Matakita.co, Makassar- Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar Focus Group Discussion (FGD) mengenai revisi UU Polri. Hal ini dilatarbelakangi maraknya isu penolakan revisi UU Polri karena dinilai sangat bermasalah. Selain itu juga cenderung melahirkan kekuasaan yang abuse of power atau kesewenang-wenangan. Selasa, (20/08/2024).
Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. Hamzah Halim, SH., MH., M.AP. hadir membuka acara dan juga menyampaikan catatan penting ihwal revisi UU Polri. Revisi UU Polri ini perlu menjadi perhatian untuk melakukan sinkronisasi dengan UU lainnya seperti UU Kejaksaan maupun UU TNI. jelasnya
“Disini kita perlu melihat kewenangan Polri apakah diperluas atau dipersempit. Nah saya kira ini penting menjadi perhatian untuk melihat seperti apa wajag kepolisian akan datang. Selain itu perlu melihat juga soal akuntabilitas”. tambah Guru Besar Hukum Tata Negara Unhas itu.
Kemudian Guru Besar Fakultas Hukum Unhas mempertanyakan bahwa Apakah Polisi masih pantas memegang senjata, jika iya lalu apa gunanya dikeluarkan kepolisian dari ABRI. paparnya.
Pakar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Amir Ilyas, SH., MH. Menyampaikan bahwa setidaknya terdapat poin penting yang perlu kita bedah dalam diskusi ini. yakni kita harus memastikan bahwa peraturan yang akan hadir tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hal ini UUD NRI 1945. jelasnya
Selain itu kita perlu juga memperhatikan terkait dengan tugas dan wewenang polri, karena kami menilai terdapat ketentuan yang berpotensi tidak sinkron dengan prinsip keadilan. Utamanya ketentuan mengenai kejahatan cyber. Olehnya itu saran kami mengenai revisi UU Polri sebaiknya KUHAP terlebih dahulu yang direvisi agar sinkron dengan materi muatan revisi UU Polri tersebut. jelas Wakil Dekan Sekolah Pascasarjana Unhas.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform Iftitahsari, SH., M.Sc. memberikan beberapa Catatan dalam agenda revisi UU Polri bahwa dimungkinkan akan adanya abuse of power dalam proses penyidikan. Hal ini terlihat maraknya kasus salah tangkap, petugas ke lapangan tanpa memegang surat tugas, dan identitas padahal itu semua jelas diatur dalam KUHAP. Jelasnya
Kemudian yang penting kami highlight bahwa adanya kasus yang melibatkan kepolisian itu sendiri seperti kasus Tedy Minahasa maupun Ferdi Sambo, nah ini apakah sudah mengcover penanganan kasus tersebut. Terlebih lagi kasus Kanjuruhan kami kira penting juga untuk mengakomodir kasus ini terkait bagaimana Polri dalam mengatasinya dengan baik. pungkasnya
Selanjutnya yang tak kalah penting juga menjadi perhatian terkait perluasan wewenang Polisi dalam Revisi UU Polri seperti upaya paksa. Kami kira hal ini lebih cocok diatur dalam KUHAP karena berbicara tentang hal teknis dalam beracara. Kemudian Penanganan Perkara Pidana yang berimplikasi pada Penyidik PNS. Belum lagi kewenangan Pengelolaan Tahanan dan Barang Bukti, secara standar HAM Internasional harusnya ini dipisahkan sebagai upaya mitigasi terjadinya pelanggaran HAM. Olehnya itu rekomendasi kami agar menunda Revisi UU Polri dan perdalam substansi soal mekanisme pengawasan. paparnya
Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kodi menyatakan bahwa Di UUD NRI 1945 kita bermasalah karena belum konstitutif. Sementara UUD NRI 1945 ini menjadi rujukan utama dalam merancang Peraturan perudang-undangan. jelasnya
Selanjutnya yang menjadi masalah dan sering kita jumpai adalah pembahasan terhadap UU, dimana ditangani yang bukan ahli dibidangnya. Mereka adalah politisi yang syukur-syukur kalau pernah kuliah hukum, dan mengerti tentang hukum. tambahnya
Nah ini bagi saya masalah yang sedang kita hadapi. Saya mengusulkan yang penting diperhatikan oleh penyusun adalah masalah cyber biar jelas. kemudian bagaimana mensinkronkan kewenangan agar tidak terjadi lagi tumpang tindih kewenangan. Kemudian dalam Revisi paling penting untuk menambahkan batas usia pensiun. Sehingga kami mengusulkan yang seharusnya kita buat adalah RUU tentang keamanan nasional. tegasnya
Selanjutnya Pakar Perancangan Perundang-undang Unhas Prof. Dr. Achmad Ruslan, SH., MH. Menanggapi Revisi UU Polri yang mana ditemukan berbagai macam permasalahan sehingga berpotensi terjadinya arogansi dalam penerapannya. jelasnya
“Didalam Revisi UU Polri tidak adanya diatur mengenai pengawasan, padahal ini sangat penting supaya balance. Dan mencegah terjadi arogansi dalam praktik”. jelas Guru Besar Fakultas Hukum Unhas.
Selain pengawasan juga sangat penting untuk mengatur pembinaan terhadap penyidik dan pengawas dalam institusi Polri. Agar mereka memiliki kesepahaman yang sama. Karena repot kalau mereka memiliki cara pandang yang berbeda. Papar Ketua Senat Guru Besar Fakultas Hukum Unhas itu
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Febby Mutiara Nelson, SH.,MH. menguraikan terkait Pentingnya Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana. Karena di UU kita terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan distributif (proporsional). jelasnya
Kita seringkali menjumpai adanya pihak yang mempersamakan antara Restorative Justice dengan mediasi penal padahal berbeda. Restorative Justice lebih fokus kepada pemulihan korban, bukan pemberhentian perkara sementara Mediasi Penal titik fokusnya adalah objek perkara sehingga ada menang-kalah disana. tambahnya
Rekomendasi kami pengaturan terkait Restorative Justice sebaiknya diatur dalam Revisi KUHAP agar adanya kepastian hukum, bukan diatur dalam UU sektoral karena ini sangat rentan menimbulkan masalah di kemudian hari. paparnya
Fahrizal Afandi, S.Psi., SH., MH., P.hD. Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asper Hupiki) menyatakan bahwa Revisi UU Polri sangat dramatis. Karena menuai pertanyaan yang mendasar. Didalam UUD NRI 1945 sebenarnya jenis kelaminnya apa? nah menurut kami Polri itu bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana substansi dalam Pasal 24 UUD NRI 1945. jelasnya
Kemudian akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu melanjutkan Soal kewenangan Polri ini banyak yang menyorot karena dianggap terjadi perluasan kewenangan. Nah yang menarik juga didalam revisi RUU Polri ini, berusaha mengaburkan antara Penyelidikan dengan Penyidikan padahal kedua hal ini berbeda. tambahnya
Kita juga tidak boleh abai didalam Pasal 14 revisi UU Polri, bahwa Polri mengawasi penyidik yang ditetapkan oleh UU termasuk Jaksa penyidik, Penyidik KPK, maupun Penyidik Komnas HAM. Karena itu jika ini terjadi maka Polri menjadi super power. Oleh karena jika mereka ini mau melakukan penyidikan maka terlebih dahulu harus mendapatkan surat pengantar dari kepolisian. Berdasarkan uraian ini, kami merekomendasikan Revisi UU Polri harus ditunda karena terlalu banyak masalah. tutupnya.
Diketahui bahwa melalui kegiatan ini juga dirangkaikan dengan Perjanjian Kerja Sama antara Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asper Hupiki) dengan Fakultas Hukum Unhas. (**)







































