
Oleh : AM Iqbal Parewangi*
“Sesuai antara perbuatan dengan pengetahuan,” begitu Ar-Razi mengartikan hikmat dalam tafsirnya.
Setiap orang yang diberi taufik oleh Allah sehingga sesuai amalnya dengan ilmunya, jelas Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, ia “telah mendapat karunia hikmat.” Luqman al-Hakim mengerjakan amal sesuai tuntutan ilmunya, mengenal Allah, dia pun dijejakkan pada puncak dari seluruh hikmat: “bersyukurlah kepada Allah.”
Dengan ilmu yang diperolehnya, Luqman tahu bahwasanya nikmat Allah meliputi seluruh hidupnya. Tapi tahu saja tidak pernah cukup. Setelah tahu, selanjutnya berbuat. Ilmu tanpa amal, kata sepatah pepatah klasik bertuah, ibarat pohon tak berbuah. Berilmu mengangkat derajat, ilmu tanpa amalan merosotkan derajat. Ilmu dan amal, dua sisi dari coin peradaban. Dan juga keberadaban.
Luqman tahu betapa berlimpahnya nikmat Allah, selanjutnya ia menjejakkan amalan penuh hikmat: bersyukur kepada Maha Pemberi Nikmat.
***
Lagipula, jika hendak jujur, apa sih yang bisa membuat manusia tidak bersyukur?
Tidak seberkas pun hal dalam hidup ini yang bukan karunia Ilahi. Bahwa ada yang mencoba-coba mencari ruas pembenaran lain selain itu, seolah semua ada karena memang harus ada, itu tidak mengurangi keberlimpahan karunia Ilahi.
Menarik menyimak uraian ilmiah tentang oksigen, satu contoh jamak tak sederhana, yang tersaji di berbagai literatur termasuk text book dan wikipedia.
Oxygen, istilah untuk unsur O yang diberikan Antoine Lavoisier pada tahun 1777, merupakan unsur paling melimpah ketiga di alam semesta, setelah hidrogen dan helium, sebut Emsley (2001). Di bumi, baik biosfer, udara, laut, maupun tanah, Cook & Lauer (1968) menyebut oksigen sebagai unsur kimia yang paling melimpah menurut massanya. Oksigen mengisi sekitar 49,2 persen massa kerak bumi dan 88,8 persen massa samudera.
Di atmosfer bumi, oksigen menduduki 21,0 persen volume dan 23,1 persen massa atau sekitar 1.015 ton. Dengan konsentrasi gas oksigen yang tinggi di atmosfernya, bumi memiliki ketidaklaziman dibanding planet-planet lainnya dalam sistem Tata Surya. Bandingkan dengan Mars yang hanya memiliki 0,1 persen volume O2, dan Venus yang bahkan lebih rendah.
Alotrop oksigen elementer, yaitu gas oksigen diatomik atau dioksigen, O2, tampil bersahaja dengan peran tak sederhana. Tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau, makhluk O2 ini disebut oleh Cook & Lauer mengisi 20,9 persen volume atmosfer bumi.
Sejarah O2 jauh lebih panjang dibanding sejarah manusia, meski masih lebih pendek dibanding daya fikir manusia tentang sejarah. Mulai berakumulasi di atmosfer sekitar 2,5 miliar tahun lalu, dan sejak awal era Kambrium 540 juta tahun lalu kadarnya berfluktuasi antara 15 – 30 persen berdasarkan volume, urai Berner (1999), kadar O2 di atmosfer kemudian mencapai maksimum sebesar 35 persen pada akhir masa Karbon.
Karunia O2 sungguh melimpah! Aktivitas manusia, meliputi pembakaran 7 miliar ton bahan bakar fosil per tahun yang banyak diprihatini para pejuang lingkungan hidup, hanya berpengaruh sangat kecil terhadap penurunan kadar oksigen di atmosfer. Dengan laju fotosintesis sekarang ini, ungkap Dole (1965), butuh sekitar 2 ribu tahun untuk memproduksi ulang seluruh O2 yang ada di atmosfer sekarang.
Selain O dan O2, terdapat pula lapisan ozon, O3, yang membantu melindungi biosfer dari radiasi ultraviolet. Tanpa O3, kehidupan di Bumi akan terpapar dahsyat oleh radiasi kosmik berbahaya itu.
***
Itu baru oksigen, makhluk atomik bernomor punggung 8, dengan variasi dioksigennya yang menafasi kehidupan, dan variasi ozonnya yang melindung kehidupan di Bumi. Belum lagi sederet panjang komunitas molekuler yang memondasi Semesta, termasuk H2O dan CO2, dimana oksigen turut hadir merajut dan mempererat silaturahim mereka.
Ya, itu baru oksigen. Namun, satu jenis makhluk atomik itu saja pun sudah dapat menggugah kesadaran makhluk berfikir tentang betapa besar karunia Ilahi. Dalam keadaan istirahat, manusia dewasa menghirup 1,8 sampai 2,4 gram oksigen per menit. Dengan kata lain, oksigen yang dihirup gratis oleh ummat manusia kini tidak kurang dari 6 miliar ton per tahun!
Oksigen, masya Allah, makhluk tak hidup yang menafasi kehidupan. Maka, betapa mungkin manusia tidak bersyukur kepada Allah?!
(Serambi Madinah, 6 Ramadhan 1439 H)
*) Penulis Anggota DPD RI – MPR RI, Inisiator Qur’anic Quantum Program