Beranda Cerpen Domitia

Domitia

0

Cerpen oleh : Savilla Hester Kurniawan*

Di Roma kuno, di mana para dewa dipuji dan disembah.

Rumah para dewi dan dewa. Pagi hari begitu tiba di Roma, kota itu ramai dengan kebisingan.

Napas dalam dari para pedagang yang baru saja mengakhiri perjalanan panjang mereka, pembukaan jendela yang dibiarkan terbuka, membiarkan sinar matahari segar masuk ke dalam rumah penduduk desa. Para penjual menyiapkan kios mereka.

“ROTI! DAPATKAN ROTI HANGAT DAN SEGAR ANDA DI SINI”, “IKAN YANG TERTANGKAP SEGAR”, “PERHIASAN DARI MESIR 100% KUALITAS TINGGI”. Kerumunan berkumpul melihat pilihan yang tersedia bagi mereka. Mereka semua saling mendorong ke samping untuk memberi jalan bagi sekelompok biarawati.

Biarawati dihormati di sini, dan dipandang sebagai pelayan para dewa dan dengan demikian mereka yang membawa keinginan para dewa. Para biarawati berjalan bersama ketika semua orang terus mencari barang-barang yang mereka butuhkan. “PAK!?” “BERAPA KUBISNYA!?” Seorang pelanggan dengan marah berteriak pada penjual yang tampak linglung menatap sekelompok biarawati yang berjalan “Ah benar, maaf ini 15 perak”, si penjual buru-buru berkata memberikan uang koin kembalian.

Setiap hari ini terjadi, penjual selalu teralihkan fokusnya seakan melamun sambil terbius oleh kelompok biarawati yang lewat, akhirnya membuat pelanggan marah, itu seperti siklus kejadian yang tidak pernah berakhir. Penjual itu sedang mendirikan tokonya seperti biasa ketika dia menabrak seorang gadis yang mengenakan jubah, jaket dari jubah tersebut jatuh memperlihatkan seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjang dan mata coklat. Penjual itu bingung dan hanya menatapnya daripada melakukan apa yang dimaksudkan untuk membantu. Dia cepat-cepat berdiri berlari minta diri. Dia ingin meraih pergelangan tangannya tetapi dia berlari terlalu cepat.

Penjual itu memutuskan saja untuk melanjutkan dagangannya seperti biasa. Ketika tiba waktunya bagi para biarawati untuk berjalan di tengah pasar itu menuju ke kuil mereka, dengan melihat lebih dekat, penjual itu melihat gadis yang sama yang menabraknya tadi pagi.

Satu-satunya hal yang berbeda adalah bahwa hanya rambutnya ditutupi oleh topi. Ketika sudah larut malam dan jalanan kosong, penjual melihat ke luar jendela untuk melihat para biarawati pergi, mereka berpisah dan meninggalkan kuil.

Penjual itu yang adalah seorang laki-laki kemudian bergegas turun, bahkan sempat untuk berbicara dengan biarawati yang menarik perhatiannya. Seorang perempuan berjalan dengan mata terkunci di tanah dan tangannya diletakkan di depan pinggangnya sebelum dia merasakan sebuah tangan menarik lengannya, memutarnya sehingga membuat ia terkejut. Sang perempuan kemudian menatap mata pria yang terbuka lebar yang sambil memproses situasi.

“Maafkan aku karena mengagetkanmu tapi eh aku benar-benar ingin menanyakan namamu”, laki-laki langsung bertanya.

“I-i- uh aku”, gumamnya ingin bergerak tapi sesuatu di otaknya tidak mengizinkannya “Namaku Domitia” kata perempuan itu pelan.

“Aku Marcellus” sang lelaki muda itu membalas, sambil merekahkan senyumnya yang bagai merah delima.

“Bisakah kita mengobrol sebentar saat aku sambil lalu mengantarmu pulang, wahai engkau?” Marcellus bertanya dengan riang. Perempuan muda nan bersih bagai mutiara itu tidak punya pilihan untuk menerima, dia juga tidak bisa menolak, pun bahkan jika dia mau. Mereka mengobrol dan mengenal satu sama lain dengan cukup baik sebelum akhirnya berhenti di kaki tangga rumahnya. “Terima kasih atas waktunya” katanya sedikit membungkuk. Marcellus hanya melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat tinggal dan berjalan kembali ke rumahnya sendiri setelah mendengar pintu tertutup di depannya.

