundang-undangan. Secara substansi, Perppu itu sebenarnya tidak mengatur sepenuhnya soal penanganan Pandemi Corona. Melainkan berbicara tentang penyelamatan ekonomi. Bahkan Perppu ini diduga kuat sebagai alibi sekaligus legitimasi atas nama penanganan korona terhadap kegagalan kebijakan publik politik ekonomi pemerintah pusat.
Hal itu terlihat jelas pada nomenklatur judul dalam Perppu tersebut. Konsep Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada hakekatnya bentuk lepas tanggung jawab pemerintah pusat untuk diserahkan kepada pemerintah daerah. Bukan hanya itu, Perppu ini juga menjadi legitimasi untuk menghindarkan diri dari segala tuntutan hukum baik perdata maupun pidana atas seluruh implementasi kebijakan ekonomi politik melalui kebijakan penanganan Corona. Bahkan ada kecenderungan untuk membuat law of enforcement semakin mengedepan dengan wacana darurat sipil yang dilontarkan.
Nada yang sama datang dari Munarman selaku Juri Bicara FPI. Menurut nya, metode pembuatan Perppu itu seperti metode pembuatan produk legislasi Omnibus Law. Terlihat jelas untuk kepentingan korporasi.
Dipertegas oleh TB Massa Djafar yang menyatakan bahwa praktek Demokrasi saat ini sudah berubah menjadi Oligarki. Dalam sistem politik seperti itu maka logika hukum sudah tidak lagi berjalan. Yang ada hanya logika kekuasaan. Hukum hanyalah instrumen untuk menjalankan kekuasaan. Sistem Oligarki telah menciptakan dan menentukan seluruh gestur kebijakan publik oleh penguasa yang lebih berpihak pada konglomerat. Bukan kepada rakyat. Bahkan menurut Djafar, Oligarki yang dipraktekkan sudah cenderung mengarah pada Otoritarian.
Di sisi lain Abdul Chair Ramadhan dari HRS Centre menyatakan bahwa Perppu ini sudah menabrak prinsip prinsip negara hukum. Oleh karenanya wajib ditolak khususnya oleh DPR. Jika tidak bisa maka harus dilakukan upaya hukum dalam bentuk uji materiil (Judicial Review) karena berpotensi menjadi legitimasi korupsi politik penguasa.
Secara anatomis deskriptif, Salamuddin Daeng sebagai pengamat kebijakan publik menyatakan bahwa Perppu ini hanyalah pintu masuk legitimasi untuk menyelamatkan APBN. Mestinya dibuatkan usulan APBN-P sebagai alternatif solusi. Alasan sebagai legitimasi penyehatan sektor keuangan tidak ditemukan. Karena indikator krisis keuangan juga tidak nampak dalam bentuk rush di antaranya atau penarikan uang dalam jumlah besar besaran oleh masyarakat. Kondisi APBN sangat memprihatinkan. Setidaknya dalam kurun waktu 3 tahun terakhir masa pemerintahan Jokowi.
Masih menurut Daeng hal itu dipicu oleh ketergantungan ekonomi dan kesalahan penetapan skala prioritas ekonomi. Daya beli masyarakat menurun sementara pemerintah sendiri tidak menggunakan kebijakan tight money policy untuk belanja kabinet dan birokrasi. Termasuk lebih menitik beratkan pada pembangunan infrastruktur besar besaran yang lebih berorientasi pada pencitraan.
Harga komoditas terutama minyak semakin menurun. Padahal menjadi tumpuan pendapatan dalam APBN. Hutang semakin membumbung tinggi. Menambah hutang untuk membayar hutang. Sudah pada batas ambang toleransi sangat berbahaya dalam berhutang. Ilustrasinya sebelum Covid-19 saja pemerintah pusat kesulitan hingga fokus untuk merecovery hutang. Dengan kata lain pemerintah pusat sudah tidak memiliki dana lagi. Pilihan menghadapi Covid-19 dengan menambah hutang lagi menjadi alternatif. Dimana sebelumnya sudah di ambang krisis hutang yang melilit.
Secara partial, alternatif solusinya tidak lain menetapkan skala prioritas dalam konteks penanganan wabah Corona. Anggaran untuk belanja kabinet dan birokrasi, untuk pembangunan infrastruktur, untuk investasi SDA dan lain lain sementara lebih fokus dialihkan untuk penanganan wabah. Dilema pilihan prioritas antara menyelamatkan harta atau nyawa harus disudahi. Dengan menetapkan kebijakan yang lebih fokus pada penyelamatan nyawa manusia. Untuk kepentingan kesinambungan jangka panjang.
Secara sistemik, Indonesia menghadapi persoalan ekonomi yang tidak bisa dilepaskan. Indonesia sudah masuk ke dalam kepentingan pertarungan ekonomi kedua negara besar. Amerika dan China. Hakekat Currency War adalah Economic War. Pandemi Corona terlepas dari persoalan virus yang mewabah global tidak bisa dipisahkan dengan nuansa itu. Dimana Amerika bisa mencetak dollar begitu saja. Dan China bisa menggenjot produk produk manufacturing dan investasi berbagai negara melalui produk produknya dalam skema transaksi perdagangan. Melalui strategi OBOR yang dirubah menjadi BRI. Alternatif solusi sistemiknya adalah mewujudkan kemandirian nasional dan melepaskan ketergantungan dari conflict of economic politic interest negara negara global.