MataKita.CO, Enrekang – Komisi II DPRD Kabupaten Enrekang menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pembahasan “Revitalisai Sungai Mata Allo” yang digugat oleh Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Peduli Lingkungan Massenrempulu (AMPPLM) pada Jum’at (20/11/2020). Agenda tersebut menghadirkan para pemangku kebijakan serta pihak terdampak diantaranya Dispopar, Dinas PU, Camat Enrekang, Lurah Galonta dan AMPPLM.
“Anggaran sebesar 13,8 Miliar hanya akan terbuang sia-sia karena dampak nya buruk bagi masyarakat,” ungkap Risman selaku Koordinator Aliansi.
Selain itu, lanjutnya, proyek itu melanggar sejumlah aturan diantaranya Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2011 Tentang Sungai yang menyebutkan garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c ditentukan paling sedikit berjarak tiga meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Pasal 22 ayat (2) menyebutkan dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk kepentingan pengendali banjir, perlindungan badan tanggul dilakukan dengan larangan menanam tanaman selain rumput; mendirikan bangunan; dan mengurangi dimensi tanggul.
Pasal 7 Permen PUPR nomor 28 tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau menyebutkan garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, ditentukan paling sedikit berjarak tiga meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
Aturan lain yang juga dilanggar yaitu Perda nomor 14 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Enrekang, Perda Nomor 1 tahun 2019 tentang Rencana Pembangun Jangka Menengah Daerah Kab. Enrekang, PP No 37 thn 2012 tentang Pengelolaan DAS, PP No 38 thn 2011 Tentang Sungai, Permen PUPR No 28 thn 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau dan UU No 14 thn 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
“Kebijakan yang tepat untuk Sungai Mata Allo bukanlah membangun proyek yang jelas melanggar sejumlah aturan. Pemerintah harusnya melakukan pengerukan atau normalisasi sungai, dan memperkuat elevasi tanggul, juga memperlebar aliran sungai sehingga potensi banjir di Enrekang bisa teratasi,” terang Risman.
Selain itu, ia menambahkan, perubahan dan pengurangan volume desain harusnya diikuti dengan pemotongan anggaran yang digunakan.
Pada kesempatan yang sama, Jarot selaku Dispopar menjelaskan bahwa alur regulasi perisinan yang mereka lakukan di tahun 2020 sudah sesuai prosedur karena prosesnya memang panjang dan membutuhkan waktu yang lumayan lama. Berbagai tahapan kami lewati, mulai dari survei konfigurasi desain bekerjasama Center of Technology Fakultas Teknik Unhas sebagai syarat mendapatkan rekomendasi teknis dari balai pompengan.
“Setelah hampir 10 bulan pengkajian, terbitlah recount text sebagai bahan penyusunan izin. Setelah itu, kami usulkan ke Kementerian PUPR untuk diterbitkan izinnya,” terangnya.








