Keesokan paginya berjalan seperti biasa, saat jam pulang biarawati, Marcellus lagi menawarkan kepada sang biarawati tumpangan sebagai teman jalan agar diantar pulang, si perempuan itu dengan sopan setuju dan ini menjadi rutinitas bagi mereka karena mereka menikmati waktu yang mereka habiskan bersama bahkan menempuh rute yang jauh sekalipun hanya untuk mengobrol lebih lama.

“Hei uhm Domitia, kamu lupa—“ ucap seorang biarawati lain, menatap kaget saat melihat Domitia tertawa bersama seorang pria.

Keperawanan dan kesucian adalah aturan utama menjadi seorang biarawati. Mereka mengalihkan dan mendermakan seluruh hidup mereka kepada Tuhan dan tidak diizinkan untuk bersama seorang pria, karena satu-satunya pria yang dapat bersama mereka adalah Tuhan.

Keesokan harinya, Marcellus pergi berjalan-jalan ke rumah Domitia seperti biasa, di mana ia menunggu berjam-jam. Tetapi, ia tidak menemukan, Domitia bahkan tidak-tidak juga muncul. Marcellus bertolak pulang balik ke rumah sambil berpikir ia lebih baik mencari pekerjaan tambahan atau hal-hal lain semacam itu.

Pada saat itu juga para Dewa di atas, menyaksikan mantan pelayan mereka, yaitu para biarawati dilempari batu karena melanggar kesucian dan jatuh cinta dengan orang biasa. Para Dewa senang melihatnya, bahwa si perempuan jelita biarawati itu mendapatkan hukuman yang pantas diterima untuknya. Para Dewa menyaksikan dan mendengar sebuah kursi didorong ke belakang sebelum mereka mampu melihat Dewi Venus yang sedang berdiri, datang memohon permintaan kepada para Dewa. Menolong sang perempuan muda nan menawan, biarawati tersebut.

Keesokan harinya, Marcellus dipanggil ke kuil tanpa diketahui maksud dari panggilan tersurat tersebut oleh si anak muda itu. Anak muda yang seorang pedagang itu disambut dengan kuil lengang-kosong dengan Domitia berdiri di ujung lorong, tepat di tengah tempat para biarawati berdoa kepada para Dewa. Lelaki gagah nan berani itu dengan cepat bergegas ke arah Domitia untuk melihatnya yang telah diperban. “Apa yang telah terjadi!?” “Wahai engkau, mengapa kamu seperti ini!?” “Kenapa kau tidak memberitahuku!?”, begitu banyak pertanyaan dan pikiran melintas di benak anak muda yang terlihat panik namun bermata tajam seperti elang itu, namun sang perempuan yang diajaknya berbicara demikian hanya menutup sayu mulutnya dan terus berjalan ke depan menuju sebuah pintu besar yang sejak awal telah terbuka dengan lebarnya.

Seorang wanita dengan selempang putih berdiri di depan Domitia dan Marcellus, saat mereka berdua berlutut di hadapan keharibaan Dewi Venus.

Venus memandang rendah mereka. “Kami mohon maaf atas dosa-dosa kami” kata Domitia sambil membungkuk merendah. Dewi Venus hanya mengangguk saat dia mulai mengucapkan kata-kata. Domitia dan Marcellus menutup mata dalam-dalam, diliputi gundah dan ketakutan di depan Dewi Venus juga seluruh para Dewa. Laki-laki pedagang ini dan biarawati yang anggun tersebut memejamkan matanya untuk yang terburuk, tetapi tidak ada yang terjadi.

Sebaliknya mereka menemukan diri mereka dikelilingi oleh sebuah materi abu-abu namun masih merasakan sentuhan satu sama lain.

Mereka tampak seperti dalam mimpi, semuanya terasa nyata sekaligus ilusi. “Lihat.. itu patung yang sangat indah, saya bertanya-tanya bagaimana itu sampai di sana?”, “Mungkin itu salah satu dari kota, mereka sedang mencoba untuk menghias kota sekarang”.

*) Penulis adalah Siswi Hilaris School Tangerang-Banten, Anak didik Sir Syarif al-Bimawi

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT