Beranda Mimbar Ide Kekuasaan dan Sumber Dayanya

Kekuasaan dan Sumber Dayanya

0
Muh. Asratillah S

Oleh : Muh. Asratillah S*

Walter Korpi dalam risalahnya yang berjudul Development in the Theory of Power and Exchange (1985) menyatakan bahwa lebih relevan jika kita menghampiri tema “kekuasaan” dengan menggunakan pendekatan sumber daya kekuasaan ketimbang hanya menghampirinya dengan pendekatan perilaku penggunaan kekuasaan (the behavioral approach). Kenapa bisa demikian ?

Pangkal persoalannya bukan pada seberapa besar jumlah sumberdaya kekuasaan yang dimiliki oleh aktor atau gerbong politik tertentu, tetapi yang terpenting adalah soal seberapa jauh perbedaan kepemilikan sumberdaya kekuasaan di antara aktor-aktor politik yang ada. Perbedaan sumber daya kekuasaan, apalagi jika perbedaan tersebut lumayan besar, mempengaruhi apa yang bisa dilakukan oleh aktor-aktor politik dalam suatu panggung politik, termasuk hal-hal apa saja yang kemungkinan menjadi ancaman bagi mereka dan apa yang menjadi terget mereka.

Dalam pendekatan sumber daya kekuasaan, para aktor diasumsikan akan selalu mengevaluasi sumberdaya yang mereka miliki, maupun sumberdaya yang dimiliki oleh pesaingnya, serta bertindak berdasarkan hasil evalusi tersebut. Dengan penekanan pada kapasitas, pendekatan sumber daya kekuasaan mengandikan bahwa setiap aktor atau anggota masyarakat memiliki semacam skala kekuasaan mulai dari skala sangat rendah atau hampir nol (karena pada dasarnya tidak ada anggota masyarakat yang tidak memiliki sumber daya kekuasaan sama sekali) hingga sekala yang sangat tinggi, mulai dari aktor yang paling lemah (skala rendah) hingga aktor yang paling kuat (skala tinggi).

Semakin besar jumlah sumber daya kekuasaan yang dimiliki oleh aktor tertentu maka semakin tinggi pula skala kekuasaannya dan begitu pula sebaliknya. Jeffrey A Winters dalam Oligarchy (2011) menyebutkan bahwa setidaknya ada sekitar lima sumber daya kekusaan yang kemungkinan dimiliki oleh aktir-aktor politik atau anggota masyarakat tertentu. Ke lima sumber daya kekuasaan tersebut adalah hak politik formal, jabatan resmi, kemampuan untuk melakukan pemaksaan, kemampuan atau kekuatan melakukan mobilisasi dan kepemilikan materi.

Soal sumber daya pertama dalam hal ini hak politik formal, dimiliki oleh setiap orang yang diakui kewarganegaraannya dan memenuhi persyaratan-persyaratan administratif tertentu (misalnya soal umur). Tapi bagi kalangan pemain politik (politisi, konsultan politik, partai politik dan kelompok kepentingan), yang terpenting dari “hak politik formal” bukanlah karena “hak politik formal” adalah “hak” yang dilindungi dan diatur oleh konstitusi, tetapi yang jauh lebih menarik bagi mereka adalah “statistik” tentang yang memiliki “hak politik formal”. Karena berangkat dari angka-angka statistik tentang yang memilki “hak politik formal” para pemain politik melakukan semacam segmentasi politik, political positioning, dan segala bentuk upaya marketing politik.

Sumber daya kekuasaan yang kedua yakni jabatan formal apakah di pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Walaupun secara konstitusional hanya partai politik yang bisa menjadi peserta pemilu, tetapi secara sosiologis instrumen ataupun wadah dalam rangka melakukan mobilisasi elektoral untuk mendukung kandidat, figur bahkan parpol tertentu bukan hanya berasal dari parpol tapi dapat saja (bahkan bisa menjadi dominan) berasal dari lembaga-lembaga non parpol. Orang-orang tertentu yang memegang jabatan di lembaga pemerintah, ormas, LSM, koperasi, kelompok-kelompok paguyuban bahkan klub-klub hobi dan olahraga dapat saja menggunakan hak-hak istimewanya (berdasarkan aturan lembaga) dalam rangka mengerahkan segala bentuk sumber dayanya (dana, fasilitas, mesin organisasi dan personel) untuk mendukung, menyokong ataupun melawan kepentingan politik tertentu.

Sumber daya ketiga, dalam hal ini kekuatan melakukan tindakan korsif merupakan sumber daya yang paling rentang digunakan jika politik mengalami polarisasi yang akut. Sumber daya kekuasaan ini termasuk di dalamnya adalah sumber daya yang resmi (kepolisian ataupun angkatan bersenjata) maupun sumber daya yang tak resmi (kelompok para militer dari ormas, mafia ataupun kelompok preman yang agak terorganisir).

Adapun sumber daya keempat adalah kemampuan untuk melakukan mobilisasi. Kunci dari kemampuan untuk melakukan mobilisasi terletak pada komunikasi poliitk yang ditujukan pada khalayak banyak. Banyak variabel yang menjadi penentu di sini, mulai dari kharisma sang tokoh politik, kapasitas berkomunikasi (retorika, gestur dll) dari sang komunikator, kemampuan untuk melakukan pongkindisian terhadap massa, penguasaan dan akses ke media massa, kemampuan untuk mendayagunakan ruag media sosial dan memanfaatkan algoritmanya. Jika kita melihat beberapa fenomena populisme saat ini, maka mobilisasi massa secara nyata bermula dari penggirngan opini publik melalui ruang-ruang digital. Pertarungan politik kita mengalami semacam penggelembungan bahwa pertarungan politik dalam ruang publik offline bermula dari pertarungan diskursus politik dalam bit-bit online.

Sumber daya kekuasaan yang kelima yang merupakan basis kekuasaan bagi para oligark yakni kekuasaan material. Menurut teori oligarki, di antara sumber daya kekuasaan yang ada, kekuasaan materi adalah sumber daya yang paling serba guna. Saat ini kekuasaan materi adalah sumber daya yang paling mudah dikonversi menjadi bentuk sumber daya lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana seringkali terjadinya transaksi suara di hari pemilihan, transaksi jabatan oleh beberapa oknum birokrasi, musyawarah ormas-ormas tertentu yang kandidatnya (dan terkadang pesertanya) dikendalikan oleh donaturnya, begitu pula dengan aksi-aksi jalanan (yang seringkali bertema garang) yang seringkali hanyalah pesanan dan banyak daftar lain yang menunjukkan bagaimana kekuatan material sangat mudah menjelma menjadi sumber daya kekuasaan yang lain. Tapi yang perlu kita waspadai bahwa salah satu mangsa favorit dari para oligark (orang-orang yang berkuasa melalui kekayaan sekaligus dalam rangka meng-aman-kan kekayaannya) adalah demokrasi elektoral, apalagi jika demokrasi elektoral sifatnya prosedural belaka.

Tak ada yang salah dalam kepemilikan sumber daya kekuasaan, yang menjadi persoalan etik adalah bagaimana anda mendapatkan dan menggunakan sumber daya kekuasaan tersebut. Maka dari itu saya membenarkan apa yang dikatakan oleh F. Budi Hardiman dalam Kebangkitan Populisme Kanan dalam Negara Hukum Demokratis (2017) bahwa “Seperti seks, kuasa adalah juga nafsu yang tidak berbentuk dan liar jika tidak didisiplinkan secara institusional. Lembaga kuasa adalah hukum, seperti juga perkawinan yang dalam pengertian paling kasar adalah disiplinisasi seks. Dalam pagar-pagar kelembagaan keduanya menjadi lebih rasional, lebih disiplin, dan dapat dimuliakan ke taraf peradaban”

*) Penulis adalah Direktur Profetik Institute

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT