Oleh : Ahmad Yani*
Kamis, 22 Agustus 2030, kali ketigaku menapaki kaki di luar atmosfer negeriku. Detik ini aku bertandang ke negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Tiga jam lamanya aku menembus langit nusantara bersama pesawat R80 – PT. Dirgantara Indonesia karya anak bangsa B.J. Habibie, yang kini telah beroperasi bukan hanya rute regional namun juga telah melayani penerbangan rute Internasional.
Selama mengudara, aku duduk di kursi 9F. Bersama seseorang yang aku kenal secara pasti berasal dari tanah air yang sama denganku. Ya, aku menangkap tanda kewarganegaraannya melalui kain yang tertempel di tubuhnya. Aku senang sekali mendapati pakaian batik kini menjadi pakaian khas warga Indonesia ketika ke luar negeri, dimana coraknya banyak dikagumi oleh bangsa-bangsa Eropa.
Aku menyapanya dengan senyum, kemudian ia menyahutiku dengan ramah. Namanya Ibu Fatimah, seorang TKI yang bekerja di New York. Dalam obrolan kami, Ibu Fatimah menyampaikan bahwa semua TKI yang bekerja di luar negeri telah mengantongi asuransi kesehatan gratis dan tunjangan hari tua. Selama berada di perantaun, TKI juga disediakan tempat tinggal gratis serta pemberdayaan intensif melalui program Kedutaan Besar Republik Indonesia di setiap negara. Ibu Fatimah melanjutkan, bahwa di setiap negara juga telah difasiltasi layanan bantuan hukum bagi TKI yang bermasalah dalam hal kontrak kerja, serta kepulangan mereka ke Tanah Air ditanggung oleh Pemerintah Indonesia.
Aku mengalihkan perhatian pada sosok lainnya di baris kursiku. Ia adalah seorang Turis yang duduk di sampingku. Namanya van Vollen Hoven (panggil saja Vollen), ia seorang warganegara Belanda. Tanpa aku beritahu, ia mampu menelusuri dari mana aku berasal, lagi-lagi melalui batik yang terbalut indah membungkus tubuhku. Aku tersenyum dalam hati, walaupun belum fasih, Vollen mencoba bercakap menggunakan bahasa Indonesia denganku. Aku tahu pasti, Bahasa Indonesia banyak diketahui oleh bangsa Eropa, karena kini telah menjadi bahasa pelajaran wajib di setiap negara-negara maju.
Sambil menikmati layar televisi di sandaran kursi depan, aku membuka diaryku yang selalu terikut kemanapun aku berpergian. Dari lembar pertama, mengingatkanku keadaan Indonesia pada Tahun 2019. Sejak tahun itu, tidak ada lagi paham kelompok radikal maupun agama tertentu yang berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi tertentu. Tidak ada lagi penyerangan oleh oknum-oknum terhadap rumah-rumah ibadah. Tidak adalagi penggunaan provakasi dan adu domba politik apalagi penggunaan agama yang dilakukan dalam memenangkan konstestasi politik. Tidak adalagi specturum massa melacurkan demokratisasi dengan mengintimidasi golongan minoritas. Indonesia benar-benar telah kembali beradab, sesuai prinsip leluhur Ibu Pertiwi.
Di tahun 2020, tidak terdengar lagi adanya gerakan separatis yang dilakukan di berbagai daerah. Bahkan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah berdamai dengan pemerintah berkat negosiasi dan musyawarah yang intens yang dilakukan oleh pemerintah dalam menampung aspirasi masyarakat terkait. Di tahun itu pula, berkat upaya dari pemerintah dan dukungan masyarakat, aset PT. Freeport kini telah separuh berpindah tangan ke pemerintah Indonesia.
Aku melanjutkan tulisanku ke lembar kedua. Aku takjub ketika di Tahun 2021. Pada tahun itu melukiskan sejarah yang tak terlupakan bagi Tanah Airku. Di tahun itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (atau sering disebut KUHP, yang merupakan warisan hukum Kolonial Belanda), telah berhasil dirumuskan/disusun dengan isi yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan cita hukum masyarakat Indonesia.
Di tahun 2022, integralitas penegak hukum semakin membaik. Jarang sekali terdengar kasus-kasus korupsi yang melibatkan Kepolisian, Jaksa dan Hakim. Para Hakim memutus perkara penuh dedikasi Ke-Tuhanan yang Maha Esa. Bahkan beberapa putusan pengadilan Indonesia menuai pujian dari Pengadilan Mahkamah Internasional, termasuk putusan perkara pencurian kayu bakar oleh Indo-Upe yang diputus bebas, sebab hakim menilai kemiskinan yang dialami hingga akhirnya terdakwa mencuri, disebabkan atas kesalahan negara dalam memberikan jaminan penghidupan yang layak bagi setiap warga negaranya.
Aku begitu asyik dengan duniaku di lembar-lembar diary. Hingga tak terasa pesawat R80 Dirgantara yang kutampangi kini hampir mendarat untuk transit di Bandara Haneda, Jepang. Aku bergegas mengambil ranselku di bagasi dan keluar bersama penumpang lainnya. Di tempat transit, aku bertemu dengan rombongan mahasiswa yang berasal dari Papua. Di tahun itu (tahun 2023), mereka akan melanjutkan studi S2 di Harvard Amerika Serikat melalui program beasiswa penuh dari Pemerintah Indonesia.
Percakapan kami begitu seru, hingga dua puluh tiga menit menunggu terasa seperti angin. Pesawat telah siap untuk melanjutkan perjalanan kami ke Bandara Los Angeles, Amerika Serikat, kami pun bergegas. Kali ini aku duduk di kursi 17B, bersama dua turis lainnya di deretan kursiku yang sesekali tersenyum ramah kepadaku.
Aku kembali membuka diary di lembar ketiga. Aku teringat pada masa Tahun 2024, menjadi sejarah baru penataan reformasi kelembagaan birokrasi di negeriku. Pada tahun itu, pemerintah meluncurkan terobosan perampingan kelembagaan birokrasi secara besar-besaran. Banyak kelembagaan yang hampir memiliki tupoksi serupa, dilebur menjadi satu kelembagaan. Atmosfer pelayanan publik pun tersulap dengan begitu cepat. Melaui integrasi database Electronic Kartu Tanda Penduduk (E-KTP), masyarakat dapat mengakses semua jenis pelayanan publik secara efisien dan cepat, tanpa harus mengurus berkas administrasi kesana-kemari.
Jemariku menuntun untuk membuka lembaran keempat, namun aku harus menggeser posisiku, karena turis di samping kiriku hendak ke toilet, setelah berjam-jam aku perhatikan membaca sebuah novel terjemahan karya Pramodya Ananta Toer. Turis itu mengingatkanku pada seorang mahasiswaku, Safri Nugraha, yang kukenal sebagai si kutu buku.
Aku melanjutkan membaca tulisanku di lembaran keempat. Tahun 2027, teman sejawatku, Prof. Algozoli mewakili Indonesia sebagai pembicara di sebuah forum internasional yang diadakan oleh Internasional Transparanci (IT), sebuah lembaga pemberantasan korupsi kelas dunia. Dalam pemaparannya, beliau mengatakan bahwa pencapain Indonesia tiga tahun terakhir (2025-2027) berada peringkat kedua sebagai negara terbersih dan terbebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) versi IT, merupakan tekad kuat dari semua elemen pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang berbudaya dan bermartabat tanpa KKN.
Tepat pukul 20:06 waktu Amerika Serikat, pesawat kami mendarat dengan mulus di Bandara Los Angeles. Aku melanjutkan perlajanan menaiki bus khas negeri Paman Sam, dengan fasilitas dan teknologi yang setara dengan bus subsidi pemerintah di Indonesia. Bus itu memiliki layar lebar layaknya bioskop, seperti kebanyakan bus yang beroperasi di Indonesia saat ini. Ketika melihat layar lebar tersebut, ingatanku bernostalgia ke negeriku tercinta. Saat itu, aku dan penumpang lainnya menuju sebuah tempat wisata. Dalam perjalanan, kami disuguhkan dengan tontonan laga sepakbola Timnas Indonesia melawan Timnas Jepang, dalam laga Piala Dunia FIFA.
Sambil menikmati panorama suasana malam Amerika melalui kaca bus, aku kembali membuka diaryku, kini lembaran terakhir atau kelima. Melalui penerapan sistem perekonimian kerakyatan, tidak lagi terdengar adanya naga-naga raksasa yang mengusai kekayaan Indonesia. Kekayaan bangsa semakin merata dengan tidak adanya lagi daerah tertinggal, serta indeks kesejahteraan masyarakat semakin membaik. Bahkan utang Indonesia, di tahun 2028-2029 hanya berkisar sepertiga dari utang yang dikwatirkan pada tahun 2018 yakni 4.907 triliun.
Tak terasa bus yang kutumpangi telah melesat sejauh 98 KM, dengan aroma khas AC Bus yang menyejarkan pikiran. Hampir lagi saya akan tiba di tujuan. Terlintas dalam benakku untuk menuliskan perjalananku ke Amerika ini, mengisi lembaran keenam buku diaryku. Namun ponselku berdering, teman sejawat waktu kuliah S1 menghubungiku. Aku memanggilnya Prof. Anwar, pakar Hubungan Internasional. Belaiu mengabari bahwa minggu depan ia sudah bisa bertolak ke Indonesia lagi, setelah mewakili tanah air kami sebagai negara perintis utama perdamaian antara Palestina dan Israel yang telah kondusif sejak tahun lalu, dan tahun ini dikabarkan kedua negara tersebut sedang menjalin hubungan bilateral di bidang kemanusiaan.
Seusai menutup ponselku, aku tersenyum dalam hati lalu mengambil pulpen di saku baju untuk mencatat perjalananku ke Amerika. Esok lusa atau tepatnya 24 Agustus 2030, aku mengawakili Indonesia sebagai pembicara dalam forum PBB. Aku akan memaparkan khayalak dunia tentang pencapaian tersebar negeriku yang telah berhasil menduduki peringkat ketiga dunia dalam penerapan Sustainable Depelopment Goals 2015-2030 (SDGs), deklarasi Sidang PBB pada 25 September 2015. Ini merupakan pembuktian terbesarku, #INDONESIA TIDAK JADI BUBAR DI TAHUN 2030.
*) Penulis Merupakan mahasiswa Fakultas Hukum dan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UNHAS.