Beranda Mimbar Ide Partai Golkar & Presiden Dua Periode

Partai Golkar & Presiden Dua Periode

0

oleh : Indra J Piliang*

Partai Golongan Karya (Golkar) lahir lewat Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar pada tanggal 9-11 Juli 1998 di Hotel Indonesia, Jakarta. Namun, nama Partai Golkar baru dipakai setelah deklarasi pada tanggal 7 Maret 1999. Sekalipun demikian, tanggal kelahiran Partai Golkar tetap mengacu kepada kelahiran Sekretariat Bersama Golkar pada tanggal 20 Oktober 1964.

Artinya, sebagai dokumen sejarah, perubahan Golkar menjadi Partai Golkar terjadi dalam Surat Keputusan Munaslub Golkar pada tanggal 9-11 Juli 1998. Publik baru mengetahui secara luas setelah deklarasi pada tanggal 7 Maret 1999, hampir delapan bulan kemudian. Hanya saja, sebagai legalitas (akar dan riwayat) ideologi politik, ditetapkan tanggal 20 Oktober 1964.

Dari sinilah terjadi titik singgung setiap ulang tahun Partai Golkar dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pra dan pascamandemen.

Sebagaimana diketahui:

 – Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri dilantik pada tanggal 20 Oktober 1999, pada saat Partai Golkar 35 tahun.

 – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla (MJK) dilantik pada tanggal 20 Oktober 2004, bertepatan dengan 40 tahun usia Partai Golkar.

 – Berikutnya, pada saat Partai Golkar berusia 45 tahun, yakni pada tanggal 20 Oktober 2009, Presiden SBY dan Wapres Boediono dilantik sebagai hasil pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung untuk kedua kalinya.

 – Pun di saat Partai Golkar merayakan ulang tahun emas, yakni 50 tahun, Presiden Joko Widodo dan Wapres MJK dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014.

Bahkan Partai Golkar untuk pertama kalinya tak berhasil mengajukan nama calon Presiden atau Calon Wakil Presiden dari kalangan internal, sebagaimana yang terjadi dengan Wiranto (2004) dan MJK (2009). Pasangan Capres dan Cawapres yang diusung Partai Golkar menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional.

Sekalipun terdapat kader Partai Golkar, yakni MJK, sebagai Wapres RI dalam dua kali pelantikan (2004 dan 2014), kehadirannya dalam panggung Pilpres sama sekali bukan diusung oleh Partai Golkar. Selama tiga kali Pilpres, tokoh yang diusung oleh Partai Golkar bersama partai lain kalah, yakni Wiranto – Salahuddin Wahid (2004), MJK-Wiranto (2009) dan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa (2014).

Pelantikan Presiden dalam Ultah Partai Golkar ke-55?

Tak dinyana, Munaslub Partai Golkar di Bali pada tanggal 15 Mei 2016, juga mengesahkan Partai Golkar sebagai partai pendukung pemerintah. Bukan hanya itu, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar juga memutuskan untuk mengusung Jokowi sebagai Calon Presiden RI periode 2019-2024.
Apabila Partai Golkar konsisten hingga pemilu dan pilpres serentak 2019 dalam mengusung Jokowi, apa yang terjadi?

Tatkala Jokowi bersama pasangannya terpilih, maka baru pada puncak ulang tahun Partai Golkar ke 55 pada tanggal 20 Oktober 2019 itulah Partai Golkar mampu menegakkan kepala dengan tenang. Untuk pertama-kalinya calon yang diusung oleh Partai Golkar memenangkan Kursi Presiden dan Wakil Presiden RI dalam milenium ketiga. Konsekuensinya, Partai Golkar akan lebih mudah menjalankan program-program kerjanya, demi pembangunan dan pemerataan ekonomi secara lokal dan nasional, serta menyetarakan di tingkat regional dan global. Diluar itu, stabilitas politik dan keamanan yang menjadi keunggulan komparatif Partai Golkar lebih bisa dijaga, tentu dengan mengikuti perkembangan isu-isu seputar hak-hak asasi manusia.

Pengalaman Amerika Serikat

Kesadaran kolektif Partai Golkar untuk mengusung Jokowi tentu berdasarkan pengalaman yang sudah diraih oleh negara demokrasi lama seperti Amerika Serikat. Rata-rata Presiden Amerika Serikat dipilih untuk dua periode. Dari 45 orang Presiden Amerika Serikat, hanya satu orang yang pernah menjabat selama tiga periode, yakni Franklin D Roosevelt (4 Maret 1933 – 12 April 1945).

Sementara yang menjabat selama satu periode adalah John Adams (4 Maret 1797 – 3 Maret 1801), John Quincy Adams (4 Maret 1825 – 3 Maret 1829), Martin van Buren (4 Maret 1837 – 3 Maret 1841), William Harrison (4 Maret 1841 – 4 April 1841) , John Tyler (4 April 1841 – 3 Maret 1845), James Polk (4 Maret 1845 – 3 Maret 1849), Zachary Taylor (4 Maret 1849 – 9 Juli 1850) , Millard Fillmore (9 Juli 1850 – 3 Maret 1853), Franklin Pierce (4 Maret 1853 – 3 Maret 1857), James Buchanan (4 Maret 1857 – 3 Maret 1861), Andrew Johnson (15 April 1865 – 3 Maret 1869) , Rutherford Hayes (4 Maret 1877-3 Maret 1881), James Garfield (4 Maret 1881 – 19 September 1881), Chester Arthur (19 September 1881 – 3 Maret 1885) dan seterusnya.

Sekalipun hanya sekitar 40% dari Presiden Amerika Serikat yang terpilih sebanyak dua periode, serta lebih banyak yang menjabat selama satu periode, patut dicatat bahwa beberapa di antaranya adalah wakil presiden yang menggantikan presidennya yang tewas, meninggal atau mengundurkan diri. Artinya, jauh lebih banyak Presiden Amerika Serikat yang terpilih selama dua periode.

Dan catatan yang paling penting adalah hampir semua Presiden Amerika Serikat yang terpilih selama dua periode itu terkenal dalam sejarah, ingatan dan bahasa bangsa Amerika. Mereka memiliki reputasi yang lebih mumpuni, ketimbang hanya presiden yang menjabat selama satu periode saja.

Pemimpin Milenium

Partai Golkar barangkali tak banyak diingat lagi, apabila kurang belajar dari sejarah partai-partai di Amerika Serikat, berikut Presiden yang terpilih. Sekalipun terdapat cap-cap partai terhadap Presiden Amerika Serikat yang menjabat, yakni dari Partai Federalist, Partai Republik, Partai Whig , Partai Demokrat atau Independen, tetap saja masa jabatan memiliki pengaruh dalam menancapkan proses pembangunan jati diri sebagai bangsa dan negara Amerika Serikat. Masa jabatan empat tahun, apalagi kurang, ternyata kurang mampu membuat perbedaan ataupun perubahan yang memadai.

Apabila sejarah Indonesia moderen menjelang angka 20 tahun (1998 – 2018) dibuat dalam garis besar saja, yakni apa yang berlangsung di Istana Negara, sudah bisa dipastikan Partai Golkar hanya menyumbang dalam masa Presiden BJ Habibie yang singkat. Setelah itu, riwayat pengabdian Partai Golkar dalam menata bangsa dan negara ini lenyap.

Padahal?

Apabila negara adalah wadah bagi yudikatif, legislatif dan eksekutif, maka terdapat peran yang sama, bahkan bisa jadi lebih menentukan, di medan pengabdian yang lain. Apa jadinya apabila kader-kader Partai Golkar menolak agenda-agenda reformasi, termasuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945, justru pada saat kader-kader itu mayoritas di dalam tubuh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI?

Bagaimana suasana persidangan di dalam tubuh legislatif pusat dan daerah, ketika legislator-legislator baru yang sama sekali tidak pernah bersidang, mendapatkan bimbingan secara teknis oleh kader-kader Partai Golkar yang sudah berpengalaman?

Begitu juga, apabila kekuasaan penyelenggaraan negara hanya dilihat dari apa yang dilakukan oleh Presiden RI sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bagaimana perjalanan pemerintahan di kabinet yang memerlukan menteri-menteri kaya pengalaman, pengetahuan dan perjalanan kenegaraan? Lalu, apakah cukup pemerintahan pusat berjalan, tanpa kehandalan dari pemimpin-pemimpin di daerah?

Diluar itu, tanpa dukungan dunia usaha, media massa, hingga kalangan yang memiliki ideologi politik yang sudah matang – seperti kader-kader Partai Golkar –, Indonesia tidak akan pernah sampai menuju tahapan seperti sekarang. Bahkan, apabila disimak beragam pendapat para ahli, juga bagaimana kekuatan multinasional beroperasi, terlihat sekali pesimisme yang sangat menakutkan. Indonesia seakan bubur kampiun yang disukai oleh kalangan lain di seluruh dunia. Beragam ideologi politik di luar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 mencoba bersemai di area yang subur, akibar proses peralihan yang terjadi. Dinamika kaum muda yang lebih terdidik ikut pula menyingkirkan optimisme apapun yang coba dibuat.

Dilihat dari sisi itu, ternyata ada ranah pengabdian politik yang lain yang begitu tangguh, yakni: legislatif (MPR RI dan DPR RI, begitu juga DPD RI sejak tahun 2004), kepala pemerintahan daerah (terutama sejak pemilihan langsung pada tahun 2005), dunia usaha, media massa, hingga civil society, profesional ataupun kaum inteligensia.

Contoh sederhana:
1. Ir Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR RI ke-13 (1999-2004).
2. Agung Laksono sebagai Ketua DPR RI ke-14 (2004-2009).
3. Ginanjar Kartasasmita sebagai Ketua DPD RI yang pertama (2004-2009).
4. Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI ke 16 dan ke-18 (2014-2015 dan 2016-2019).
5. Ade Komaruddin sebagai Ketua DPR RI ke-17 (2015-2016).

Pun, apabila didaftar kepala-kepala daerah yang berprestasi dari Partai Golkar, tentu tulisan ini menjadi berkepanjangan. Cukup sampai di sini dulu, sembari Partai Golkar terus membenahi pengelolaan sumberdaya manusia yang beragam, dalam waktu yang lebih kurang setahun guna memenangkan pemilu dan pilpres serentak pada tanggal 17 April 2019…

*) Penulis adalah Anggota Dewan Pakar Partai Golkar

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT