Beranda Mimbar Ide Genealogi Partai Politik

Genealogi Partai Politik

0

Oleh : Muh. Asratillah S*

DI negeri ini, siapa yang tak mengenal partai politik alias parpol ?. Sekitar pukul 24.00 tanggal 16 oktober 2017 tadi, KPU melaporkan bahwa ada sekitar 27 partai politik yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi peserta pemilu tahun 2019. Dan bagi yang telah mendengar berita tentang hal itu, dalam imajinasinya pasti tergambar, hiruk-pikuk massa partai saat kampanye, kaos oblong yang dibagikan sana-sini, baliho dan banner yang terpasang disetiap sudut jalan. Tapi adakah yang pernah bertanya kira-kira bagaimana asal muasal (genealogi) dari Partai politik tersebut ?. Tentu ada sebab-sebab sosial dan historis yang melahirkan parpol, dan essay ini akan berbicara soal itu.

Dua ilmuwan politik dalam hal ini Lapalombara dan Myron Weiner, pernah berujar tentang tiga teori yang menjelaskan asal-usul parpol, dan konon ada tiga teori yang berusaha menjelaskannya. Teori pertama dikenal dengan istilah teori kelembagaan, bahwa parpol bermula karena keinginan dari kalangan legislatif (dan tentunya dukungan eksekutif) demi dua hal, hal pertama adalah demi mengadakan kontak dengan masyarakat dan yang kedua dalam rangka membina dukungan dari masyarakat, jadi kata kuncinya ada dua yaitu “kontak” dan “membina”.

Lalu kalangan elit dalam hal ini legislatif dan eksekutif akhirnya tak mampu sepenuhnya menampung aspirasi rakyat, maka beralihlah arus aspirasi pembentukan parpol yang awalnya dari elit untuk membina rakyat, kini parpol terbentuk atas inisiatif rakyat. Contoh sederhananya adalah pembentukan PRD semasa orde baru, walaupun orde baru menganggap ilegal bahkan “memburu” para aktivis PRD. Meledaknya jumlah partai di pemilu pertama pasca reformasi 1998, akibat kekangan politik yang kuat semasa rezim orba. Pembentukan partai buruh di jerman dan inggris, serta berdirinya partai hijau di Jerman.

Teori Kedua menjelaskan bahwa parpol terbentuk akibat krisis. Krisis apa yang dimaksud ? yaitu krisis yang lahir akibat terjadinya peralihan bentuk masyarakat, dari bentuk tradisional ke bentuk yang modern. Dengan kata lain parpol adalah sebuah keniscayaan akibat bertambahn kompleksnya masyarakat, dan yang menyebabkan pertambahan kompleksitas tersebut ada beberapa hal, seperti percepatan pertambahan penduduk (yang membutuhkan cara-cara baru mengalokasikan kekuasaan untuk mendistribusikan sumberdaya yang terbatas), perluasan pendidikan (yang menyebabkan warga negara sangat mudah mempertanyakan otoritas), perubahan lahan pekerjaan (dari pertanian ke sektor industri dan jasa), ekonomi yang telah berorientasi pasar, deprivasi relatif (peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru) serta lahirnya gerakan-gerakan yang berorientasi populis.

Lalu bagaimana wajah dari krisis yang diakibatkan oleh perubahan masyarakat tersebut ?. Setidaknya ada tiga jenis krisis. Krisis yang Pertama adalah krisis legitimasi, akibat adanya pergeseran makna dan wibawa otoritas dari masyarakat feodal ke masyarakat kapital (modern). Kelas menengah merasa bahwa otoritas kaum feodal tak mampu lagi menyahut kecepatan perubahan zaman dan tak cocok lagi dengan etos baru mereka yang lebih menuntut keterbukaan, dinamika lebih serta fleksibilitas. Maka lahirlah parpol sebagai instrumen alternatif untuk mencari otoritas diluar mekanisme feodal. Melalui parpol sumber legitimasi otoritas tak lagi berasal dari mitos ataupun entitas supranatural, tetapi berasal dari massa, rakyat yang bisa dihitung dan dirasionalisasi.

Krisis yang kedua adalah krisis integritas. Jika kita mengikuti alur pemikiran Althusser, parpol merupakan aparatus ideologi negara, walaupun tampak berkonflik dan berkompetisi, tetapi mereka menyemai dasar platform yang sama alias perekat yang sama yaitu nasionalisme. Hal ini bermula dari sejarah eropa, perang antara kerajaan dan mazhab keagamaan, membuat semacam pengkotak-kotakan wilayah dan parpol sedikit banyaknya dapat merekatkan ini, selain karena alasan ideologis juga disebabkan keanggotaan partai yang lintas wilayah. Dan yang terakhir adalah krisis partispasi, karena ototritas lama telah lapuk, maka ototritas baru menuntut partisipasi jauh lebih besar, dan parpol berfungsi sebagai kanalisasi partisipasi politik tersebut.

Teori Ketiga, memandang bahwa parpol adalah konsekuensi dari modernisasi interaksi manusia. Lahirnya media massa, semakin canggihnya teknologi informasi, perluasan pendidikan yang secara otomatis akan membawa dampak pada melek informasi dan teknologi, industrialisasi, urbanisasi (yang menggeser orang dari asal-usul geografisnya), semakin intensnya warga dalam membentuk organisasi secara sukarela. Semua hal ini akan bermuara pada kebutuhan akan wadah organisasi politik yang dapat dengan optimal menampung sekaligus mengolah segala bentuk aspirasi, yang setiap saat tak hanya bertambah kuantitasnya tapi juga keragamannya.

Lalu bagaimana dengan partai politik kita sekarang ? Mungkin yang paling menyulitkan bagi calon memilih adalah menjatuhkan kepercayaan politiknya pada parpol yang tepat. Sebenarnya ketiga teori di atas sedikit banyaknya dapat membantu kita dalam menentukan pilihan. Apakah parpol yang akan kita pilih dapat menampung aspirasi tanpa harus terlebih dahulu melihat apakah aspirasi tersebut dari kalangan mayoritas atau minoritas, apakah dari kalangan kaya atau miskin, apakah dari kalangan elit atau pinggiran ? tapi lebih pada kualitas dan urgensi aspirasi ?. Apakah parpol yang kita pilih mendasarkan legitimasinya pada daulat rakyat ?, apakah parpol yang kita pilih menganggaap integrasi (dan biasanya berbanding lurus dengan partisipasi) sebagai hal utama, ataukah hanya lipservice belaka ? Apakah parpol yang kita pilih memiliki budaya politik yang partisipatif atau malah primordialistik-paternalistik ? Apakah parpol yang dipilih memiliki mekanisme untuk mendengar dan memperjuangkan aspirasi konstituennya secara optimal ?.

Memang tak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ditengah realitas politik yang kompleks dan tekadang terlihat corat marut. Tapi itu bukan halangan buat kita menciptakan demokrasi politik yang lebih baik.

*) Penulis adalah Direktur di Lembaga Riset dan Kajian Strategis Profetik Institute.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT