Beranda Fajlurrahman Jurdi Kekuasaan Tanpa Kehormatan

Kekuasaan Tanpa Kehormatan

0
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Dunia kian kehilangan arah. Titik kendali yang bersumber pada aktor, tidak lagi di dasari oleh nilai-nilai kesusilaan. Semua bertumpu pada kehendak si aktor. Itu artinya, keputusan bebas sang aktor menentukan apa yang baik dan buruk dalam tata kesusilaan.

Yang jadi soal adalah saat kesusilaan aktor itu bebas nilai, tak punya tapal batas. Maka yang terjadi adalah ketiadaan nilai dan absennya kesusilaan dalam tata laku dan tindakan. Aktor akan menjadi liar, tak punya tabu serta menerabas semua yang menjadi penghalang kehendaknya.

Absensinya nilai dan tata kesusilaan dalam ruang publik belakangan ini mengindikasikan betapa rapuhnya solidaritas sosial atas nama kekuasaan. Tiap orang bisa saling menerabas, masing-masing mendefinisikan kebenaran dan tata kesusilaan berdasarkan nilai yang ia anut. Maka tak pelak lagi, apa yang dianggap oleh publik sebagai kekeliruan, berubah menjadi benar. Kesusilaan menjadi bukan lagi common sense, tetapi kembali pada otoritas tafsir dan the will masing-masing orang.

Jika demikian, apa bedanya kita dengan kondisi human nature yang penah digambarkan oleh Hobbes?. Kondisi ini akan mengerahkan kekuatan lain yang akan saling berhadapan. Yang terjadi adalah bellum omnium contra omnes, perang dan saling jegal antara satu dengan yang lainnya. Dalam skema yang lebih luas, watak purba manusia yang haus kekuasaan, serta sifat kebinatangan mereka dalam aras politik akan kembali hadir.

Dunia makin tak terkendali, kekacauan akan memantik sifat dasar manusia untuk saling menerkam. Kematian tak terelakkan. Saling membunuh tak dapat dihindari. Lalu semuanya di titik yang tak berakhir, saling berburu, nyawa dan kematian selalu silih berganti.

Apa yang menjadi pemicu?. jawaban yang pasti adalah keserakahan. Maka praktik perburuan kekuasaan yang kita saksikan saban hari belakangan ini adalah bagian yang utuh dari watak keserakahan manusia.

Kenapa begitu banyak orang yang setelah berkuasa, lalu ditinggalkan?. Karena ia memburu kekuasaan dengan watak dasar sifat purba nya. Mengambil, menguasai lalu mengenggam. Seolah apa yang semula merupakan aras publik, berubah menjadi urusan privat. Betapa banyak para penguasa yang sensitif dan gampang tersinggung saat diberi masukan dan kritik. Ia, dengan segala daya dan kekuatannya, menghancurkan para pengkritik itu. Jika bukan tubuh biologisnya yang ia hancurkan melalui serangkaian tindakan kekerasan, ia akan menghancurkan nama baik, reputasi dan masa depannya.

Kekuasaan akhirnya berujung tanpa kehormatan. Ia memperolehnya dengan cara-cara tanpa kesusilaan, maka tak ada kehormatan baginya.

****

Suatu hari, saya menemani seseorang yang akan menjadi pejabat di suatu lembaga negara. Setelah di fit and propert test, ia meminta ditemani dan berjalan menuju suatu tempat. Dengan kerumunan orang yang mengidolakannya, ia memegang pundak saya, lalu meminta pendapat. “Bagaimana dengan apa yang saya sampaikan tadi”, katanya dengan wajah sumringah. Saya yang mendengarnya, memberi support, meskipun penampilannya yang paling buruk dibanding yang lain.

Seiring berjalannya waktu, ia memang benar-benar terpilih. Saya mengucapkan selamat, sebagaimana layaknya orang yang sering dimintai pandangan dan dimintai bantuan saat menjalani proses itu. Tentu saja, banyak orang yang ia janjikan. Tak sedikit orang yang ia beri harapan. Ucapan selamat saya gak dijawab. Saya menelpon, tapi gak tersambung. Saya sudah mengerti, karena ini bukan pertama kali, bahwa nomor saya mungkin sudah di blokir.

Bagi saya, itu tidak menjadi soal. Tapi dari sisi kesusilaan, itu kurang baik. Semula meminta bantuan, setelah memperolah apa yang ia dapat lalu pergi tanpa pamit. Meskipun saya hanya bagian terkecil dari supporting sistem yang terlibat dalam skema keterpilihannya.

Cerita yang sama saya alami, dengan jarak yang gak terlalu jauh dengan peristiwa diatas.  Seseorang yang meneror saya setiap hari, jika ingin tampil di depan publik, ia mengkonsultasikan apa yang ia harus sampaikan. Saya harus memeriksa ragam aturan agar ia bisa ngomong dengan baik. Jelas tanpa digaji. Hanya dengan ucapan terimakasih semuanya selesai. Saat ia menjadi bagian dari kekuasaan dan berada di lingkaran dalam, nomor saya di blokir.

Bukan cerita ini yang ingin saya sampaikan. Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa rasa hormat dan dan kesusilaan itu hilang. Memperoleh kekuasaan dengan cara culas, lalu dengan gampang menerima persahabatan baru karena kepentingan politik yang sesaat, lalu meninggalkan hubungan yang semula dibangun karena kesetiaan dengan yang lain. Padahal ia sadar, hubungan itu rentang waktunya sangat pendek.

Ilustrasi dan cerita diatas, jika dihubungkan dengan prahara Partai Demokrat, jelas menunjukan rendahnya kesusilaan itu. Juga mungkin demikian yang dialami oleh Mantan Presiden SBY. Di republik ini, seorang mantan presiden mengalami masa pensiun dan masa tua tanpa rasa hormat, bahkan sikap tanpa rasa hormat itu datang dari orang terdekatnya dulu. Orang yang ia besarkan, dan ia memberinya bintang tertinggi di jabatan militer.

Tragedi memang. Tapi lebih tak punya adab adalah sikap mantan anak buah itu. Tanpa rasa bersalah, tanpa ada rasa sungkan, ia menjadi “panglima” perang untuk menghancurkan bekas “tuannya”. Tapi bukankah Soekarno dan Soeharto juga demikian?. Tidak kah Gusdur dan Megawati mengalami nasib serupa?. Kecuali Habibie, ia hidup dengan segala kehormatan dan pergi diiringi tangis anak negeri. Ia pergi membawa seluruh kehormatannya.

Bisakah ada mantan Presiden yang seperti Baharuddin Lopa?. Yang sudah lama pergi tapi masih dipuja?. Tanpa cacat, tanpa noktah?. Bisakah ada orang seperti Hatta yang setelah berkuasa, ia terus memberi inspirasi dan teladan?. Bisakah ada orang seperti Artidjo Alkostar yang sepanjang hidupnya selalu dengan idealisme dan pergi tanpa meninggalkan jejak buruk?. Mereka pergi dengan kehormatan.

Lalu, Jika kesusilaan sudah sampai pada titik tak berbekas, buat apa kita punya Pancasila?.

Wallahu a’lam bishowab.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT