Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*
Di tengah gegap gempita arak-arakan nyongkolan, dua anak manusia berjalan elegan, layaknya raja dan ratu sehari. Warga bersorak, musik tradisional mengiringi, dan tradisi begitu mewarnai. Tapi siapa yang benar-benar resah, bahwa keduanya sepasang anak-anak. YL (15), siswi SMP kelas 1, dan RN (17), remaja putus sekolah. Mereka menikah pada 5 Mei 2025 melalui tradisi Merariq, sebuah bentuk kawin lari yang mengakar dalam budaya Sasak, Lombok Tengah.
Kepala Dusun sampai kepala desa sebenarnya sudah berusaha mencegah. Tapi “adat” telah bicara. Jika seorang perempuan menginap dua malam di rumah lelaki, maka harus dinikahkan. Titik. Jika tidak, keluarga akan malu. Ini bukan sekadar pernikahan. Ini pengorbanan: kehormatan dibayar dengan masa depan. Sebuah anggapan bahwa pernikahan mereka ialah “jalan keluar” dari masalah. Padahal sesungguhnya, ia adalah “jalan masuk” ke lebih banyak persoalan.
Tren Perkawinan Anak
Fenomena ini bukan cerita baru. Indonesia memang masih bergulat dengan angka perkawinan anak yang tinggi. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 yang dirilis BPS menunjukkan bahwa sekitar 1,2 juta anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Angka itu diambil dari proporsi 11,21% perempuan usia 20–24 tahun yang mengaku menikah pertama kali di usia anak. Bayangkan: satu dari sembilan perempuan Indonesia tak sempat menuntaskan masa remajanya, karena sudah dililit kerudung pelaminan.
Secara global, UNICEF mencatat ada lebih dari 12 juta anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun setiap tahunnya. Negara dengan angka tertinggi adalah Niger, dengan 76% perempuan menikah sebelum 18 tahun. Di banyak tempat, tubuh anak perempuan masih dianggap sebagai milik publik: bisa dijodohkan, bisa ditukar, bisa dijadikan jalan keluar dari kemiskinan atau “aib keluarga”.
Mengapa ini terus terjadi? Faktor penyebabnya kompleks, tapi hampir semuanya bisa diringkas dalam satu kata: ketimpangan. Ketimpangan informasi, ketimpangan kuasa, ketimpangan pendidikan, dan tentu saja ketimpangan ekonomi. Perkawinan anak sering dipilih sebagai “jalan pintas” oleh orang tua yang khawatir anaknya “keburu rusak”, atau oleh keluarga yang tak punya cukup biaya untuk terus menyekolahkan anak.
Padahal, negara sudah bicara tegas. Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa usia minimum perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. UU Perlindungan Anak juga demikian menyebut anak sebagai individu di bawah 18 tahun yang wajib dilindungi dari eksploitasi dan tindakan yang merampas haknya. Bahkan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, disebutkan bahwa pemaksaan perkawinan terhadap anak adalah bentuk kekerasan seksual yang bisa dipidana.
Tapi hukum tak cukup jika logika kultural masih meyakini bahwa pernikahan anak bisa menyelamatkan, bukan mencelakakan. Di titik ini, mari kita tengok bahaya yang tak tertulis di buku nikah para pengantin belia itu.
Risiko yang Diundang Tanpa Sadar
Yang pertama, tubuh anak perempuan bukanlah rahim siap pakai. Ia masih dalam tahap pertumbuhan, tapi sudah diminta menanggung kehamilan dan persalinan. WHO menyebut, remaja di bawah 15 tahun memiliki risiko kematian saat melahirkan lima kali lipat lebih tinggi dibanding mereka yang hamil di usia dua puluhan (WHO, 2018). Komplikasi seperti preeklamsia, anemia, dan infeksi menjadi tamu tak diundang dalam kehamilan belia. Bahkan di banyak kasus, nyawa ibu dan bayi sama-sama berada dalam bahaya.
Dunia juga sudah memberi peringatan. Dr. Amina J. Mohammed, Wakil Sekjen PBB, menyebut pencegahan pernikahan anak sebagai kunci menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Tapi di banyak tempat, suara ilmu kalah oleh suara adat dan kecemasan.
Setelah pernikahan terjadi, risikonya tak berhenti di meja rias. Ia berlanjut di meja makan, ruang tidur, bahkan kamar mandi. Kekerasan dalam rumah tangga kerap kali menyelinap. Banyak anak perempuan yang menikah muda tak tahu bagaimana membela diri, apalagi melawan. Mereka bergantung sepenuhnya pada pasangan, baik secara ekonomi maupun sosial. Dan dalam posisi itu, suara mereka nyaris tak terdengar.
WHO mencatat bahwa hingga 60 persen perempuan yang menikah di usia muda mengalami kekerasan fisik atau seksual (WHO, 2017). Tapi angka itu terkesan lebih lunak jika dibanding kenyataan di lapangan: istri muda yang memar tapi diam, yang trauma tapi tetap memasak. Mereka bahkan tak sadar sedang disakiti, karena belum paham bentuk cinta yang sehat itu seperti apa. Dalam banyak rumah tangga, diam dianggap dewasa. Tunduk dianggap mulia. Padahal bisa jadi itu adalah bentuk kekerasan yang dilanggengkan.
Dan yang sering luput dibicarakan: kemiskinan yang diwariskan. Pernikahan anak memotong masa depan seperti gunting memutus tali benang. Anak-anak yang menikah umumnya tak bisa melanjutkan sekolah. Mereka kehilangan kesempatan untuk punya keterampilan yang bisa memberi penghidupan layak. Maka setelah jadi suami maupun istri, mereka jadi orang tua. Setelah jadi orang tua, mereka pun jadi beban keluarga besar. Dan begitu seterusnya.
Laporan Bank Dunia (2021) mencatat, perempuan yang menikah di usia anak lebih besar kemungkinannya untuk hidup miskin di sepanjang hidupnya. Ini bukan kemiskinan biasa, tapi kemiskinan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lalu seperti lingkaran setan yang tak putus, beban kemiskinan itu jatuh ke pundak yang belum selesai bertumbuh.
Dan di tengah pusaran itulah, kadang anak-anak tak lagi punya waktu untuk menjadi anak-anak. Mereka dipaksa dewasa bukan karena bijak, tapi karena terpaksa. Sebagian terseret ke jalan buntu, mencari celah di tempat yang tak seharusnya semata-mata demi bertahan hidup. Saya ingat betul, tiga tahun lalu, saat sedang menangani sebuah urusan dinas di kantor kepolisian.
Kala itu, saya bertemu seorang anak laki-laki. Usianya baru tujuh belas. Ia mencuri uang dari tetangganya untuk membayar biaya persalinan istrinya di rumah sakit. “Saya bingung harus minta ke siapa. Orang tua juga enggak punya,” katanya. Ia seharusnya sedang belajar di sekolah, menyusun cita-cita, dan bermain bola bersama rekan sebaya. Tapi hidup sudah terlalu cepat baginya. Ia sudah jadi suami, calon ayah, dan kala itu: menjadi “tersangka”.
Bukan Sekadar Sah
Larangan perkawinan anak bukanlah larangan atas cinta, apalagi atas kebebasan memilih. Ia adalah pagar agar anak-anak tidak terseret terlalu cepat ke ladang yang belum siap mereka bajak. Ia bukan batasan yang mengekang, melainkan pelindung agar langkah mereka tak patah sebelum sempat berlari.
Menikah adalah keputusan besar, yang menuntut kematangan nalar, emosi, dan kapasitas bertahan hidup. Sementara anak, dalam segala kerapuhannya, belum ditakdirkan untuk memanggul beban seberat itu. Maka jangan biarkan tradisi, kemiskinan, atau ketakutan menuntun kita pada pilihan yang menjerumuskan mereka. Sebab sekali anak-anak itu dikawinkan terlalu dini, yang tercebur bukan cuma mereka, tapi juga masa depan bangsa ini.
Indonesia Emas 2045 tak akan hadir jika emasnya sudah dicetak menjadi cincin kawin sejak SMP.
*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Makassar